Berdikari.co, Bandar Lampung - Keputusan rehabilitasi terhadap tersangka kasus narkoba harus melalui putusan hakim, bukan keputusan penyidik atau BNN semata.
Penegasan tersebut disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, Prof. Dr. Hamzah, menanggapi keputusan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Lampung yang membebaskan lima mantan pengurus dan anggota HIPMI Provinsi Lampung. Mereka sebelumnya ditangkap di Astronom Karaoke Hotel Grand Mercure, Bandar Lampung, pada Kamis (28/8/2025) malam.
Kelimanya adalah RML (Riga Marga Limba) selaku Bendahara HIPMI Lampung, S (Ketua Bidang 1), RMP (Ketua Bidang 3), serta dua anggota, WM dan SA. Sementara satu orang lainnya berinisial ZK dinyatakan negatif.
Mereka dilepaskan dengan alasan untuk menjalani rehabilitasi sehingga tidak masuk pengadilan. Keputusan inilah yang kemudian menimbulkan protes dari sejumlah elemen masyarakat.
Hamzah mengatakan, dalam sistem hukum pidana, setiap penangkapan yang melibatkan tindak pidana narkoba seharusnya melalui alur hukum yang jelas, mulai dari penangkapan, penyidikan, asesmen terpadu, hingga penuntutan di pengadilan.
Hamzah mengungkapkan, rehabilitasi memang dapat diberikan, namun tetap harus melalui putusan hakim, bukan keputusan penyidik atau BNN semata. Ia menegaskan bahwa tindakan pembebasan tersebut tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Pasal 127 Ayat (1) UU tentang Narkotika memang membuka peluang rehabilitasi, tapi itu merupakan sanksi yang dijatuhkan oleh hakim. Jadi tetap harus ada proses hukum. Pembebasan tanpa melalui pengadilan jelas melanggar asas legalitas,” tegas Hamzah, Selasa (17/9/2025).
Ia menerangkan, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 tentang rehabilitasi pecandu narkoba hanya berlaku bagi hakim sebagai pedoman di persidangan, bukan dasar bagi penyidik untuk menghentikan perkara.
Selain itu, peran Tim Asesmen Terpadu (TAT) memang penting untuk menentukan status seseorang sebagai pengguna atau pengedar. Namun, hasil asesmen tersebut tetap harus diuji di persidangan.
“Apalagi dalam kasus ini ditemukan tujuh butir narkotika, jumlah yang patut dipertanyakan apakah hanya sebatas untuk dipakai sendiri,” jelasnya.
Hamzah menambahkan, proses asesmen harus dilakukan secara transparan agar publik mengetahui alasan rehabilitasi. Kerahasiaan dan kecepatan proses asesmen BNNP Lampung dalam kasus ini justru menimbulkan kecurigaan adanya perlakuan istimewa.
Lebih jauh, ia menilai pembebasan cepat terhadap mantan pengurus HIPMI Lampung berpotensi melanggar prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) yang dijamin Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.
“Kalau masyarakat biasa dengan barang bukti sedikit saja diproses sampai penjara, mengapa pengurus HIPMI justru bisa dibebaskan begitu cepat? Ini menimbulkan kesan tebang pilih dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum,” tegasnya.
Menurut Hamzah, kasus ini harus menjadi perhatian serius karena menyangkut keadilan hukum.
“Penegakan hukum yang tidak konsisten dan terkesan pilih kasih akan merusak kepercayaan publik pada lembaga peradilan dan penegak hukum,” paparnya.
Yang menarik, eks Bendahara HIPMI Lampung Riga Marga Limba (RML) yang sempat ditangkap BNNP Lampung terkait kasus narkoba di Astronom Karaoke Hotel Grand Mercure Bandar Lampung, ternyata adalah menantu Anggota DPRD Provinsi Lampung sekaligus Ketua DPC Partai Demokrat Bandar Lampung.
Berdasarkan penelusuran Kupas Tuntas, Riga Marga Limba menikah dengan putri legislator tersebut bernama Mia Nasya Tamara.
Akad nikah Riga Marga Limba dan Mia Nasya Tamara berlangsung di Solo, Jawa Tengah, pada 8 November 2017. Sementara resepsi pernikahan digelar di rumah legislator di Bandar Lampung pada 18 November 2017.
Dalam resepsi pernikahan ini, turut hadir sahabat dekat Riga Marga Limba, yakni Bobby Nasution (menantu mantan Presiden Joko Widodo) bersama istrinya Kahiyang. (*)
Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Kamis 18 September 2025 dengan judul "Kasus Narkoba Mantan Pengurus/Anggota HIPMI"