Logo

berdikari Politik

Jumat, 22 September 2023

Blak-blakan Bambang Widjojanto Soal Mahar Politik: Biaya Jadi Gubernur Minimal 100 Miliar

Oleh ADMIN

Berita
Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto saat menjadi pembicara di kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang, Bandar Lampung, Kamis (21/9/2023). Foto: Berdikari.co

Berdikari.co, Bandar Lampung - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015, Bambang Widjojanto, menyebut biaya untuk menjadi presiden maupun kepala daerah serta legislatif di Indonesia sangat besar dan mahal.

Bambang mengatakan, berdasarkan survei KPK, untuk menjadi seorang presiden harus menghabiskan biaya minimal Rp8 triliun, dan gubernur butuh biaya Rp100 miliar serta untuk menjadi bupati minimal Rp20 miliar.

"Kalau ada 500 kepala daerah setingkat bupati/walikota di Indonesia tinggal kali 20 miliar sudah Rp100 triliun biaya yang harus dikeluarkan,” kata Bambang saat mengisi kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang, Bandar Lampung, Kamis (21/9/2023).

Kuliah umum tersebut mengambil tema ‘Peta Korupsi Politik di Tahun Politik 2023-2024’. Bambang mengungkapkan, untuk jadi anggota DPR RI yang merebutkan 850 kursi itu, satu orang butuh biaya Rp2 miliar,

“Jadi memang ongkos politik itu sangatlah mahal, terlebih apabila yang ingin maju pada kontestasi pemilu adalah bukan orang terkenal. Banyak orang tidak pernah investasi untuk dikenal tapi mengajukan diri untuk dipilih akhirnya butuh biaya yang besar. Dengan ongkos politik mahal potensi penyalahgunaan itu bisa terjadi," tegasnya.

"Untuk jadi anggota DPRD itu tergantung kualifikasi orangnya, kalau sudah dikenal itu murah. Kalau dari kalangan eks TNI/Polri itu sampai Rp1 miliar, dan pengusaha bisa sampai Rp2 miliar," ujarnya.

Bambang mengungkapkan, sebagian besar orang yang mau maju di Pemilu itu 20 persen biayanya tidak dari calon kepala daerah. “Artinya harus ada support salah satunya adalah pengusaha. Akhirnya terjadi perkawinan haram yang memproduksi kepala daerah boneka tidak independen membiayai sendiri," tandasnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) itu menjelaskan, ketika kekuasaan kapital bermain, maka akan menjadikan kepala daerah boneka.

Ia menerangkan, terdapat kajian, dari 10 anggota dewan, 5-6 diantaranya itu dari kalangan bisnis maka akan duduk pada komisi yang berisi kepentingan bisnisnya.

"Pada titik itulah terjadi konflik of interest. Kalau ini dilanjutkan, proses demokrasi ini bermasalah. Demokrasi itu adalah kedaulatan rakyat, sehingga proses demokrasi itu berada di tangan rakyat. Tapi dalam praktiknya itu ada intervensi kapital," terangnya.

Ia mengungkapkan, hasil temuan PPATK, adanya indikasi pencucian uang pada kejahatan lingkungan atau green financial crime sebesar Rp45 triliun dan diantaranya uang itu mengalir ke politikus. "Jadi hasil kejahatan lingkungan itu sebagian besar mengalir kembali ke politisi," ujarnya. (*)

Editor Sigit Pamungkas