Berdikari.co, Tulang Bawang - Mantan Bendahara Pengeluaran Sekretariat DPRD Tulang Bawang tahun 2018, Nurhadi menyebut, pimpinan DPRD dan Sekda harus ikut bertanggung jawab dalam kasus dana reses fiktif di DPRD Tuba tahun 2018 senilai Rp3,7 miliar.
Kasus tersebut hanya menjerat mantan Bendahara Pengeluaran DPRD Tulang Bawang (Tuba), Nurhadi, mantan Plt Sekretaris DPRD Tuba Badrudin, dan mantan Bendahara Sekwan DPRD Tuba Syahbari.
Kasus ketiganya sudah diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjung Karang, dan sedang menjalani penahanan di salah satu lapas di Lampung.
Berdikari.co berkesempatan menemui Nurhadi di lapas tersebut. Ia membeberkan secara detail bagaimana sebenarnya kasus itu terjadi.
Nurhadi yang akrab dipanggil Hadi, menyebut pimpinan DPRD dan Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Tulang Bawang mengetahui aliran dana tersebut. Ia dengan tegas mengatakan pimpinan DPRD dan Sekda harus ikut bertanggung jawab.
Ia mengungkapkan, kasus korupsi yang menjerat dirinya bersama kedua rekannya itu terjadi bukan tanpa sepengetahuan pimpinan DPRD dan Sekdakab Tuba.
"Saya pernah diperintahkan menyetorkan sejumlah uang di kediaman salah satu pimpinan DPRD Tuba. Saya masih menyimpan catatan dan bukti aliran dana tersebut," terang Hadi.
Hadi mengungkapkan, uang kasus dana reses fiktif itu mengalir baik ke pejabat legislatif maupun eksekutif.
“Ini fakta dan bisa saya pertanggungjawaban apa yang saya sampaikan. Saya siap membuka secara lengkap nama oknum-oknum penikmat uang negara disertai buktinya," tegas Hadi.
Hadi membantah tuduhan menikmati uang dana reses fiktif senilai Rp358 juta. Ia mengaku hanya menikmati Rp8 juta berdasarkan audit BPK dan telah dikembalikan ke kas negara.
"Dana reses tahap III itu sudah saya serahkan kepada seluruh anggota DPRD Tuba berjumlah 45 orang melalui ketua partai maupun ketua fraksi saat itu. Seharusnya mereka yang bertanggung jawab jika reses tidak dilaksanakan," beber Hadi.
Hadi menuturkan, pada akhir tahun 2018 ia menyerahkan dana sebesar Rp1,2 miliar untuk kegiatan dewan kepada Eriko yang hingga sekarang masih menjadi ASN aktif di Sekretariat DPRD Tuba.
“Diberikan Eriko ke siapa saya nggak tahu. Sayangnya Eriko ini tidak tersentuh sama sekali oleh jeratan hukum," ujarnya.
Hadi membeberkan, selama menjadi bendahara ia melihat pengelolaan keuangan di Sekretariat DPRD Tuba banyak terjadi kejanggalan. Ia mencontohkan, anggaran APBD untuk satu tahun bisa dicairkan dalam kurun waktu 5 kali berselang.
"Dari BPKAD Tuba memang sangat mudah. Lalu selama satu tahun itu (2018) tidak ada sama sekali evaluasi dari Inspektorat. Setelah dana saya tarik dari bank, uang tersebut diberikan kepada oknum-oknum tertentu dengan cara yang aneh. Misalkan diberikan kepada beberapa oknum pejabat penting di BPKAD dengan nilai puluhan hingga ratusan juta bahkan miliaran hanya ditaruh di dalam mobil kosong atau dibawah meja dan tong sampah. Kegunaan uang tersebut saya nggak paham, karena itu atas perintah atasan saya (Sekwan)," bebernya.
Selain diberikan kepada pimpinan dan anggota DPRD serta beberapa oknum pejabat di BPKAD Tuba, lanjut Hadi, dana yang ditarik dari rekening Sekretariat DPRD Tuba juga diberikan kepada oknum-oknum di eksternal Pemda Tuba, baik yang berstatus ASN maupun swasta.
"Kemana saja pendistribusian tidak sah dana itu saya ada catatan siapa saja, waktu dan tempatnya, ada juga bukti transfer. Nah jika ada yang mengetahui dari pihak-pihak tertentu, maka saya diperintahkan oleh atasan saya untuk diberi sejumlah uang," ungkap Hadi.
Menurut Hadi, jika dilihat dari sistem dan prosedur administrasi keuangan daerah, seharusnya Sekdakab dan pimpinan DPRD Tuba bertanggung jawab atas terjadinya maladministrasi tersebut maupun tindak pidana korupsi yang ditimbulkan.
"Saya mencoba ikhlas menjalani hukuman dan diberhentikan dari ASN. Namun saya berharap agar aparat penegak hukum untuk membuka hati mereka sehingga persoalan ini bisa kembali dibuka dan masing-masing penikmat uang itu dapat bertanggung jawab di depan hukum," ucapnya.
Hingga berita dilansir, Sekretaris DPRD Tuba Puncak Setiawan, belum bisa dihubungi. Demikian pula Ketua DPRD Tuba Sopi'i tidak bisa dihubungi, Minggu (26/6/2022).
Sementara itu Sekdakab Tuba, Anthoni, membantah soal tidak adanya evaluasi dan monitoring penggunaan anggaran di sekretariat DPRD Tuba.
"Wah, nggak paham saya kalau itu mah, kan itu bukan ranah saya. Tanya saja sama sekretaris dewan itu, sama bagian keuangannya dulu siapa itu namanya, langsung kes itu saja,” saran Anthoni.
Anthoni menjelaskan, evaluasi dan monitoring penggunaan keuangan daerah dilakukan terjadwal. Ia mengaku heran jika ada dana dari Sekretariat DPRD Tuba bisa mengalir kemana-mana.
"Ya dilakukan dia orang, tapi saya persisnya nggak tahulah. Ya namanya instansi terkait sudah ada rekomnya, sudah ada pembinaannya, sudah ada itu. Konfirmasi saja ke Inspektorat," ujarnya.
Pada 24 April 2021, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjung Karang sudah memvonis Nurhadi dengan hukuman penjara selama 2 tahun 6 bulan dan denda Rp100 juta subsider empat bulan penjara serta membayar uang pengganti Rp350 juta.
Lalu menjatuhkan pidana penjara terhadap Syahbari selama empat tahun dan denda Rp100 juta serta pidana tambahan berupa membayar uang pengganti Rp2,03 miliar. Selanjutnya memvonis Badrudin dengan hukuman penjara selama empat tahun dan denda Rp100 juta serta membayar uang pengganti sebesar Rp711 juta. (*)
Artikel ini telah terbit di SKH Kupas Tuntas edisi Senin, 27 Juni 2022 dengan judul, "Kasus Korupsi Dana Reses Fiktif DPRD Tuba 2018 Rp3,7 Miliar”
Video KUPAS TV : Warga Kota Metro Gotong-royong Timbun Jalan Rusak