Logo

berdikari Nasional

Kamis, 18 Januari 2024

Aktivis 98 Tuntut Jokowi Serius Menuntaskan Kasus HAM Berat dan Penghilangan Aktivis

Oleh Yudi Pratama

Berita
Ilustrasi. Foto: Media Indonesia

Berdikari.co, Bandar Lampung - Forum Rakyat Demokratik (FRD) untuk Keadilan Korban Penghilangan Paksa, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), dan Kawan ‘98 (Kawan ’98) menuntut Presiden RI Jokowi untuk menyelesaikan kasus HAM Berat dan penghilangan paksa aktivis Tahun 1997-1998 silam.

Juru bicara FRD dan Sekjen Partai Rakyat Demokratik (PRD) periode 1996-2002, Herianto mengatakan tuntutan terhadap Presiden Jokowi tersebut diadukan oleh FRD, IKOHI dan Kawan 98 ke Lembaga Ombudsman, pasalnya selama 9 tahun masa kepemimpinannya ia dinilai mengabaikan Rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 2009 menyangkut penyelesaian kasus penghilangam secara paksa aktivis 1997-1998.

"FRD, IKOHI, dan Kawan ‘98 menuntut Presiden Joko Widodo untuk melaksanakan Rekomendasi  DPR RI dalam surat Nomor PW.01/6204/DPR RI/IX/2009 kepada Presiden RI, terkait penanganan pembahasan atas hasil penyelidikan penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998," kata Herianto melalui siaran persnya yang diterima Kupastuntas.co Kamis (18/01/24).

Hal itu kata Herianto, tentu sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kejahatan penghilangan paksa dan menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Herianto juga menuturkan selama 9 tahun pemerintahan Joko Widodo terutama pada periode ke 2 sejak 2019, FRD, IKOHI, dan Kawan ‘98 melihat tidak ada inisiatif dan niat politik serius dari Presiden Jokowi untuk menjalankan rekomendasi DPR tersebut.

"Inisiatif politik yang dijalankan presiden sejak 2019 malah semakin memperkuat impunitas pada para pelaku penghilangan paksa aktivis 1997-1998 ditunjukan melalui tiga fakta politik, pertama, pada 23 Oktober 2019 Presiden Jokowi mengangkat pelaku utama penghilangan paksa aktivis 1997-1998 yaitu Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) dalam Kabinet Indonesia Maju Masa Jabatan 2019-2024," katanya.

Sehingga pengangkatan tersebut dapat dibaca sebagai upaya melindungi penjahat hak asasi manusia (HAM) dan memperkuat impunitas. The Guardian, media Inggris, menaruh judul Hari gelap HAM (Dark day for human rights: Subianto named as Indonesia's defence minister) terkait pengangkatan Prabowo sebagai Menhan tersebut.

Sementara Sekjen IKOHI, Zaenal Mutaqien mengatakan dengan terpilihnya Prabowo menjadi Menhan upaya penuntasan kasus HAM masa lalu menjadi tertutup terutama kasus penghilangan paksa tentu tak ada kemajuan lagi dan tidak akan ada pengungkapan.

"Sosok Prabowo Subianto harus bertanggung jawab atas kasus penculikan tersebut. Prabowo yang kala itu berpangkat Letnan Jenderal Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) dikeluarkan oleh institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) karena bertanggung jawab pada kasus penculikan bersama Tim Mawar, sebuah tim kecil yang dibentuk Komando Pasukan Khusus," kata Zainal.

Kemudian lanjut Zainal, langkah memperkuat impunitas Jokowi semakin ditunjukkan saat mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 166/TPA Tahun 2020 tentang pemberhentian dan pengangkatan dari dan dalam jabatan tinggi madya di lingkungan Kementrian Pertahanan.

"Kepres 166 tersebut mengangkat dua mantan anggota Tim Mawar yaitu Brigjen TNI Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis dan Brigjen TNI Dadang Hendra Yudha sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan di Kementerian Pertahanan," lanjutnya.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti menilai Kepres 166 tersebut berpotensi untuk melemahkan makna penegakan hukum di Indonesia (impunitas), juga dapat mendorong terjadinya kembali pelanggaran HAM.

Kemudian menurut Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, dengan langkah tersebut Presiden Jokowi semakin dinilai melanggar janjinya, terutama dalam mengusut kasus penculikan aktivis dan penghilangan paksa serta pelanggaran HAM masa lalu di negara ini.

"Presiden Joko Widodo tampak secara politik bersikap tidak netral dalam pemilihan presiden 2024 (secara tidak langsung) dengan memberikan dukungan politik kepada capres Prabowo Subianto yang berpasangan dengan putranya sendiri, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden 2024," ujarnya.

Dukungan itu menurutnya merupakan sebuah kemunduran demokrasi, karena akan memperkuat politik dinasti dan memperkuat impunitas dari capres yang terlibat dalam kejahatan HAM berat di masa lalu. Kemunduran demokrasi di era Presiden Jokowi juga diakui oleh Komnas HAM seperti tertulis dalam buku Laporan Tahunan (Laptah) Komnas HAM 2022.

"Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo situasi demokrasi Indonesia cenderung mengalami regresi (kemunduran).Politik dinasti dan politik impunitas yang dilakukan selama 9 tahun pemerintahannya juga telah mencederai janji Nawa Cita Presiden Jokowi sendiri," ujarnya.

Wakil Ketua Kawan 98 Joyo Sardo juga menilai apa yang dilakukan Presiden Jokowi selama dua periode pemerintahannya telah mengingkari janji Presiden RI 2014 dalam program prioritas Nawa Cita untuk menyelesaian kasus-kasus HAM.

Dalam visi-misi dan agenda prioritasnya Nawa Cita agenda HAM dimuat dalam poin 4, bagian 9 serta pada poin 11 huruf (f), Nawa Cita yang berbunyi (Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti; Kerusuhan Mei, Trisakti Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talangsari Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965).

Dalam suasana kemunduran demokrasi dan presiden yang memprioritaskan politik dinasti keluarganya, FRD, IKOHA dan Kawan 98 meminta Ombudsman demi menegakkan sila kedua Pancasila 'Kemanusiaan yang adil dan beradab' agar Presiden Jokowi menjalankan empat rekomendasi DPR RI 2009 meminta Ombudsman untuk mendesak Presiden agar:

1. Presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc

2. Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait untuk melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang.

3. Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang

4. Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa, sebagai bentuk komitmen dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa. (*)

Editor Sigit Pamungkas