Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Kamis, 20 Juni 2024

Lampung Barat Masuk 40 Besar Daerah Rawan Bencana, Paling Sering Longsor dan Banjir

Oleh Echa wahyudi

Berita
Banjir di Kecamatan Bandar Negeri Suoh Lampung Barat beberapa waktu yang lalu. Foto: Berdikari.co

Berdikari.co, Lampung Barat - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung Barat mencatat jika Bumi Beguai Jejama Sai Betik itu masuk dalam 40 besar nasional daerah rawan terjadinya bencana berdasarkan Indeks Rawan Bencana Indonesia (IRBI).

Kepala BPBD Lampung Barat Padang Priyo Utomo mengatakan periode Januari hinga pertengahan Juni saja terjadi 24 bencana di Bumi Sekala Bekhak bahkan tercatat dua korban dinyatakan meninggal dunia.

Padang mengatakan, bencana yang terjadi di Lampung Barat terdiri atas bencana alam dan bencana non alam, rinciannya 21 kasus bencana alam dan tiga kasus bencana non alam.

Padang menjelaskan, bencana alam yang sering terjadi di Lampung Barat berupa tanah longsor, banjir hingga cuaca ekstrem, sebab wilayah setempat dikenal sebagai daerah rawan terjadinya bencana alam ataupun non alam.

"Bencana tanah longsor tiga kali, banjir tujuh kali, cuaca ekstrem 10 kali, gempa bumi dan erupsi satu kali, kemudian dari bencana alam yang terjadi sering di barengi dengan pohon tumbang dan lainnya," kata dia, Kamis (20/6/2024).

Cuaca ekstrem yang terjadi di Lampung Barat kata dia berdampak terhadap sejumlah fasilitas umum di wilayah setempat, diantaranya menyebabkan tanggul jebol, jembatan amblas hingga merusak beberapa rumah warga.

"Sedangkan becana non alam yang terjadi biasanya merupakan orang hilang dengan jumlah satu kali kejadian, dan orang hanyut dua kali, kejadian orang hanyut itu terjadi di BNS dan Suoh, dua korban ditemukan meninggal," jelasnya.

Ia mengaku, pihaknya telah melakukan berbagai upaya menindaklanjuti permasalahan bencana yang terjadi, pihaknya sudah menyiagakan satgas Pusdalops di masing-masing kecamatan hingga desa mengantisipasi terjadinya bencana.

"Nanti setelah menerima laporan bencana, Pusdalops PB segera berkoordinasi dengan satgas di wilayah terdekat, aparat pekon dan masyarakat, lalu barulah satgas dengan melakukan penanganan bencana," imbuhnya.

Selain penanganan pasca terjadinya bencana, pihaknya juga telah melakukan upaya mitigasi bencana yang menyasar masyarakat maupun pemerintah daerah. Pihaknya mengimbau masyarakat meningkatkan kesadaran bahaya bencana.

"Karena kondisi kerawanan tinggi yang kita hadapi tentunya perlu upaya dan kolaborasi yang serius, bagaimana kita melakukan upaya mitigasi dini, baik lingkungan, diri sendiri dan keluarga terkait dengan kewilayahan," imbuhnya.

Mitigasi dini kata Padang bisa dilakukan dengan menghindari titik bencana seperti tidak membangun permukiman di wilayah dekat tebing yang rawan longsor. "Selain itu tidak membangun permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang beresiko terkena luapan sungai jika ada banjir," jelasnya.

"Dalam membangun permukiman juga harus melakukan pertimbangan, apakah aman untuk wilayah kita yang rawan gempa bumi dan memiliki resiko tinggi kerentanan terhadap terjadinya bencana alam," sambungnya.

Padang menambahkan berdasarkan Indeks Rawan Bencana Indonesia (IRBI) 2023, Lampung Barat berada di ranking 40 dari 500 lebih kabupaten/kota di Indonesia yang rawan terjadi bencana alam.

"Lampung Barat tercatat memiliki poin sebanyak 176,61 dalam hal resiko kerentanan bencana alam secara nasional banyak faktor yang menjadikan Lampung Barat rawan terhadap terjadinya bencana alam salah satunya letak wilayah," ujarnya.

"Karena Lampung Barat dilewati oleh Sesar Sumatera atau Semangko, Sesar Sumatera merupakan patahan atau sesar terbesar dan terpopuler yang ada di wilayah Indonesia, hampir seluruh wilayah Lampung Barat beresiko tinggi," jelasnya.

Melihat kondisi tersebut, Padang meminta seluruh stakeholder dan masyarakat agar saling bersinergi dalam menghadapi bahaya bencana. "Penanganan bencana ini tanggung jawab bersama, seluruh unsur terlibat dan bertanggung jawab untuk melakukan mitigasi bencana," imbuhnya.

Sebab menurutnya, dampak yang ditimbulkan bukan hanya sekedar kerusakan infrastruktur, melainkan dampak timbulnya korban jiwa. "Yang terpenting tidak menimbulkan korban jiwa. Infrastruktur jika rusak bisa kita bangun lagi, kalau nyawa tidak," pungkasnya. (*)

Editor Sigit Pamungkas