Berdikari.co, Bandar Lampung - Kementerian Pertanian
(Kementan) memanggil sejumlah perusahaan singkong serta beberapa instansi
terkait yang ada di Provinsi Lampung untuk mengadakan rapat koordinasi (rakor).
Beberapa perusahaan yang diundang dalam rakor tersebut seperti PT Budi Starch & Sweetener, PT Sinar Pematang Mulia, PT Umas Jaya Agrotama, PT Sinar Laut Group, PT Tedco dan PT Kapal Api Group.
Selain itu, Kementan juga mengundang Ketua Pansus Tata Niaga Singkong DPRD Lampung, Kepala Dinas KPTPH Provinsi Lampung, Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Lampung Timur.
Kemudian rakor tersebut juga mengundang para perhimpunan petani singkong, penyuluh pertanian dan kelompok tani ubi kayu dari tujuh kabupaten di Lampung.
Saat dimintai keterangan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong DPRD Provinsi Lampung, Mikdar Ilyas mengatakan, jika rapat koordinasi tersebut dijadwalkan pada, Jum'at (31/1/2025) mendatang.
"Kita di undang oleh Kementerian Pertanian untuk dapat hadir rapat koordinasi ditanggal 31 Januari. Dari unsur pimpinan pansus singkong seperti Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris akan hadir," kata dia saat dimintai keterangan, Rabu (29/1/2025).
Pada kesempatan tersebut ia mengatakan jika terdapat beberapa point yang akan disampaikan oleh Pansus Tata Niaga Singkong dihadapan Kementerian Pertanian.
"Pertama yang ingin kita sampaikan adalah bagaimana cara mengatasi persoalan yang terjadi saat ini. Karena jika tidak diatasi ini akan terus-terusan berulang," paparnya.
Politisi Gerindra tersebut mengatakan jika kondisi saat ini yang dikeluhkan oleh petani adalah terkait dengan harga singkong yang sangat rendah.
Selain itu tidak satupun perusahaan di Lampung mengikuti Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Pemprov Lampung dan perusahaan yang menetapkan harga singkong Rp1.400 dengan potongan maksimal 15 persen.
"Kalau kita lihat kondisi saat ini yang menjadi keluhan petani adalah harga yang terlalu rendah. Kemudian SKB yang dikeluarkan oleh Pj Gubernur tidak berjalan," tegasnya.
Sementara itu persoalan yang dikeluhkan oleh para perusahaan selama ini ialah adanya impor tapioka yang dijual dengan harga yang murah sehingga pabrik tidak bisa bersaing.
"Pabrik kalah dengan barang impor karena impor ini harganya rendah. Kalau memang alasan pabrik karena impor membuat harga hancur dan pabrik tidak bisa mengikuti SKB maka impor harus di stop," kata dia.
Menurutnya, jika pemerintah terpaksa harus melakukan impor untuk menutupi kebutuhan dalam negeri yang cukup tinggi maka impor harus dilakukan oleh Perum Bulog.
"Kalau impor di stop maka berapapun produksi dan harga nya akan bisa diserap. Kalaupun harus Impor maka dilakukan oleh Bulog karena kalau dilakukan perusahaan maka timbul persaingan," imbuhnya.
Oleh karena itu ia berharap dalam rakor tersebut terdapat kesepakatan yang didapat dan jalan tengah sehingga antara petani dan perusahaan bisa saling terus bermitra.
"Jika ini tidak segera diselesaikan maka Lampung tidak akan lagi menjadi daerah penghasil singkong terbesar di Indonesia dan kita tidak lagi bisa mencukupi kebutuhan nasional," tutupnya. (*)