Berdikari.co, Bandar
Lampung - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menangani 46 kasus
dugaan pelanggaran pidana Pemilu 2024. Sebanyak 40 laporan diantaranya dinyatakan
melanggar.
Ketua Bawaslu RI,
Rahmat Bagja menerangkan, 46 laporan yang masuk itu terdiri dari 27 dugaan
berasal dari temuan pengawas pemilu, dan ada 19 laporan dugaan pelanggaran dari
masyarakat.
"Hingga 27 Februari 2024, Bawaslu melakukan kajian awal. Berdasarkan
kajian atas laporan dan temuan itu, Bawaslu meregistrasi seluruh dugaan
pelanggaran. Kemudian Bawaslu melakukan klarifikasi dan kajian akhir yang
hasilnya 40 berkas dinyatakan pelanggaran," kata Bagja, Rabu (28/2/2024).
Bagja mengatakan, 4 laporan lainnya bukan pelanggaran pidana pemilu. Sedangkan
2 laporan atau temuan sisanya masih dalam tahap klarifikasi dan kajian akhir.
Ia mengungkapkan, adapun tren dugaan pelanggaran pidana pemilu yakni 8
temuan/laporan diduga melanggar Pasal 520 Undang-Undang Pemilu, 2
temuan/laporan diduga melanggar Pasal 523 Undang-Undang Pemilu, 3
temuan/laporan diduga melanggar Pasal 523 ayat (1)
Undang-Undang Pemilu dan 11 temuan/laporan diduga melanggar Pasal 521
Undang-Undang Pemilu.
Kemudian, ada 4
temuan/laporan diduga melanggar Pasal 493 Undang-Undang Pemilu, 2 Pasal
temuan/laporan diduga melanggar 491 Undang-Undang Pemilu, 1 temuan/laporan diduga melanggar
Pasal 494 Undang-Undang Pemilu, dan 7 temuan/laporan diduga melanggar Pasal 490
Undang-Undang Pemilu.
“Adapun sebaran dugaan penanganan pelanggaran pidana pemilu adalah 6 Kasus di
Sulawesi Selatan, 4 kasus di Riau, 4 kasus di Jawa Tengah, 2 Kasus di NTB, 2
kasus di Sulawesi Utara, 2 kasus di Maluku Utara, 1 kasus di Kepulauan Riau, 1
kasus di DKI Jakarta, 1 kasus di Kalimantan Selatan dan 1 kasus di Gorontalo,”
paparnya.
Bagja mengucapkan
terima kasih kepada masyarakat atas partisipasinya dalam melaporkan dugaan
pelanggaran pemilu. Termasuk mengajak untuk terus berpartisipasi mengawasi,
menyampaikan informasi dan melaporkan dugaan pelanggaran Pemilu kepada pengawas
pemilu terdekat.
"Bawaslu akan menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran akan
ditindaklanjuti sesuai mekanisme ketentuan yang berlaku untuk menegakkan hukum
dan keadilan Pemilu," kata Bagja.
Selain itu, Bagja
juga membeberkan bentuk dugaan pelanggaran administrasi pada Pemilu 2024. Ia
mengatakan, ada 69 pelanggaran administrasi, 248 pelanggaran kode etik dan 125
pelanggaran hukum lainnya.
"Kemudian untuk pelanggaran kampanye ada 408 laporan, 249 temuan,
registrasi 194 laporan, dan 224 temuan sedang diregistrasi ada 25 temuan yang
belum registrasi. Hasilnya adalah 132 pelanggaran dan 127 bukan pelanggaran,
111 masih dalam proses penanganan pelanggaran," ucapnya.
Bagja juga menjabarkan
jenis pelanggaran pada tahapan kampanye. Di mana 29 masuk dalam dugaan tindak
pidana pemilu.
"Jenis
pelanggaran tahapan kampanye terbagi atas 5 pelanggaran administrasi, 29 dugaan
tindak pidana pemilu, 30 pelanggaran kode etik dan 66 pelanggaran hukum
lainnya. Trennya apa? Misalnya ada ASN memberikan dukungan melalui media sosial
kepada peserta pemilu, kepala desa ikut serta dan atau terlibat dalam kampanye
pemilihan umum dan atau pemilihan kepala daerah," katanya.
