Logo

berdikari Politik

Kamis, 29 Februari 2024

Bawaslu Tangani 46 Laporan Dugaan Pelanggaran Pidana Pemilu, Temukan 11 Penggunaan Fasilitas Negara

Oleh ADMIN

Berita
Kantor Bawaslu RI di Jakarta. Foto: Ist

Berdikari.co, Bandar Lampung - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menangani 46 kasus dugaan pelanggaran pidana Pemilu 2024. Sebanyak 40 laporan diantaranya dinyatakan melanggar.

Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja menerangkan, 46 laporan yang masuk itu terdiri dari 27 dugaan berasal dari temuan pengawas pemilu, dan ada 19 laporan dugaan pelanggaran dari masyarakat.

"Hingga 27 Februari 2024, Bawaslu melakukan kajian awal. Berdasarkan kajian atas laporan dan temuan itu, Bawaslu meregistrasi seluruh dugaan pelanggaran. Kemudian Bawaslu melakukan klarifikasi dan kajian akhir yang hasilnya 40 berkas dinyatakan pelanggaran," kata Bagja, Rabu (28/2/2024).

Bagja mengatakan, 4 laporan lainnya bukan pelanggaran pidana pemilu. Sedangkan 2 laporan atau temuan sisanya masih dalam tahap klarifikasi dan kajian akhir.


Ia mengungkapkan, adapun tren dugaan pelanggaran pidana pemilu yakni 8 temuan/laporan diduga melanggar Pasal 520 Undang-Undang Pemilu, 2 temuan/laporan diduga melanggar Pasal 523 Undang-Undang Pemilu, 3 temuan/laporan diduga melanggar Pasal 523 ayat (1) Undang-Undang Pemilu dan 11 temuan/laporan diduga melanggar Pasal 521 Undang-Undang Pemilu.

Kemudian, ada 4 temuan/laporan diduga melanggar Pasal 493 Undang-Undang Pemilu, 2 Pasal temuan/laporan diduga melanggar 491 Undang-Undang Pemilu, 1 temuan/laporan diduga melanggar Pasal 494 Undang-Undang Pemilu, dan 7 temuan/laporan diduga melanggar Pasal 490 Undang-Undang Pemilu.

“Adapun sebaran dugaan penanganan pelanggaran pidana pemilu adalah 6 Kasus di Sulawesi Selatan, 4 kasus di Riau, 4 kasus di Jawa Tengah, 2 Kasus di NTB, 2 kasus di Sulawesi Utara, 2 kasus di Maluku Utara, 1 kasus di Kepulauan Riau, 1 kasus di DKI Jakarta, 1 kasus di Kalimantan Selatan dan 1 kasus di Gorontalo,” paparnya.

Bagja mengucapkan terima kasih kepada masyarakat atas partisipasinya dalam melaporkan dugaan pelanggaran pemilu. Termasuk mengajak untuk terus berpartisipasi mengawasi, menyampaikan informasi dan melaporkan dugaan pelanggaran Pemilu kepada pengawas pemilu terdekat.

"Bawaslu akan menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran akan ditindaklanjuti sesuai mekanisme ketentuan yang berlaku untuk menegakkan hukum dan keadilan Pemilu," kata Bagja.

Selain itu, Bagja juga membeberkan bentuk dugaan pelanggaran administrasi pada Pemilu 2024. Ia mengatakan, ada 69 pelanggaran administrasi, 248 pelanggaran kode etik dan 125 pelanggaran hukum lainnya.

"Kemudian untuk pelanggaran kampanye ada 408 laporan, 249 temuan, registrasi 194 laporan, dan 224 temuan sedang diregistrasi ada 25 temuan yang belum registrasi. Hasilnya adalah 132 pelanggaran dan 127 bukan pelanggaran, 111 masih dalam proses penanganan pelanggaran," ucapnya.

Bagja juga menjabarkan jenis pelanggaran pada tahapan kampanye. Di mana 29 masuk dalam dugaan tindak pidana pemilu.

