Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Kamis, 20 Juni 2024

Kasus Oligopsoni Pembelian Lada Hitam di Lampung, Empat Eksportir Kompak Tidak Penuhi Panggilan KPPU

Oleh ADMIN

Berita
Ilustrasi

Berdikari.co, Bandar Lampung - Empat eksportir lada hitam yang diduga menguasai 64 persen pembelian lada hitam di Provinsi Lampung tidak memenuhi panggilan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah II.

Kepala KPPU Wilayah II, Wahyu Bekti Anggoro mengatakan keempat eksportir tersebut kompak mangkir atau tidak menghadiri undangan pemeriksaan yang dilayangkan oleh KPPU.

"Untuk pemanggilan pertama kepada pelaku usaha pada minggu kemarin sudah kita lakukan. Namun mereka minta untuk di reschedule. Maka ini aneh kok mereka semua kompak tidak hadir," kata Wahyu, pada Rabu (19/6/2024).

Wahyu mengatakan, pihaknya akan kembali melakukan pemanggilan terhadap empat pelaku usaha yang melakukan dugaan oligopsoni tersebut.

"Kami akan kembali melakukan pemanggilan terhadap keempat pelaku usaha tersebut. Jika terbukti maka mereka bisa dikenakan pasal terkait dengan oligopsoni," tuturnya.

Wahyu menjelaskan, setelah pihaknya melakukan penyelidikan tersebut, saat ini harga lada di tingkat petani mengalami kenaikan sebesar Rp30 ribu per kilogram.

"Dan setelah diperiksa oleh KPPU saat ini harga lada mulai naik. Untuk kenaikannya sebesar Rp30 ribu per kilo. Harga sebelumnya Rp60 ribu sekarang ini naik jadi Rp90 ribu per kilonya," jelasnya.

Sekadar diketahui, KPPU sejak Februari 2024 lalu tengah melakukan penyelidikan tataniaga komoditas lada hitam di Provinsi Lampung. KPPU menemukan struktur pasar pembelian lada hitam di Provinsi Lampung pada tahun 2022 dikuasai 64 persen oleh 4 eksportir.

Selain itu, KPPU juga menemukan terdapat perilaku pengendalian pembelian pasokan dan harga beli lada di tingkat petani oleh keempat eksportir.

Tindakan tersebut diduga menyebabkan harga lada hitam di Lampung berada di bawah rata-rata harga nasional, meskipun Lampung merupakan daerah penghasil lada hitam terbesar di Indonesia.

Selain mengakibatkan harga yang rendah, perilaku pengendalian pembelian pasokan dan harga yang dilakukan keempat eksportir juga berdampak pada alih komoditas tanaman oleh petani, khususnya terhadap penurunan luas lahan dan produksi lada hitam di Lampung.

Dampak pada persaingan juga dirasakan pada penurunan jumlah eksportir lada hitam di Provinsi Lampung. Tercatat, pada tahun 2020 masih terdapat 15 eksportir lada hitam, namun tahun 2023 lalu jumlah tersebut turun menjadi 9 eksportir.

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung melalui Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindag) berjanji segera berkoordinasi dengan KPPU menindaklanjuti adanya dugaan empat eksportir kuasai 64 persen lada hitam asal Lampung.

Kepala Disperindag Provinsi Lampung, Evie Fatmawati mengatakan, saat ini pihaknya belum bisa berkomentar banyak terkait dengan temuan KPPU tersebut.

"Nanti saja, kita harus rapat dulu. Kita harus duduk sama-sama dulu biar sama-sama penanganannya. Kita koordinasi dengan BI dan KPPU juga," kata Evie, Selasa (4/6/2024).

Evie mengungkapkan, eksportir lada hitam di Provinsi Lampung cukup banyak. Sementara untuk harga jual di tingkat petani ditentukan oleh harga pasar.

"Kalau eksportir di Lampung banyak, tapi nanti. Harga sendiri di Lampung sesuai dengan harga pasar, kita tidak bisa menentukan sendiri," katanya.

Pengamat Ekonomi Universitas Lampung, Asrian Hendi Caya mengatakan, salah satu masalah pertanian di Lampung adalah rendah dan tidak stabilnya harga produksi hasil pertanian terutama di tingkat petani.

"Salah satu masalah pertanian di Lampung adalah rendah dan tidak stabilnya harga hasil pertanian. Dan utamanya harga di tingkat petani atau produsen," kata Asrian, Selasa (4/6/2024).

Menurutnya, penyebab rendahnya harga hasil pertanian dipengaruhi oleh monopoli (satu pembeli) atau oligopsoni (beberapa pembeli) yang menentukan atau mengendalikan harga.

"Bisa jadi salah satu sumbernya adalah monopoli atau oligopsoni sehingga mereka menentukan atau mengendalikan harga. Adanya temuan KPPU tersebut menjadi menarik karena bisa menjawab kenapa harga hasil pertanian di Lampung rendah,” ungkapnya.

Asrian menerangkan, selama ini lada hitam merupakan ikon Provinsi Lampung. Walaupun Lampung bukan penghasil lada terbesar, namun menjadi eksportir terbesar.

Ia menegaskan, jika harga lada hitam fluktuatif dapat merugikan petani dan mempengaruhi penurunan produktivitas yang bisa berdampak terhadap penurunan ekspor.

"Bila hal ini terus terjadi akan berdampak melemahkan perekonomian Lampung karena melibatkan petani. Dimana sebagian besar rakyat Lampung menggantungkan pendapatannya pada sektor pertanian," imbuhnya. (*)

Editor Sigit Pamungkas