Logo

berdikari Politik

Selasa, 15 Agustus 2023

Ketua Bawaslu Lampung: Politik Uang Adalah Racun Demokrasi

Oleh Yudha Priyanda

Berita
Foto: Ist.

Berdikari.co, Bandar Lampung - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Lampung angkat bicara menanggapi pernyataan Bawaslu RI yang merilis Provinsi Lampung masuk peringkat ke-2 rawan politik uang di Pemilu 2024.

Ketua Bawaslu Provinsi Lampung, Iskardo P Panggar mengatakan politik uang adalah racun demokrasi. Ia mengajak partai politik untuk fokus terhadap visi misi dan program yang ditawarkan kepada masyarakat.

"Bawaslu Lampung terus memperkuat gerakan anti politik uang dengan memperkuat pengawasan partisipatif sebanyak-banyaknya melibatkan stakeholder. Misalnya kami sudah melakukan MoU dengan 49 lembaga dan akan terus ditingkatkan," kata Iskardo, Senin (14/8/2023).

Pihaknya juga terus melakukan edukasi secara masif kepada kontestan dan konstituen terkait bahayanya politik uang. "MUI juga sudah mengharamkan adanya politik uang dalam kontestasi politik," tegasnya.

Koordinator Divisi Partisipasi Masyarakat KPU Provinsi Lampung, Antoniyus mengatakan fenomena politik uang telah ada sejak lama di Provinsi Lampung.

Ia mengungkapkan, hal itu terjadi karena baik masyarakat maupun kontestan pemilu, caleg, cagub bahkan capres masih memilih politik uang sebagai cara dalam berpolitik.

"Fenomena politik uang itu bukan hanya muncul pada kali ini saja, tetapi ini sudah lama terjadi di Lampung. Ini persoalan integritas dari pemilih dan peserta pemilu. Para caleg dan calon kepala daerah saat turun kelapangan bukan mencari simpati, melainkan dengan memberikan sesuai secara pragmatis," tandasnya.

"Hal ini setali tiga uang dengan masyarakat. Disatu sisi calon ini melakukan praktik money politics, di sisi lain masyarakat menerima itu," lanjut dia.

Selain itu lanjut Antoniyus, penegakan hukum hampir tidak ada. Tidak ada kasus praktek money politics yang bisa diproses secara hukum.

"Lalu apa yang harus dilakukan KPU? Dengan cara melakukan sosialisasi pendidikan kepada pemilih dan mengajak masyarakat untuk mengedepankan integritas dalam memilih. Jika ingin memilih pemimpin berkualitas maka masyarakat jangan memilih calon pemimpin karena ada pemberian uang," tandasnya.

Ia berharap partai politik, cagub, caleg, dan capres harus simpati pada proses perbaikan demokrasi. Dengan tidak mengajarkan masyarakat secara pragmatis yang efeknya menjadi politik berbiaya mahal.

"Yang memberikan efek apabila sudah terpilih akan mencari keuntungan diluar hak dan kewajiban mereka," imbuhnya.

Ketua Badan Pemilihan Umum (Bapilu) DPW PKS Provinsi Lampung, Aep Saepudin mengatakan penyebab tingginya politik uang di Lampung karena faktor kemiskinan yang tinggi.

"Sementara penyebab tingkat kemiskinan yang tinggi adalah tingkat pendidikan yang rendah. Pemerintah dan stakeholder lainnya harus terus memberikan pendidikan politik secara intensif kepada masyarakat khususnya masyarakat perdesaan," kata Aep.

Menurut Aep, hal yang menjadi masalah soal aturan tegas mengenai money politics. Ia mengatakan bahwa saat ini laporan politik uang kerap bertabrakan dengan waktu yang terbatas.

"Itu juga menjadi problem. Aturannya tidak tegas memberi sanksi bagi pelaku politik uang, dan kadaluarsanya laporan politik uang karena berbatas waktu," ujarnya.

Pengamat Politik Fisip Unila, Syarief Makhya mengatakan pemeringkatan yang dilakukan oleh Bawaslu RI yang menempatkan Lampung masuk peringkat ke-2 tinggi politik uang menunjukan pengawasan Bawaslu Lampung belum efektif.

"Pencegahan politik uang tidak efektif sehingga Bawaslu RI memberi penilaian Lampung nomor 2 sebagai provinsi yang rawan terhadap politik uang pada Pemilu 2024. Modusnya antara lain dalam bentuk pemberian langsung, memberi barang dan memberikan janji. Ini bentuk konkrit kalau selama ini pencegahan yang dilakukan oleh Bawaslu tidak efektif," tegas Syarief.

Syarief menjelaskan, terdapat tiga faktor yang mendorong terjadinya politik uang yakni lapisan masyarakat bawah cenderung tidak otonom dalam menentukan hak politiknya, mereka tidak mandiri dan mudah dipengaruhi oleh pemberian uang atau janji-janji politik.

Lalu, tidak ada pendidikan politik untuk masyarakat atau mencerdaskan pemilih sehingga pengetahuan politiknya sangat rendah dan perilakunya sangat pragmatis.

"Ketiga, persaingan politik menjadi liar, tidak adil dan brutal. Persaingan itu pada akhirnya sangat ditentukan oleh kekuatan politik uang," pungkasnya. (*)

Artikel ini dikutip dari Surat Kabar Harian Kupas Edisi Selasa, 15 Agustus 2023 dengan judul "Iskardo: Politik Uang Adalah Racun Demokrasi"

Editor Didik Tri Putra Jaya