Berdikari.co, Bandar Lampung - Mahkamah Agung
(MA) mulai mengadili judicial review Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun
2023 tentang Perubahan Atas PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang
Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang
diajukan dua pihak yaitu Aliansi Peduli Demokrasi dan LBH Yusuf.
Peraturan itu berisi perubahan soal syarat
capres-cawapres yang membolehkan kepala daerah di bawah usia 40 tahun bisa jadi
capres-cawapres.
"Pemohonnya Aliansi Peduli Demokrasi
Nomor 48P/HUM/2023 dan yang Pemohonnya LBH Yusuf Nomor 51 P/HUM/2023,"
kata juru bicara (jubir) MA, hakim agung Suharto, kepada wartawan, Selasa
(14/11/2023).
Baik Aliansi Peduli Demokrasi dan LBH Yusuf sama-sama menguji soal syarat
capres-cawapres. "Keduanya, objeknya Pasal 13 ayat 1 huruf q PKPU
Nomor 23 Tahun 2023 dan sudah dimohonkan penetapan majelis kepada Ketua
Mahkamah Agung," ujar Suharto.
Pasal 13 ayat 1 huruf q PKPU Nomor 23 Tahun 2023 itu berbunyi ‘Berusia paling
rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih
melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah’.
Sebagaimana diketahui, KPU RI membuat PKPU Nomor 23 Tahun 2023 pada tanggal 3
November 2023. Hal itu menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
mengubah tafsir UU Pemilu soal syarat capres/cawapres.
Dampak putusan MK tersebut, Majelis
Kehormatan MK (MKMK) menjatuhkan hukuman sanksi berat kepada Ketua MK Anwar
Usman karena dalam memutus perkara itu tidak mengundurkan diri sehingga
memiliki konflik kepentingan dengan Gibran Rakabuming Raka.
MKMK pun memutuskan memberhentikan Anwar Usman
sebagai Ketua MK dan digantikan dengan Suhartoyo. Berkat Putusan MK Nomor
90/PUU/XXI/2023, Gibran Rakabuming Raka bisa mendeklarasikan sebagai cawapres
mendampingi Prabowo Subianto.
Dimintai tanggapannya, Ketua Pusat Studi
Konstitusi dan Kepemiluan IAIN Metro, Ahmad Syarifudin mengatakan, MA berhak
mengadili peraturan seperti PKPU Nomor 23 tahun 2023 tersebut, dan mempunyai
hak untuk membatalkan jika bertentangan dengan undang-undang di atasnya.
"MA punya kewenangan untuk menguji
peraturan di bawah undang-undang seperti PKPU terhadap Undang-Undang No. 7
Tahun 2017 tentang Pemilu. Dan bila PKPU itu bertentangan dengan UU bisa
dibatalkan," kata dosen yang sedang mengambil gelar doktor di Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) ini, Selasa (14/11/2023).
Namun, lanjut dia, yang menjadi pertanyaan
adalah apakah PKPU itu bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017. Sementara
PKPU itu dibuat menindaklanjuti adanya perubahan Pasal 169 huruf q UU No. 7
tahun 2017 yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sementara, Pengamat Hukum Universitas Bandar
Lampung (UBL), Rifandi Ritonga mengatakan, kewenangan MA memang menguji
peraturan di bawah undang-undang khususnya terkait dengan PKPU tersebut.
"Muara perubahan PKPU inikan imbas dari
putusan MK terhadap pengujian undang-undang. Seharusnya putusan MK itu direspon
dengan UU juga, bukan dengan peraturan di bawah undang-undang. Walaupun kita
memahami kekuatan putusan MK ini setara dengan UU. Hukum itu produk politik,
namun politik harus tunduk pada hukum," paparnya. (*)