"Kemudian ASN ikut kegiatan kampanye, ASN memberikan dukungan melalui
media sosial kepada peserta pemilu, ASN mengajak atau mengintimidasi untuk
mendukung peserta pemilu, ASN pegawai tidak tetap, tenaga harian lepas,
memberikan dukungan kepada peserta pemilu,” lanjutnya.
Bagja menjelaskan, ada
juga kepala daerah melakukan pelanggaran pasal 283 ayat 1 dan 2 uu 7 tahun
2017, ada staf desa mengampanyekan salah satu caleg, dan ada tenaga pendamping
profesional pendamping pemberdayaan desa menyalahgunakan kewenangan untuk
menguntungkan peserta pemilu tertentu.
Bukan hanya itu,
Bawaslu RI menemukan 11 dugaan pelanggaran Pemilu berupa penyalahgunaan
fasilitas negara untuk kepentingan kampanye peserta Pemilu, kampanye di tempat
ibadah hingga tempat pendidikan.
Bagja mengatakan,
fasilitas negara, rumah ibadah dan tempat pendidikan dilarang dijadikan tempat
untuk berkampanye sesuai Pasal 521 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu.
Menurut Bagja, pelaku
bisa dipidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp24 juta.
"Ada 11 temuan atau laporan yang diduga melanggar Pasal 521 UU
Pemilu," kata Bagja.
Bagja mengungkapkan,
pelanggaran paling banyak kedua yang ditemukan Bawaslu yaitu pemalsuan
dokumen Pemilu di beberapa wilayah di Indonesia. Terkait hal itu pelaku bisa
dikenakan pidana terkait pemalsuan dokumen.
Para pelaku pemalsuan dokumen bisa dijerat dengan Pasal 520 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp72 juta. "Ada 8 temuan atau laporan yang diduga melanggar Pasal 520 Undang-Undang Pemilu," katanya.
Bawaslu juga menemukan
pelanggaran Pemilu yang dilakukan kepala desa yang merugikan maupun
menguntungkan pihak kontestan tertentu pada Pemilu 2024.
Bagja menegaskan,
kepala desa yang melanggar aturan Pemilu juga bisa dijerat dengan Pasal 490
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan ancaman pidana penjara
paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp12 juta. "Total ada tujuh
temuan atau laporan diduga melanggar Pasal 490 Undang-Undang Pemilu,"
ujarnya.
Bagja mengungkapkan,
secara keseluruhan Bawaslu telah menerima 1.271 laporan dan 650 temuan dugaan
pelanggaran selama tahapan pemilu 2024. Data tersebut terakumulasi hingga 26
Februari 2024 dan terbagi menjadi berbagai jenis pelanggaran.
Bagja mengatakan bahwa
sebanyak 482 laporan dan 541 temuan telah diregistrasi, sedangkan 104 temuan
lainnya belum diregistrasi.
Anggota Bawaslu RI,
Herwyn J. H. Malonda menambahkan, salah satu tren dugaan pelanggaran pidana
pemilu adalah pelanggaran administrasi.
Herwyn mengatakan,
pelanggaran administrasi yang terjadi termasuk kampanye di luar masa kampanye,
verifikasi faktual ke pusat partai politik, video media sosial, ataupun kode
etik.
"Untuk tren
pidana pemilu itu, pertama terkait dengan pasal 521, kemudian 523 tentang
politik uang, kemudian pasal 490, 491, 494, dan 493 (Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang pemilihan umum)," kata Herwyn.
Ia menjelaskan, tren
dugaan pelanggaran pemilu meliputi pemalsuan dokumen pada masa kampanye atau
menjelang hari pemungutan suara yang berkaitan dengan politik uang.
Adapun dua tren itu,
kata dia, masih ditangani oleh Bawaslu ataupun pihak kepolisian dan kejaksaan.
"Kemudian tren yang lain itu, pertama, terkait dengan netralitas ASN.
Kemudian juga tentang ketentuan Pasal 283 terkait dengan kepala daerah yang
melanggar ketentuan Pasal 283 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7/2017," ujarnya.
(*)