Berdikari.co, Bandar
Lampung - Kasus pembunuhan Brigadir Novriansyah Yoshua Hutabarat, alias
Brigadir J, di rumah dinas eks Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo,
menjadi momentum untuk mereformasi tubuh Polri. Oknum-oknum anggota Polri yang
bermasalah harus dibersihkan guna mengembalikan citra polisi di mata
masyarakat.
Apalagi, kasus
Ferdy Sambo ini diduga telah melibatkan 36 personel Polri, mulai dari pejabat
tinggi Polri setingkat Irjen hingga bawahan. Mereka sudah ditahan karena
melanggar kode etik dan diduga terlibat merekayasa kasus penembakan Brigadir
Yoshua.
Anggota Komisi III
DPR RI asal Dapil Lampung, Taufik Basari, mengatakan penembakan Brigadir Yoshua
yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo menjadi momentum untuk berbenah di tubuh
Polri. Baik perbaikan internal atau bersih-bersih di lingkungan Polri.
“Karena jika
peristiwa ini tidak tuntas maka akan membuat citra polisi di mata masyarakat
semakin terpuruk. Semua polisi yang berkaitan dengan pembunuhan Brigadir Yoshua
baik secara langsung maupun tidak langsung harus dimintai pertanggungjawaban,”
kata Taufik, Kamis (18/8).
Taufik menegaskan,
saat ini publik menuntut dilakukan audit terhadap operasi-operasi dan aktivitas
Satgassus Polri yang sempat dipimpin Irjen Ferdy Sambo. Meskipun saat ini
Satgassus itu sudah dibubarkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Saya apresiasi
Kapolri yang sudah membubarkan Satgassus, namun setelah itu memang harus ada
evaluasi dan langkah tegas bagi jajaran Polri yang melanggar kode etik dalam
kasus tersebut,” ujar Taufik.
Menurut Taufik,
dalam penanganan kasus Irjen Ferdy Sambo ini ada kehendak dari rakyat yang
bermuara kepada keinginan untuk dilakukan reformasi di tubuh Polri.
"Ini dapat
dikatakan sebagai 'people power', kehendak rakyat yang maha dahsyat. Kasus ini
sudah menjadi pembicaraan umum semua umur bahkan hingga pelosok desa. Keluhan
masyarakat selama ini adalah harus dilakukan reformasi Polri dari oknum-oknum
polisi yang memang bermasalah," tegas Taufik.
Sementara Menko
Polhukam, Mahfud Md, menyampaikan sejumlah hambatan dalam kasus pembunuhan
Brigadir J. Salah satu hambatannya adalah ada kelompok Ferdy Sambo layaknya
kerajaan tersendiri di dalam Polri.
"Yang jelas ada hambatan-hambatan di dalam secara struktural ya,
karena ini tidak bisa dipungkiri ini ada kelompok Sambo sendiri ini yang
seperti menjadi kerajaan di dalam Polri. Seperti sub-Mabes-lah ini yang sangat
berkuasa dan ini yang menghalang-halangi sebenarnya. Kelompok ini yang
jumlahnya 31 orang itu yang sekarang sudah ditahan," kata Mahfud dalam
tayangan podcast bersama Akbar Faizal yang disiarkan di YouTube, Kamis (18/8).
Mahfud menyebut
sudah menyampaikan kepada Polri untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Mahfud
mengatakan, dalam kasus Sambo, ada tiga klaster yang turut membantu pembunuhan,
mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga rekayasa kasus. Klaster pertama adalah
mereka yang membantu mengeksekusi korban secara langsung.
"Saya sudah sampaikan ke Polri, ini harus diselesaikan, masih ada
tersangka. Ini ada tiga klaster yang kasus Sambo. Satu, pelaku yang
merencanakan dan mengeksekusi langsung. Nah, yang ini tadi yang kena pasal
pembunuhan berencana karena dia ikut melakukan, ikut merencanakan dan ikut
memberi pengamanan di situ," ujarnya.
Mahfud mengatakan, klaster kedua adalah mereka yang membantu menghilangkan
barang bukti. Klaster itu menurut Mahfud merupakan bagian dari obstruction of
justice.
