Berdikari.co, Bandar Lampung - Di bawah terik matahari yang membakar kulit, di antara hiruk-pikuk Pasar Tugu, Bandar Lampung, seorang pria tua bernama Pak Raji terus mengayuh becaknya. Usianya sudah menginjak 50 tahun, namun semangatnya tetap menyala, sama seperti roda becaknya yang tak pernah berhenti berputar.
Pak Raji sudah lebih dari 10 tahun mencari nafkah di pasar ini. Setiap pagi, sebelum ayam berkokok, ia mengayuh becaknya dari rumah kecilnya di kawasan Sawah Brebes, Kecamatan Tanjungkarang Timur. Perjalanannya cukup jauh, tapi ia tak pernah mengeluh. Baginya, ini adalah jalan hidup yang telah ia pilih.
Di Pasar Tugu, Pak Raji sering kali mendapat pelanggan berupa pedagang kecil yang membawa barang dagangan, atau ibu-ibu yang ingin pulang setelah berbelanja. Upah yang ia terima tak seberapa, biasanya hanya Rp10.000 hingga Rp20.000 sekali jalan. Namun, ia tetap bersyukur.
"Rezeki itu sudah diatur, yang penting saya ikhlas," katanya dengan senyum yang menghiasi wajah tuanya saat ditemui di Pasar Tugu, Bandar Lampung, pada Minggu (22/12/2024).
Dalam sehari, penghasilan Pak Raji rata-rata hanya Rp50.000 hingga Rp100.000. Terkadang, jika hari sedang sepi atau hujan turun, ia hanya membawa pulang Rp20.000. Namun, ia tak pernah mengeluh. "Namanya juga rezeki, kadang ada, kadang tidak. Yang penting halal," katanya dengan senyum lelah namun tulus.
Namun, hidup sebagai tukang becak tidak mudah. Persaingan semakin ketat sejak ojek online masuk ke Kota Bandar Lampung. Banyak pelanggan yang beralih menggunakan jasa mereka karena lebih cepat dan praktis. Namun, Pak Raji tetap setia pada becaknya. "Saya gak bisa main handphone, jadi becak ini saja yang saya andalkan," ujarnya dengan nada pasrah.
Selain persaingan dari ojek online, kondisi fisik yang menurun juga menjadi kendala bagi Pak Raji. Lututnya sering sakit, dan punggungnya kerap pegal karena seharian mengayuh becak. Namun, ia tak pernah berhenti.
"Kalau saya berhenti, siapa yang mau cari uang untuk keluarga? Anak-anak saya masih sekolah. Saya ingin mereka punya masa depan yang lebih baik," katanya dengan suara bergetar.
Meski begitu, ia tetap memiliki pelanggan setia. Salah satunya adalah Bu Siti, seorang pedagang sayur. "Pak Raji itu orangnya jujur dan ramah. Kalau saya pinjam becaknya untuk angkut sayur, dia selalu mau bantu tanpa minta lebih," kata Bu Siti.
Hari-hari Pak Raji tak selalu cerah. Ada kalanya ia pulang tanpa membawa uang sepeser pun. Namun, ia tak pernah menyerah. Di rumah, istrinya, Bu Murni, selalu menyambutnya dengan sabar. Mereka bersama-sama menghemat apa yang ada untuk menghidupi dua anak mereka yang masih sekolah.
Ketika ditanya apa yang membuatnya tetap semangat, Pak Raji menjawab dengan tegas, "Saya ingin anak-anak saya punya hidup yang lebih baik. Saya tidak ingin mereka merasakan kerasnya hidup seperti saya."
Pak Raji juga berharap pemerintah atau pihak terkait dapat memberikan perhatian lebih kepada tukang becak seperti dirinya.
"Kalau ada bantuan, ya syukur. Kalau tidak, saya tetap kerja seperti biasa," ujarnya. Baginya, kerja keras dan doa adalah kunci utama untuk bertahan.
Di tengah kerasnya kehidupan, Pak Raji adalah contoh nyata dari seorang pekerja keras yang tak kenal menyerah.
Ia menjalani hidupnya dengan penuh keikhlasan dan semangat, meski keadaan sering kali tidak berpihak padanya. Roda becaknya yang terus berputar seakan menjadi simbol perjuangan hidupnya, yang tak pernah berhenti meski menghadapi berbagai rintangan.
Kisah Pak Raji ini mengingatkan semua pihak untuk selalu bersyukur dan menghargai setiap perjuangan, sekecil apa pun itu. Semoga semangat dan pengorbanannya dapat menjadi inspirasi bagi semua. (*)
Artikel ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi 24 Desember 2024, dengan judul "Kisah Tukang Becak Pasar Tugu Terima Upah 10.000 Hingga 20.000 Sekali Jalan"