Berdikari.co, Bandar
Lampung - Empat eksportir lada hitam yang diduga menguasai 64 persen pembelian
lada hitam di Provinsi Lampung tidak memenuhi panggilan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah II.
Kepala KPPU Wilayah
II, Wahyu Bekti Anggoro mengatakan keempat eksportir tersebut kompak mangkir
atau tidak menghadiri undangan pemeriksaan yang dilayangkan oleh KPPU.
"Untuk
pemanggilan pertama kepada pelaku usaha pada minggu kemarin sudah kita lakukan.
Namun mereka minta untuk di reschedule. Maka ini aneh kok mereka semua kompak
tidak hadir," kata Wahyu, pada Rabu (19/6/2024).
Wahyu mengatakan,
pihaknya akan kembali melakukan pemanggilan terhadap empat pelaku usaha yang
melakukan dugaan oligopsoni tersebut.
"Kami akan
kembali melakukan pemanggilan terhadap keempat pelaku usaha tersebut. Jika
terbukti maka mereka bisa dikenakan pasal terkait dengan oligopsoni,"
tuturnya.
Wahyu menjelaskan,
setelah pihaknya melakukan penyelidikan tersebut, saat ini harga lada di
tingkat petani mengalami kenaikan sebesar Rp30 ribu per kilogram.
"Dan setelah
diperiksa oleh KPPU saat ini harga lada mulai naik. Untuk kenaikannya sebesar
Rp30 ribu per kilo. Harga sebelumnya Rp60 ribu sekarang ini naik jadi Rp90 ribu
per kilonya," jelasnya.
Sekadar diketahui,
KPPU sejak Februari 2024 lalu tengah melakukan penyelidikan tataniaga komoditas
lada hitam di Provinsi Lampung. KPPU menemukan struktur pasar pembelian lada
hitam di Provinsi Lampung pada tahun 2022 dikuasai 64 persen oleh 4 eksportir.
Selain itu, KPPU juga
menemukan terdapat perilaku pengendalian pembelian pasokan dan harga beli lada
di tingkat petani oleh keempat eksportir.
Tindakan tersebut
diduga menyebabkan harga lada hitam di Lampung berada di bawah rata-rata harga
nasional, meskipun Lampung merupakan daerah penghasil lada hitam terbesar di
Indonesia.
Selain mengakibatkan
harga yang rendah, perilaku pengendalian pembelian pasokan dan harga yang
dilakukan keempat eksportir juga berdampak pada alih komoditas tanaman oleh
petani, khususnya terhadap penurunan luas lahan dan produksi lada hitam di
Lampung.
Dampak pada persaingan
juga dirasakan pada penurunan jumlah eksportir lada hitam di Provinsi Lampung.
Tercatat, pada tahun 2020 masih terdapat 15 eksportir lada hitam, namun tahun
2023 lalu jumlah tersebut turun menjadi 9 eksportir.
Sebelumnya, Pemerintah
Provinsi (Pemprov) Lampung melalui Dinas Perdagangan dan Perindustrian
(Disperindag) berjanji segera berkoordinasi dengan KPPU menindaklanjuti adanya
dugaan empat eksportir kuasai 64 persen lada hitam asal Lampung.
Kepala Disperindag
Provinsi Lampung, Evie Fatmawati mengatakan, saat ini pihaknya belum bisa
berkomentar banyak terkait dengan temuan KPPU tersebut.
"Nanti saja, kita
harus rapat dulu. Kita harus duduk sama-sama dulu biar sama-sama penanganannya.
Kita koordinasi dengan BI dan KPPU juga," kata Evie, Selasa (4/6/2024).
Evie mengungkapkan,
eksportir lada hitam di Provinsi Lampung cukup banyak. Sementara untuk harga
jual di tingkat petani ditentukan oleh harga pasar.
"Kalau eksportir
di Lampung banyak, tapi nanti. Harga sendiri di Lampung sesuai dengan harga
pasar, kita tidak bisa menentukan sendiri," katanya.
Pengamat Ekonomi
Universitas Lampung, Asrian Hendi Caya mengatakan, salah satu masalah pertanian
di Lampung adalah rendah dan tidak stabilnya harga produksi hasil pertanian
terutama di tingkat petani.
"Salah satu
masalah pertanian di Lampung adalah rendah dan tidak stabilnya harga hasil
pertanian. Dan utamanya harga di tingkat petani atau produsen," kata
Asrian, Selasa (4/6/2024).
Menurutnya, penyebab
rendahnya harga hasil pertanian dipengaruhi oleh monopoli (satu pembeli) atau
oligopsoni (beberapa pembeli) yang menentukan atau mengendalikan harga.
"Bisa jadi salah
satu sumbernya adalah monopoli atau oligopsoni sehingga mereka menentukan atau
mengendalikan harga. Adanya temuan KPPU tersebut menjadi menarik karena bisa
menjawab kenapa harga hasil pertanian di Lampung rendah,” ungkapnya.
Asrian menerangkan,
selama ini lada hitam merupakan ikon Provinsi Lampung. Walaupun Lampung bukan penghasil
lada terbesar, namun menjadi eksportir terbesar.
Ia menegaskan, jika
harga lada hitam fluktuatif dapat merugikan petani dan mempengaruhi penurunan
produktivitas yang bisa berdampak terhadap penurunan ekspor.
"Bila hal ini
terus terjadi akan berdampak melemahkan perekonomian Lampung karena melibatkan
petani. Dimana sebagian besar rakyat Lampung menggantungkan pendapatannya pada
sektor pertanian," imbuhnya. (*)