Berdikari.co, Bandar Lampung - Wakil Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015, Bambang Widjojanto,
menyebut biaya untuk menjadi presiden maupun kepala daerah serta legislatif di
Indonesia sangat besar dan mahal.
Bambang mengatakan, berdasarkan survei KPK, untuk
menjadi seorang presiden harus menghabiskan biaya minimal Rp8 triliun, dan
gubernur butuh biaya Rp100 miliar serta untuk menjadi bupati minimal Rp20
miliar.
"Kalau ada 500 kepala daerah setingkat
bupati/walikota di Indonesia tinggal kali 20 miliar sudah Rp100 triliun biaya
yang harus dikeluarkan,” kata Bambang saat mengisi kuliah umum di Fakultas
Hukum Universitas Tulang Bawang, Bandar Lampung, Kamis (21/9/2023).
Kuliah umum tersebut mengambil tema ‘Peta
Korupsi Politik di Tahun Politik 2023-2024’. Bambang mengungkapkan, untuk jadi
anggota DPR RI yang merebutkan 850 kursi itu, satu orang butuh biaya Rp2
miliar,
“Jadi memang ongkos politik itu sangatlah
mahal, terlebih apabila yang ingin maju pada kontestasi pemilu adalah bukan
orang terkenal. Banyak orang tidak pernah investasi untuk dikenal tapi
mengajukan diri untuk dipilih akhirnya butuh biaya yang besar. Dengan ongkos
politik mahal potensi penyalahgunaan itu bisa terjadi," tegasnya.
"Untuk jadi anggota DPRD itu tergantung
kualifikasi orangnya, kalau sudah dikenal itu murah. Kalau dari kalangan eks
TNI/Polri itu sampai Rp1 miliar, dan pengusaha bisa sampai Rp2 miliar,"
ujarnya.
Bambang mengungkapkan, sebagian besar orang
yang mau maju di Pemilu itu 20 persen biayanya tidak dari calon kepala daerah.
“Artinya harus ada support salah satunya adalah pengusaha. Akhirnya terjadi
perkawinan haram yang memproduksi kepala daerah boneka tidak independen
membiayai sendiri," tandasnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
(Unpad) itu menjelaskan, ketika kekuasaan kapital bermain, maka akan menjadikan
kepala daerah boneka.
Ia menerangkan, terdapat kajian, dari 10
anggota dewan, 5-6 diantaranya itu dari kalangan bisnis maka akan duduk
pada komisi yang berisi kepentingan bisnisnya.
"Pada titik itulah terjadi konflik of
interest. Kalau ini dilanjutkan, proses demokrasi ini bermasalah. Demokrasi itu
adalah kedaulatan rakyat, sehingga proses demokrasi itu berada di tangan
rakyat. Tapi dalam praktiknya itu ada intervensi kapital," terangnya.
Ia mengungkapkan, hasil temuan PPATK, adanya
indikasi pencucian uang pada kejahatan lingkungan atau green financial crime
sebesar Rp45 triliun dan diantaranya uang itu mengalir ke politikus. "Jadi
hasil kejahatan lingkungan itu sebagian besar mengalir kembali ke
politisi," ujarnya. (*)