Berdikari.co, Bandar Lampung - Keputusan MK menghapus aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, membawa angin segar bagi parpol-parpol kecil. Rakyat akan diberikan banyak pilihan calon presiden.
Sekretaris DPD PDI Perjuangan Provinsi Lampung, Sutono, menyatakan menghormati putusan MK tersebut.
"Ini adalah langkah positif bagi demokrasi, meskipun realitanya biaya Pilpres yang sangat tinggi tetap akan membuat partai-partai berpikir ulang dalam mencalonkan kandidat," kata Sutono, pada Minggu (5/1/2025).
Sutono mengaku yakin putusan MK itu tidak akan berpengaruh pada stabilitas politik nasional. Menurutnya, stabilitas politik nasional masih akan tetap terjaga.
"Rakyat Indonesia sudah semakin matang dalam berdemokrasi. Perbedaan pilihan adalah hal yang lumrah dalam pemilihan presiden, gubernur atau kepala daerah. Yang perlu dilakukan adalah berdialog dengan pihak-pihak yang mungkin memprovokasi," kata Sutono.
Ketua DPD Hanura Provinsi Lampung, Mukty Shoheh, mengatakan aturan presidential threshold tidak mencerminkan demokrasi yang sejati.
"Ambang batas 20 persen untuk capres itu mencederai prinsip demokrasi. Banyak suara rakyat yang terbuang sia-sia, seperti 17,3 juta suara pada Pemilu DPR RI 2024," kata Mukty.
Mukty berharap, penghapusan ambang batas parlemen 4 persen juga bisa dilakukan, seperti penghapusan ambang batas presidential threshold.
"Kedepan ambang batas parlemen 4 persen juga harus dihapus, agar suara rakyat benar-benar dihargai," tegas Mukty.
Wakil Ketua Bidang Media dan Komunikasi Publik DPW Partai NasDem Provinsi Lampung, Rakhmat Husein DC mengatakan, jajaran NasDem di Provinsi Lampung mendukung dan menyetujui penuh putusan MK tersebut.
Menurutnya, putusan ini menghindari dominasi calon presiden tertentu yang dapat membatasi masyarakat dalam menentukan pilihan.
"Dengan dilepasnya ambang batas, maka kemudian bisa membuat banyak pilihan capres bagi masyarakat," kata dia.
Ia mengatakan, Partai NasDem bakal mempersiapkan para kader terbaik sebagai sosok capres pada lima tahun ke depan tepat di Pilpres 2029 mendatang.
"NasDem banyak pilihan, dengan penghapusan ini, tentu, DPP juga punya rencana-rencana menyiapkan kadernya di Pilpres mendatang," kata Husein.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Lampung, Budiono, menilai keputusan MK ini sejalan dengan amanah UUD 1945.
"Keputusan ini memberikan hak kepada setiap partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan presiden. Dampaknya sangat baik untuk partai maupun rakyat. Karena semakin banyak pilihan calon presiden, maka semakin besar peluang mendapatkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas," jelasnya.
Adanya kekhawatiran beberapa pihak terkait stabilitas politik nasional dengan adanya putusan MK, menurut Budiono, hal itu tidak relevan.
"Sistem pemerintahan kita bersifat presidensial, bukan parlementer. Artinya, meskipun presiden terpilih berasal dari partai yang tidak menguasai parlemen, stabilitas politik tetap terjaga," bebernya.
Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Lampung, Candrawansah, menilai putusan MK ini sebagai kesempatan emas bagi demokrasi di Indonesia.
"Dengan dihapusnya aturan ambang batas presidential threshold, partai politik memiliki peluang yang lebih besar untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Sementara rakyat memiliki lebih banyak alternatif dalam menentukan pemimpin," ujarnya.
Menurutnya, partai politik harus bisa memanfaatkan waktu yang ada untuk mempersiapkan kader terbaik.
"Jangan sampai peluang ini justru digunakan untuk mencalonkan tokoh dari luar partai," imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan, MK memutuskan semua partai politik peserta pemilu memiliki kesempatan mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. MK menyatakan putusan itu akan dibahas DPR dan pemerintah saat merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dengan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruh permohonan tersebut.
Suhartoyo mengatakan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur mengenai presidential threshold, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) khususnya Pasal 6A Ayat 2.
Sebagai hasil dari putusan tersebut, ketentuan mengenai ambang batas tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Suhartoyo saat membacakan keputusan tersebut di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Dalam pertimbangan yang dibacakan hakim konstitusi Saldi Isra, penentuan ambang batas ini juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable
Meski begitu, MK mengingatkan adanya potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat membengkak dan sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu. Hal itu pun akan menimbulkan kekhawatiran terhadap efisiensi pemilu dan stabilitas sistem politik.
MK menegaskan penghapusan ambang batas merupakan bagian dari perlindungan hak konstitusional partai politik. Namun, dalam revisi UU Pemilu nantinya, diharapkan dapat mengatur mekanisme pencegahan lonjakan jumlah pasangan calon berlebihan, sehingga pemilu tetap efektif.
MK menyarankan, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU No. 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggara pemilu termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
Permohonan uji materi atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut diajukan ke MK oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alasannya bahwa presidential threshold telah menyimpangi prinsip dasar demokrasi. (*)
Artikel ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Senin 06 Januari 2025, dengan judul "MK Hapus Presidential Threshold, Rakyat Diberi Banyak Pilihan Calon Presiden"