Berdikari.co, Bandar Lampung – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
RI, Rahmat Bagja, menegaskan pentingnya semua pihak menganggap praktik politik
uang sebagai kejahatan serius. Menurutnya, praktik ini melibatkan lebih dari
satu individu, sering kali melibatkan tim kampanye atau kelompok lain.
“Ke depan, politik uang harus diperlakukan sebagai serious crime, setara dengan tindak pidana lainnya. Ini karena politik uang tidak berdiri sendiri, dan pasti melibatkan lebih banyak pihak,” ujar Bagja dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan di situs resmi Bawaslu RI, Minggu (20/10/2024).
Bagja menjelaskan bahwa Bawaslu sering menghadapi tantangan dalam membuktikan pelanggaran politik uang. Dia menginginkan agar penegakan hukum bisa menjangkau aktor utama dari praktik tersebut. “Biasanya yang tertangkap adalah pelaku di tingkat bawah,” tambahnya.
Dalam konteks pemilihan kepala daerah, Bagja mengakui penanganan pelanggaran politik uang lebih kompleks. Dengan adanya UU 10/2016, penerima politik uang juga bisa dijerat pidana, sehingga masyarakat cenderung takut untuk melaporkan kecurangan kepada Bawaslu.
Bagja merinci dampak politik uang, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dari segi jangka pendek, sanksi pidana dan administrasi bisa dikenakan. Dia menyatakan, bagi peserta pemilihan, sanksi administrasi bisa jauh lebih menakutkan karena berpotensi mengakibatkan diskualifikasi sebagai calon.
Dampak jangka panjang dari praktik politik uang, menurut Bagja, adalah kemunduran dalam demokrasi.
“Praktik ini akan mengganggu fungsi pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik. Contohnya, infrastruktur jalan yang semakin rusak dan fasilitas umum yang tidak memadai. Ini semua adalah akibat dari politik uang dan masalah dalam pengelolaan pemerintahan,” tegasnya.
Bagja mengingatkan bahwa praktik politik uang memiliki konsekuensi serius, termasuk mengurangi dana APBD dan APBN, sehingga pelayanan publik dapat terganggu. (*)