Berdikari.co, Bandar Lampung - Ombudsman Republik Indonesia menemukan adanya maladministrasi dalam proses seleksi Calon Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Tahun 2023 kemarin. Kondisi ini terjadi dalam proses seleksi PPPK Bidan dan Guru Honorer.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan sebanyak 532 peserta seleksi PPPK berijazah D4 Bidan Pendidik dibatalkan kelulusannya. Akibatnya para bidan ini batal diangkat menjadi ASN meski sudah lulus seleksi.
Robert menjelaskan pembatalan kelulusan ini dilakukan dengan alasan kualifikasi para bidan ini dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam SE Dirjen Nakes Nomor PT.01.03/F/1365/2023. Di mana para bidan ini merupakan lulusan D4 Bidan Pendidik yang tidak masuk dalam kategori CPPPK 2023 dalam surat edaran tersebut.
"534 bidan berijazah D4 bidan pendidik, dibatalkan kelulusannya, karena dianggap kualifikasi pendidikan tersebut, itu tidak sesuai dengan formasi kebidanan sebagaimana ditetapkan dalam SE Dirjen," kata Robert dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat (9/8/2024).
Ia menjelaskan setelah mendapatkan laporan ini pihaknya langsung melakukan pendataan dan pengambilan informasi dari para bidan yang kelulusannya dibatalkan tadi. Dalam hal ini Ombudsman melakukan sampling di beberapa wilayah, yakni Tangerang dan Kota Tangerang, Sukabumi, dan Kupang.
Setelah melakukan berbagai rangkaian pemeriksaan, Robert mengatakan SE Dirjen yang menjadi penyebab banyaknya bidan ini batal jadi ASN ternyata tidak disampaikan atau disosialisasikan kepada para peserta saat pendaftaran sampai lulus seleksi.
Kondisi ini menimbulkan multitafsir yang berakibat pada perbedaan implementasi kepada peserta seleksi CPPPK Tahun 2023 dibandingkan tahun-tahun lainnya. Padahal menurut Robert dalam CPPPK tahun-tahun lainnya aturan ini tidak ada.
"Dari berbagai rangkaian pemeriksaan itu Ombudsman berpendapat bahwa, pertama surat edaran yang dikeluarkan oleh Dirjen Kementerian Kesehatan tadi itu tidak dilakukan sosialisasi dan penjelasan kepada para bidan," ucapnya.
"Kenapa ini penting? Bukan sekadar pembuat kebijakan itu harus partisipatif, tapi terutama karena konteksnya ini aturan hanya muncul di 2023. Jadi tahun-tahun sebelumnya, 2022, 2021, dan sekarang 2024, D4 Bidan Pendidik itu merupakan bidang pendidikan yang masuk dalam formasi sebagaimana yang memang ditetapkan pemerintah," jelas Robert lagi.
Kemudian Robert mengatakan pembatalan kelulusan ini membuat para bidan tadi mengalami kerugian, terutama dari segi kepastian Kepegawaian. Kondisi ini juga dirasa memberikan kerugian kepada negara berupa kehilangan tenaga kesehatan yang sebetulnya masih sangat dibutuhkan.
Atas temuan ini Ombudsman meminta kepada Kepala BPK untuk mengembalikan status kelulusan peserta seleksi D4 Bidan Pendidik dalam mengisi formasi Bidan Ahli Pertama dalam Seleksi CPPPK Tenaga Kesehatan Tahun 2023.
Tidak hanya bidan, Robert mengatakan ribuan guru honorer gagal menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) karena aturan PermenpanRB Nomor 14 Tahun 2023 Pasal 32.
Dalam aturan tersebut pemerintah daerah (pemda) diperbolehkan menambah proses seleksi PPPK Guru di wilayahnya masing-masing dengan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT). Seleksi tambahan ini dilakukan di luar tes CAT (Computer Assisted Test) yang dilakukan semua calon ASN.
"Ini kasusnya adalah pemerintah itu dalam proses seleksi PPPK guru punya macam-macam jenis seleksinya, dan dalam kasus ini ada seleksi yang itu berbasis pada CAT BKN. Tapi kemudian pemerintah memberlakukan menu tambahan, ini adalah tambahan syarat kelulusan yang namanya seleksi kompetensi teknis tambahan (SKTT)," ucap Robert.
"Jadi kalau CAT murni itu diberlakukan untuk semua daerah, SKTT ini sebagai kebijakan nasional malah tidak untuk semua daerah, hanya 60 instansi pemerintah daerah yang mengambil SKTT sebagai syarat tambahan. Ini yang juga menjadi pertanyaan kita, kalau kebijakan nasional harusnya berlaku untuk semua. Tapi ini ternyata diserahkan saja kepada instansi, kalau mau gunakan silakan kalau nggak apa-apa. Ini kebijakan apa-apaan kaya gini, kebijakan nasional itu harus berlaku, tidak bersifat operasional seperti itu," katanya lagi.
Lebih lanjut Robert menjelaskan bobot SKTT sebesar 30% dari hasil akhir penilaian seleksi CPPPK Guru, sedangkan tes CAT 70%. Jadi, ketika selesai mengikuti CAT, bagi pemda yang mengusulkan SKTT, nilai CAT tidak bisa dianggap sebagai nilai akhir.
"Karena kemudian ada menu baru (SKTT), maka kemudian ribuan guru di beberapa daerah itu kemudian tidak lurus. Bahkan sebagian itu kalau nilai CAT murni yang dipakai dia itu lurus terbaik. Coba bayangkan orang itu lulusan terbaik tapi karena ada menu tambahan kemudian tidak lulus. Ini terjadi di sejumlah daerah yang kita lakukan pemeriksaan," jelasnya.
Berdasarkan pemeriksaan, Ombudsman juga menemukan berbagai kejanggalan termasuk jumlah tim Panitia Seleksi Daerah (Panselda) yang berjumlah sangat sedikit yakni 2 orang. Padahal di masing-masing daerah biasanya terdapat ratusan pelamar CPPPK Guru.
Menurutnya kondisi ini berpotensi menjadi celah korupsi dan nepotisme. Sebab dengan tes SKTT ini pejabat daerah bisa menggugurkan peserta seleksi CPPPK Guru dengan memberikan nilai yang sangat rendah.
Sedangkan mereka yang sedari awal direncanakan untuk bekerja sebagai PPPK Guru akan diberikan nilai yang tinggi. Hal ini terlihat dari rentan nilai yang diberikan tim penilai, di mana dalam rentan nilai 1-9, mereka yang diluluskan akan mendapat nilai 9 dan mereka yang digagalkan akan mendapat nilai 1.
Atas temuan ini Ombudsman meminta kepada tim seleksi pemda terkait untuk meluluskan peserta PPPK Guru Tahun 2023 yang gugur karena nilai SKTT yang rendah meski CAT-nya tinggi. (*)