Berdikari.co, Bandar Lampung - Sejumlah pabrik tepung tapioka di Provinsi Lampung untuk sementara waktu tidak lagi membeli singkong petani. Dampaknya, petani harus menunda singkong yang sudah siap panen.
Ketua Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Provinsi Lampung,
Dasrul Aswin, mengatakan perusahaan yang menghentikan pembelian singkong
petani yakni PT Bumi Waras dan PT Sinar Mas.
Menurut Dasrul, kedua perusahaan tersebut membawahi beberapa perusahaan
tapioka yang ada di Lampung dan menguasai pembelian singkong petani.
"Jadi kemarin di wilayah Lampung Utara yang di demo itu memang membuat
pernyataan bahwa mereka (pabrik) tidak sanggup beli singkong dengan harga
Rp1.400 dengan potongan 15 persen," Dasrul, Rabu (29/1/2025).
Dasrul mengatakan, selama ini kedua perusahaan tersebut membeli singkong
petani dengan harga murah dan melakukan pemotongan rafaksi yang cukup besar.
"Terutama pabrik yang besar milik Sinar Mas dan Bumi Waras. Sudah
beli singkong paling murah, potongannya juga besar. Mereka ini semena-mena
dengan petani," ungkapnya.
"Di wilayah saya di Lampung Tengah itu untuk Bumi Waras punya 4
perusahaan. Kemudian Sinar Mas punya anak perusahaan 1. Pabrik punya Bumi
Waras itu tersebar di semua kabupaten di Lampung,” sambungnya.
Dasrul mengungkapkan, saat ini para petani terpaksa melakukan penundaan
panen singkong karena harga yang tak kunjung naik.
"Kemarin yang buat buat pernyataan adalah Bumi Waras dan Sinar Mas.
Mereka juga yang impor tapioka dari luar. Jadi sekarang petani tunda panen
karena tidak ada yang kuat dengan harganya," tegasnya.
Dasrul menegaskan, pada hari Jumat (31/1/2025) mendatang pihaknya
difasilitasi oleh Polres Lampung Tengah akan kembali mengadakan rapat dengan
perusahaan.
"Jumat besok di Lampung Tengah yang memiliki perusahaan tapioka
terbanyak ada sekitar 35 unit pabrik akan difasilitasi oleh Kapolres Lampung
Tengah bertemu dengan kita. Kita mengumpulkan petani dan pengusaha se-Lampung
Tengah untuk mencari titik tengah," imbuhnya.
Sementara Pengamat Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung,
Asrian Hendi Caya, mengatakan persoalan anjloknya harga singkong tidak bisa
hanya dibebankan pada Kementerian Pertanian.
Menurutnya, kebijakan lintas kementerian perlu disinkronkan agar sektor
pertanian, khususnya komoditas singkong memiliki ekosistem ekonomi yang sehat.
"Semua pihak harus dilibatkan. Kementerian Perdagangan harus
mengevaluasi kebijakan impor agar barang yang bisa diproduksi dalam negeri,
seperti tepung tapioka dan jagung, tidak mematikan industri dan pertanian
lokal," kata Asrian, Rabu (29/1/2025).
Selain itu, lanjut Asrian, Kementerian Perindustrian juga memiliki peran
dalam meningkatkan daya saing industri tepung tapioka dengan menekan biaya
produksi.
Asrian mengungkapkan, jika biaya produksi dapat ditekan, maka industri
dalam negeri akan lebih kompetitif tanpa harus bergantung pada impor.
"Kementerian Pertanian juga harus mencari cara untuk meningkatkan
produktivitas singkong dan menekan biaya produksi di tingkat petani. Jika
produktivitas meningkat dengan biaya yang lebih efisien, petani tidak akan
terlalu terpukul saat harga turun," jelasnya.
Asrian juga menyoroti peran Kementerian Keuangan dalam mengatur pajak dan
bea impor. Ia menilai, kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada industri
tepung tapioka perlu dievaluasi agar daya saing produk dalam negeri meningkat.
"Seharusnya tepung singkong yang bisa menjadi substitusi terbatas
untuk terigu juga dibebaskan dari PPN agar industri tapioka dalam negeri lebih
memiliki daya saing," ujarnya.
Asrian menerangkan, ekosistem ekonomi singkong harus dibangun secara sehat.
Ia mengingatkan agar industri singkong tidak hanya terkonsentrasi pada tepung
tapioka. Karena jika hal itu terjadi, maka akan berpotensi memunculkan praktik
oligopoli yang merugikan petani.
"Industri singkong harus tumbuh secara berimbang. Jangan hanya bergantung pada tepung tapioka, karena itu bisa berujung pada dominasi pasar oleh segelintir pihak," tandasnya. (*)