"Kedua, obstruction of justice. Ini tidak ikut dalam eksekusi tapi karena
merasa Sambo, ini bekerja bagian obstruction of justice. Menurut saya kelompok
satu dan dua ini tidak bisa kalau tidak dipidana. Kalau yang ini tadi melakukan
dan merencanakan. Kalau yang obstruction of justice itu mereka yang
menghalang-halangi itu, memberikan keterangan palsu. Membuang barang, mengganti
kunci, mengganti barang bukti, memanipulasi hasil autopsi, nah itu bagian yang
obstruction of justice," lanjutnya.
Mahfud menjelaskan, klaster ketiga yakni mereka yang hanya ikut-ikutan karena
sedang berjaga dan bertugas. Mereka yang masuk klaster tiga hanya menjalankan
tugas sesuai perintah.
"Kemudian ada kelompok ketiga yang sebenarnya ikut-ikutan ini, kasihan,
karena jaga di situ kan, terus di situ ada laporan harus diteruskan, dia
teruskan. Padahal laporannya nggak bener. Prosedur jalan, jalan, disuruh buat
ini ngetik, ngetik. Itu bagian yang pelanggaran etik," ucapnya.
Lebih lanjut Mahfud menilai yang layak untuk diproses pidana yakni klaster satu
dan dua. Sementara itu, untuk klaster ketiga, Mahfud menilai hanya perlu diberi
sanksi etik.
"Saya pikir yang harus dihukum tuh dua kelompok pertama, yang kecil-kecil
ini hanya ngetik hanya mengantarkan surat, menjelaskan bahwa bapak tidak ada,
memang tidak ada misalnya begitu. Menurut saya ini nggak usah hukuman pidana,
cukup disiplin," imbuhnya.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, mengatakan dengan terungkapnya dugaan rekayasa dalam kasus Ferdy Sambo dan menyeret 62 orang polisi bisa menjadi momentum untuk membenahi internal Polri.
"Memang berat
buat Pak Kapolri, tapi harus dilakukan karena dia (Ferdy Sambo) anak buah yang
tadinya dipercaya tapi kepercayaan itu rusak sekarang dengan perbuatan Ferdy
Sambo yang membunuh Brigadir J dan dia (Ferdy Sambo) menyeret 62 orang untuk
mendukung tindakannya yang salah itu," kata Sugeng, Kamis (18/8).
Sugeng menduga 62
orang polisi yang terseret tersebut merupakan geng Ferdy Sambo baik yang
tindakannya sengaja dan sadar melanggar hukum maupun yang dibohongi dan tidak
mengerti apa-apa. "Maupun yang menerima perintah saat buta, itu juga
kesalahan, itu geng dia (Ferdy Sambo)," ujarnya.
Sugeng mendesak
agar perkara tersebut bisa diungkap seterang-terangnya, dan menindak tegas para
aparat yang terlibat. Ia pun mengapresiasi Kapolri yang bisa mengungkap kasus
tersebut dalam waktu cepat.
"Akibat ulah
perilaku Ferdy Sambo dkk, Kapolri jadi ikut kena getahnya begitu juga institusi
Polri yang jadi tercoreng gara-gara perkara tersebut," imbuhnya.
Ia pun
mengapresiasi tindakan tegas Kapolri walaupun dalam perkara tersebut melibatkan
jenderal bintang 2. "Itu kan menunjukkan salah satu political will Pak
Kapolri dalam menangani perkara Ferdy Sambo," ucapnya.
Pengamat Hukum dari
Universitas Lampung (Unila), Budiono berharap kasus Ferdy bisa segera
dituntaskan dengan cepat, dan membuka semua pihak yang terlibat dalam kasus
tersebut serta menindak tegas.
"Sehingga ini
bisa membuktikan bahwa tidak ada yang kebal hukum termasuk para anggota Polri.
Jangan sampai kasus ini menjatuhkan wibawa institusi Polri," ujar Budiono.
Menurutnya, kasus
Ferdy Sambo bisa menjadi momentum bagi Polri untuk melakukan perbaikan agar
kepercayaan publik bisa kembali. "Kita berharap tidak ada Sambo Sambo lain
di institusi Polri," ujarnya. (*)