"Jenis pelanggaran tahapan kampanye terbagi atas 5 pelanggaran administrasi, 29 dugaan tindak pidana pemilu, 30 pelanggaran kode etik dan 66 pelanggaran hukum lainnya. Trennya apa? Misalnya ada ASN memberikan dukungan melalui media sosial kepada peserta pemilu, kepala desa ikut serta dan atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan atau pemilihan kepala daerah," katanya.

"Kemudian ASN ikut kegiatan kampanye, ASN memberikan dukungan melalui media sosial kepada peserta pemilu, ASN mengajak atau mengintimidasi untuk mendukung peserta pemilu, ASN pegawai tidak tetap, tenaga harian lepas, memberikan dukungan kepada peserta pemilu,” lanjutnya.

Bagja menjelaskan, ada juga kepala daerah melakukan pelanggaran pasal 283 ayat 1 dan 2 uu 7 tahun 2017, ada staf desa mengampanyekan salah satu caleg, dan ada tenaga pendamping profesional pendamping pemberdayaan desa menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan peserta pemilu tertentu.

Bukan hanya itu, Bawaslu RI menemukan 11 dugaan pelanggaran Pemilu berupa penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye peserta Pemilu, kampanye di tempat ibadah hingga tempat pendidikan.

Bagja mengatakan, fasilitas negara, rumah ibadah dan tempat pendidikan dilarang dijadikan tempat untuk berkampanye sesuai Pasal 521 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Menurut Bagja, pelaku bisa dipidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp24 juta. "Ada 11 temuan atau laporan yang diduga melanggar Pasal 521 UU Pemilu," kata Bagja.

Bagja mengungkapkan, pelanggaran paling banyak kedua yang ditemukan Bawaslu  yaitu pemalsuan dokumen Pemilu di beberapa wilayah di Indonesia. Terkait hal itu pelaku bisa dikenakan pidana terkait pemalsuan dokumen.

Para pelaku pemalsuan dokumen bisa dijerat dengan Pasal 520 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp72 juta. "Ada 8 temuan atau laporan yang diduga melanggar Pasal 520 Undang-Undang Pemilu," katanya.

Bawaslu juga menemukan pelanggaran Pemilu yang dilakukan kepala desa yang merugikan maupun menguntungkan pihak kontestan tertentu pada Pemilu 2024.

Bagja menegaskan, kepala desa yang melanggar aturan Pemilu juga bisa dijerat dengan Pasal 490 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp12 juta. "Total ada tujuh temuan atau laporan diduga melanggar Pasal 490 Undang-Undang Pemilu," ujarnya.

Bagja mengungkapkan, secara keseluruhan Bawaslu telah menerima 1.271 laporan dan 650 temuan dugaan pelanggaran selama tahapan pemilu 2024. Data tersebut terakumulasi hingga 26 Februari 2024 dan terbagi menjadi berbagai jenis pelanggaran.

Bagja mengatakan bahwa sebanyak 482 laporan dan 541 temuan telah diregistrasi, sedangkan 104 temuan lainnya belum diregistrasi.

Anggota Bawaslu RI, Herwyn J. H. Malonda menambahkan, salah satu tren dugaan pelanggaran pidana pemilu adalah pelanggaran administrasi.

Herwyn mengatakan, pelanggaran administrasi yang terjadi termasuk kampanye di luar masa kampanye, verifikasi faktual ke pusat partai politik, video media sosial, ataupun kode etik.

"Untuk tren pidana pemilu itu, pertama terkait dengan pasal 521, kemudian 523 tentang politik uang, kemudian pasal 490, 491, 494, dan 493 (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum)," kata Herwyn.

Ia menjelaskan, tren dugaan pelanggaran pemilu meliputi pemalsuan dokumen pada masa kampanye atau menjelang hari pemungutan suara yang berkaitan dengan politik uang.

Adapun dua tren itu, kata dia, masih ditangani oleh Bawaslu ataupun pihak kepolisian dan kejaksaan. "Kemudian tren yang lain itu, pertama, terkait dengan netralitas ASN. Kemudian juga tentang ketentuan Pasal 283 terkait dengan kepala daerah yang melanggar ketentuan Pasal 283 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7/2017," ujarnya. (*)

Editor Sigit Pamungkas