Berdikari.co, Bandar Lampung - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Kantor Wilayah II terus melakukan kajian terkait dengan rendahnya harga beli
ubi kayu atau singkong ditingkat petani.
Berdasarkan hasil kajin yang dilakukan, menunjukkan bahwa tingginya impor
tapioka yang dilakukan oleh produsen tepung tapioka menjadi salah satu faktor
yang diduga menjadi penyebab rendahnya harga beli produk ubi kayu di Provinsi
Lampung pada tahun 2024.
Kepala Kantor KPPU Wilayah II, Wahyu Bekti Anggoro mengatakan, jika
sepanjang tahun 2024 secara nasional terdapat sekitar 267.062 ton tapioka impor
yang masuk ke Indonesia dengan nilai impor berkisar 144 juta USD atau sebesar
Rp2,2 triliun.
"Kami juga mendapati sepanjang tahun 2024 terdapat 4 perusahaan
produsen tepung tapioka yang memiliki pabrik pengolahan di Provinsi Lampung
melakukan impor tepung tapioka," kata dia saat dimintai keterangan, Jum'at
(17/1/2025).
Impor tersebut didatangkan dari Vietnam dan Thailand, dengan total jumlah
impor sebesar 59.050 ton atau dengan nilai impor sebesar 32,2 juta USD atau
setara dengan Rp511,4 milyar.
"Keempat perusahaan tersebut melakukan impor melalui Pelabuhan
Panjang, Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Perak dan Pelabuhan Tanjung
Emas," jelasnya.
Menurutnya, dari ke 4 perusahaan tepung tapioka di Provinsi Lampung yang
melakukan impor, KPPU menyoroti terdapat 1 kelompok usaha yang mendominasi
jumlah impor sepanjang tahun 2024.
"Jumlah nya mencapai 80 persen dari total impor tapioka oleh produsen
yang berada di Provinsi Lampung, dengan jumlah impor tapioka sebesar 47.202 ton
dan nilai impor sebesar 25 juta USD atau setara dengan Rp407,4 milyar,"
tuturnya.
Selain melakukan impor pada tahun 2024, KPPU juga mendapati 2 perusahaan
asal Lampung yang melakukan impor pada tahun 2022 dengan total impor sebesar
4.562 ton atau dengan nilai impor sebesar 2,5 juta USD atau setara dengan
Rp37,3 milyar.
"Analisis kami menunjukkan adanya korelasi antara jumlah kuantitas
impor tepung tapioka oleh produsen di Provinsi Lampung dengan harga beli produk
input (ubi kayu) di Provinsi Lampung, yaitu naiknya volume impor tepung tapioka
tahun 2024 berkorelasi dengan turunnya harga beli ubi kayu di Provinsi
Lampung," jelasnya.
Selain itu KPPU juga mendapati adanya keluhan dari Produsen tapioka di
Provinsi Lampung yang mengeluhkan sulitnya bersaing harga jual tepung tapioka
dengan produsen yang melakukan impor.
"Ini karena harga jual mereka dapat lebih rendah dibandingkan dengan
biaya produksi produsen yang tidak melakukan impor," tambahnya
Atas kajian tersebut KPPU akan melakukan analisis lanjutan untuk menyusun
alternatif yang bisa KPPU lakukan berdasarkan kompetensi absolut KPPU.
"Baik melalui penyampaian saran dan pertimbangan kebijakan impor
kepada pemerintah atau melalui proses penegakan hukum," tegasnya.
Pada kesempatan tersebut Wahyu juga mengatakan jika KPPU juga menyoroti
rendahnya kepatuhan pelaku usaha produsen tepung tapioka di Provinsi Lampung
untuk dapat kooperatif dalam memenuhi permintaan keterangan dan permintaan data
yang dibutuhkan.
"KPPU juga terbuka dan mendorong masyarakat, petani, atau stakeholder
lainnya untuk dapat menyampaikan Laporan kepada KPPU jika mengetahui adanya
hambatan persaingan usaha oleh Produsen tapioka di Provinsi Lampung,"
imbuhnya.
Wahyu menjelaskan jika berdasarkan hasil kajian KPPU atas tataniaga ubi
kayu dan tepung tapioka di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa struktur pasar
pada industri tersebut berada pada struktur pasar oligopoli.
Meskipun terdapat 45 Perusahaan tapioka di Provinsi Lampung, akan tetapi
penguasaan pasar dari 4 Pelaku Usaha terbesar dapat menguasai konsentrasi rasio
di atas 75 persen.
"Industri yang berada
pada struktur pasar oligopoli memiliki potensi hambatan persaingan usaha yang
tinggi, sehingga KPPU mengintensifkan pengawasan pada industri tersebut,"
jelasnya. (*)