Berdikari.co, Bandar Lampung - Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Lampung,
Wahrul Fauzi Silalahi, ikut menyoroti keberadaan pagar laut yang ada di
perairan Pantai Mutun.
Wahrul menegaskan, keberadaan pagar laut tidak boleh mengganggu aktivitas
warga dan nelayan maupun merusak ekosistem laut.
"Perairan laut memiliki kepentingan publik, termasuk akses nelayan dan
keberlangsungan biota laut di dalamnya," kata Wahrul, Kamis (16/1/2025).
Menurut Wahrul, pagar laut tidak boleh menjadi penghalang bagi nelayan
maupun berdampak pada ekosistem laut.
"Kami sangat menyayangkan jika pagar laut ini membatasi aktivitas
nelayan. Apalagi, Presiden Prabowo Subianto sudah tegas mengenai pentingnya
regulasi untuk mencabut pagar laut yang merugikan masyarakat," tegas
Wahrul.
Menurutnya, salah satu hal yang harus ditelusuri adalah apakah pagar laut
tersebut sudah mengantongi izin atau tidak.
"Kita akan cek lebih lanjut apakah pagar laut ini berizin atau tidak.
Namun, apapun alasannya, hal itu berpotensi mengganggu aktivitas nelayan.
Keberadaan pagar laut ini harus senafas dengan kebijakan Presiden," terang
Wahrul.
Ia juga mengkritisi alasan pembuatan pagar laut untuk mencegah sampah masuk
ke kawasan pantai. Karena persoalan sampah adalah tanggung jawab bersama.
"Jika alasan utamanya adalah sampah, maka ini menjadi tugas kita
bersama, bukan dengan memasang pagar laut," imbuhnya.
Manager Advokasi dan Kajian Mitra Bentala Lampung, Mashabi, menilai pembuatan
pagar laut yang berlokasi sekitar 500 meter dari pesisir Pantai Mutun, tepat di
depan Marriott Resort and Spa, berdampak negatif terhadap akses publik dan
merugikan nelayan setempat.
Mashabi menegaskan bahwa laut, termasuk daerah pasang surut, merupakan
wilayah dengan prinsip akses terbuka bagi publik dan tidak seharusnya di
kavling atau dibatasi. Pembatasan ini dinilai melanggar hak masyarakat yang
selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil laut.
“Laut tidak boleh dikavling-kavling karena merupakan wilayah yang terbuka
untuk publik. Adanya pagar laut seperti ini akan membatasi akses nelayan yang
selama ini memanfaatkan laut untuk mencari nafkah,” ujar Mashabi. Kamis
(16/1/2025).
Ia mengingatkan setiap aktivitas atau kegiatan yang membatasi akses di
wilayah pesisir harus mematuhi regulasi yang berlaku, salah satunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam peraturan tersebut disebutkan pengelolaan wilayah pesisir harus
memperhatikan akses masyarakat pesisir dan keberlanjutan lingkungan.
Lebih lanjut, Mashabi menekankan bahwa dampak langsung dari pemasangan
pagar laut ini adalah pembatasan akses bagi nelayan. Nelayan yang biasanya
melintasi area tersebut kini harus mencari jalur lain yang lebih jauh, sehingga
berdampak pada meningkatnya biaya operasional mereka.
“Nelayan harus menempuh jalur yang lebih panjang, sehingga pengeluaran
biaya untuk bahan bakar perahu meningkat. Hal ini jelas merugikan secara
ekonomi bagi para nelayan yang hanya mengandalkan hasil tangkapan harian,"
imbuhnya.
Selain berdampak ekonomi, lanjut Mashabi, keberadaan pagar laut
dikhawatirkan akan mempersempit ruang gerak nelayan dalam melaut, terutama bagi
mereka yang biasa mencari tangkapan di sekitar wilayah tersebut.
Selain itu, pagar laut juga dianggap dapat mengganggu ekosistem laut.
Struktur pagar yang hanya berupa pembatas fisik dapat membatasi ruang gerak
biota laut dalam berkembang biak dan bermigrasi.
“Pagar laut ini dapat mengganggu pergerakan biota laut yang seharusnya bebas berkembang biak dan bermigrasi secara alami. Pembatasan ruang gerak ini tentu dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem di kawasan tersebut,” tandasnya. (*)