Berdikari.co, Bandar Lampung - Calon Wakil Presiden
(Cawapres) nomor urut 3 Mahfud MD mengkritik capres Prabowo Subianto yang
pernah menolak impor pangan. Padahal, dalam kenyataannya pemerintah masih impor
pangan, salah satunya kedelai yang mencapai 2 juta ton.
"Dulu Pak Prabowo gak mau impor beras. Per hari ini catatan datanya, impor kedelai 2 juta ton, susu 280 juta ton, gula pasir 4 juta ton, beras 2,8 juta ton, daging sapi 160 juta ton. Ini hasilnya seberapa dari hasil debat dulu yang tanggal 17 Juli itu. Semakin banyak nih angkanya, semakin diversifikasi juga impor ini," ungkap Mahfud dalam debat keempat Pemilu 2024, Minggu (21/1/2024) malam.
Terkhusus kedelai, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)
hingga akhir 2023 memang betul volumenya sekitar 2 juta ton, tepatnya di angka
2,27 juta ton. Cukup sesuai dengan pernyataan Mahfud pada Debat Cawapres
terakhir tersebut.
Dalam lima tahun terakhir, pemerintah memang selalu melakukan
impor kedelai. Yakni 2,59 juta ton pada 2018 menjadi 2,27 juta ton pada 2023.
Impor kedelai paling tinggi terjadi pada 2019 sebanyak 2,67 juta ton.
Dalam lima tahun nilai impor melejit lebih dari 30% dari US$
1,10 miliar menjadi US$ 1,47 miliar. Paling tinggi terjadi pada 2022 dengan
nilai sebesar US$ 1,63 miliar.
Nilai terus naik karena terbatasnya pasokan serta sejalan
dengan kenaikan harga pangan lainnya, seperti gandum.
Harga komoditas kedelai terus meningkat dalam lima tahun
terakhir. Secara internasional, menggunakan harga acuan kontrak kedelai hingga
perdagangan Jumat (19/1/2024) berada di US$ 12,13 per gantang.
Nilai tersebut dibandingkan lima tahun yang lalu sudah naik
31,13%. Kenaikan harga kedelai tertinggi sempat ke atas US$ 17 per gantang pada
Mei 2023 lalu akibat imbas dari memanasnya perang Rusia-Ukraina yang kemudian
membuat rantai pasokan pangan global terganggu.
Sebelumnya, akibat krisis pandemi Covid-19 harga kedelai
sempat mencetak nilai tertinggi di angka US$ 16,42 per gantang pada Mei 2021
lalu.
Bila ditelisik impor RI hingga akhir tahun lalu, paling
banyak dipasok dari Amerika Serikat (AS) dengan porsi lebih dari 85% atau
setara US$ 1,26 miliar.
Kemudian diikuti Kanada yang menyumbang 12,18% atau setara
US$ 179,07 juta dan Malaysia dengan porsi kurang dari 1% setara US$ 3,81 juta.
Kondisi perindustrian makanan minuman yang menggunakan
kedelai sebagai bahan baku utama di Indonesia hingga kini masih sangat
bergantung pada impor. Hal ini lantaran produksi kedelai domestik sedikit. Hal
ini sangat disayangkan mengingat kedelai sebenarnya bisa ditanam di Indonesia.
Berdasarkan data BPS, pada sepanjang 2020-2021 produksi
nyaris tak bertambah, hanya sekitar 200.000 ton per tahun atau rata-rata per
hektar hanya menghasilkan panen 1,56 ton. Sementara pada tahun 2022 ada
peningkatan menjadi 241.343 ton.
Padahal kebutuhan nasional, berdasarkan catatan neraca pangan
nasional yang diupdate pada 24 November tahun lalu mencapai 2,59 juta ton per
tahun. Artinya, untuk menutup kekurangan pasokan sekitar kurang lebih 80%
kebutuhan kedelai masih diimpor dari luar negeri.
Secara keseluruhan, Indonesia kini mengalami pembengkakan
impor kedelai lantaran harga komoditas yang melejit ditambah produksi dalam
negeri sedikit.
Diperlukan adanya dukungan dari pemerintah agar industri
semakin berkembang mulai dari perluasan lahan, penerapan teknologi budidaya
terkini, serta akses kemudahan untuk penjamin usaha. (*)