Berdikari.co, Bandar Lampung - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Kantor Wilayah II mengungkap ada empat perusahaan atau pelaku usaha besar
menguasai pembelian ubi kayu atau singkong di atas 75 persen di Provinsi
Lampung.
Kepala KPPU Kantor Wilayah II, Wahyu Bekti Anggoro, mengatakan, sejak akhir
November 2024 pihaknya telah mengundang pelaku usaha tapioka untuk didengar
keterangannya menyikapi harga singkong yang terus turun di Provinsi Lampung.
"Kami telah menyampaikan permintaan data kepada perusahaan tapioka
yang teridentifikasi masih aktif melakukan kegiatan usaha. Dimana sedikitnya 45
pelaku usaha masih aktif di Lampung," kata Wahyu, Selasa (14/1/2025).
Wahyu mengungkapkan, setelah mendengarkan keterangan dari beberapa
produsen, KPPU mendapatkan keterangan bahwa permasalahan turunnya harga beli
ubi kayu saat ini merupakan dampak dari permasalahan penjualan produk output
yaitu tepung tapioka.
"Produsen tapioka yang telah didengar keterangannya menyampaikan bahwa
saat ini pelaku usaha sulit bersaing harga dengan produk tepung tapioka
impor," jelasnya.
Ia mengatakan, harga jual tapioka impor saat ini sudah sama dengan biaya
produksi atau Harga Pokok Penjualan (HPP) tapioka dari produsen lokal.
"Selanjutnya kami melakukan pendalaman dengan melakukan koordinasi
dengan instansi pemerintah yang memiliki kewenangan dalam melakukan pencatatan
impor," tuturnya.
Ia menerangkan, KPPU akan melakukan analisis data ekonomi untuk
mengkonfirmasi kesesuaian antara keterangan pelaku usaha dengan hasil anlisis
data.
"KPPU juga sudah menyiapkan beberapa alternatif yang bisa kami lakukan
berdasarkan kompetensi absolute KPPU. Jika hasil kajian kami mengkonfirmasi
adanya hambatan persaingan usaha akibat dari tapioka impor," jelasnya.
Menurut Wahyu, pihaknya terbuka jika terdapat masyarakat atau stakeholder
yang mengetahui adanya potensi hambatan persaingan usaha dalam tata niaga ubi
kayu dan tepung tapioka.
Wahyu mengatakan, kajian yang dilakukan oleh KPPU pada tahun 2021
menunjukkan bahwa struktur pasar pada industri ubi kayu dan tapioka di Provinsi
Lampung berada pada struktur pasar oligopoli pada penjualan tapioka dan
oligopsoni pada pembelian bahan baku ubi kayu.
“Meskipun pada tahun 2021 terdapat 71 pabrik tapioka di Provinsi Lampung,
akan tetapi penguasaan pasar dari 4 pelaku usaha terbesar dapat menguasai
konsentrasi rasio di atas 75 persen,” ujarnya.
"Secara teori bahwa Industri yang berada pada struktur oligopoli
memiliki potensi hambatan persaingan usaha yang tinggi, sehingga KPPU
mengintensifkan pengawasan pada industri yang berada pada struktur pasar
oligopoli seperti ubi kayu dan tepung tapioka," lanjutnya.
Sebelumnya, Penjabat (Pj) Gubernur Lampung, Samsudin, mengeluarkan Surat
Edaran Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2025 tertanggal 13 Januari 2025 tentang
Pembinaan Petani dan Monitoring Harga dan Kualitas Ubi Kayu di Provinsi
Lampung.
Surat edaran ini menegaskan pentingnya pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan kesepakatan harga singkong serta mengatur beberapa poin strategis
yang sudah disepakati.
Kesepakatan itu ada 4 poin, yaitu pembinaan dan monitoring harga serta
kualitas ubi kayu di lapak dan perusahaan.
Lalu, pelaksanaan tera ulang timbangan di seluruh lapak dan perusahaan.
Kemudian, pengembangan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah ubi kayu,
seperti produk Mocaf dan turunan lainnya. Terakhir, penegakan sanksi tegas bagi
perusahaan yang melanggar kesepakatan.
Pj Gubernur Lampung, Samsudin, juga menginstruksikan kepada seluruh
Bupati/Walikota di Provinsi Lampung untuk mengawasi implementasi harga singkong
Rp 1.400/kg di wilayah masing-masing.
“Dengan adanya surat edaran ini, kami harap kesejahteraan petani singkong
meningkat dan Lampung semakin kokoh sebagai sentra penghasil dan pengolah ubi
kayu di tingkat nasional,” tulis dalam surat edaran Pj Gubernur Lampung
Samsudin itu.
Surat edaran ini turut ditembuskan kepada berbagai pihak, diantaranya Ketua
DPRD Provinsi Lampung, Kapolda Lampung, Danrem 043/Gatam, dan Ketua DPRD
Kabupaten/Kota se-Lampung.
Sebelumnya diberitakan, ribuan petani singkong dari tujuh kabupaten di
Lampung melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur dan DPRD Lampung,
Senin (13/1/2025). Para petani marah lantaran perusahaan tidak menepati
kesepakatan pembelian singkong seharga Rp1.400 per kilogram dengan rafaksi
maksimal 15 persen.
Aksi dimulai sekitar pukul 08.30 WIB di Lapangan Korpri Kantor Pemprov
Lampung. Meski diguyur hujan, massa dari Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung
Utara, Tulang Bawang, Way Kanan, Tulangbawang Barat, dan Mesuji, tetap bertahan
menyuarakan tuntutan mereka.
Dalam orasinya, petani menyatakan selama ini perusahaan singkong tidak
pernah membeli ubi kayu sesuai kesepakatan yang ditetapkan Pj Gubernur Lampung
Samsudin saat bertemu para pengusaha sebesar Rp1.400 per kilogram dengan
rafaksi atau potongan maksimal 15 persen.
"Kami datang ke sini dari berbagai kabupaten untuk menuntut
pelaksanaan kesepakatan harga singkong. Ternyata, kesepakatan yang dibuat oleh
Gubernur tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan," kata seoran petani
saat menyampaikan orasinya.
"Harga yang ditetapkan Rp1.400 dengan potongan 15 persen tidak pernah
diterapkan oleh perusahaan. Kenyataannya potongan dinaikan jadi 30 persen
dengan harga tetap Rp1.400 per kilogram. Perusahaan tidak mematuhi
aturan," lanjutnya.
Ia berharap, Pemprov Lampung dapat lebih tegas dalam menjalankan kesepakatan harga singkong tersebut. (*)