Berdikari.co, Bandar Lampung - Belakangan ini, pinjaman daerah kembali jadi pembicaraan hangat di banyak daerah, termasuk di Lampung. Pemerintah daerah, satu per satu mulai mengetuk pintu PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).
Alasannya sederhana yaitu kas menipis, tapi pembangunan harus jalan terus. Belanja wajib kian besar, sementara ruang APBD makin sempit karena dana transfer dari pusat menurun signifikan.
Menurut Pengamat Keuangan Publik dari Universitas Lampung, Saring Suhendro, dalam situasi seperti ini, pinjaman terasa seperti oase.
"Tapi di balik itu muncul pertanyaan yang mendasar yaitu apakah pinjaman benar-benar solusi fiskal yang sehat atau sekadar cara menunda masalah keuangan daerah?," kata Saring, saat dimintai keterangan, Sabtu (1/11/2025).
Ia mencontohkan di Lampung Tengah, pada 13 Oktober 2025, pemda telah meneken pinjaman Rp110,48 miliar dengan PT SMI.
Dana tersebut untuk membangun empat ruas jalan penghubung sentra pertanian yaitu Bangun Rejo–Sidomulyo, Negara Aji–Marhen, Purwosari–Sritejo Kencono, dan Rukti Harjo–Raman Utara.
Jalur-jalur ini penting untuk menggerakkan hasil bumi rakyat. Langkahnya patut diapresiasi karena jalan yang mulus bukan sekadar infrastruktur, tapi nadi ekonomi.
"Hanya saja, tidak semua daerah punya perencanaan dan kemampuan manajerial yang cukup. Di sinilah risiko muncul, pinjaman yang seharusnya menggerakkan ekonomi, bisa berubah jadi beban," jelasnya, seperti dikutip dari kupastuntas.co.
Menurut Laporan Keuangan PT SMI 2024 (audited, per Desember 2024), ada tujuh daerah di Lampung yang masih memiliki pinjaman aktif (outstanding) yaitu Bandar Lampung Rp114,48 miliar.
Kemudian Lampung Tengah Rp63,45 miliar, Lampung Utara Rp62,83 miliar, Tanggamus Rp59,62 miliar, Lampung Selatan Rp55,30 miliar, Tulangbawang Barat Rp50,94 miliar dan Lampung Barat Rp34,19 miliar.
"Angka-angka ini menunjukkan bahwa utang sudah menjadi bagian nyata dari strategi pembangunan daerah. Tidak salah, tapi juga tidak boleh sembrono. Karena pinjaman bukan sekadar menambah uang, tapi menambah tanggung jawab," tegasnya.
Menurutnya, berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 2024 sudah memberikan batasan yang jelas. Pinjaman hanya boleh untuk urusan yang jadi kewenangan daerah, dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan kehati-hatian.
Selain itu, harus mendapatkan persetujuan DPRD pada saat pembahasan APBD. Batasnya pun ketat dengan maksimal 75 persen pendapatan umum APBD tahun sebelumnya dan rasio DSCR (rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan utang daerah) minimal 2,5.
"Kalau pinjaman melewati masa jabatan kepala daerah, wajib ada pertimbangan dari Menkeu, Mendagri, dan Bappenas. Ini bukan sekadar aturan, tapi peringatan agar daerah tidak terjebak dalam utang jangka panjang," kata dia.
Ia mengatakan jika kunci utamanya bukan di pinjamannya, tapi di kesiapan mengelolanya. Banyak daerah belum punya project appraisal yang matang, sehingga manfaat ekonominya sering tak sebesar yang dijanjikan.
"Di atas kertas semua tampak indah, tapi di lapangan sering kali lain cerita. Karena itu, disiplin terhadap DSCR dan kajian kelayakan harus jadi dasar sebelum memutuskan berutang. Pinjaman daerah itu sah, bahkan bisa jadi motor pertumbuhan," kata dia.
Ia menegaskan tanpa disiplin dan perhitungan yang matang, ia bisa berubah jadi batu pemberat. Utang harus jadi jembatan menuju kemandirian, bukan jebakan yang menenggelamkan ruang fiskal.
"Sebab membangun dengan pinjaman memang sah, tapi membangun tanpa perhitungan adalah cara tercepat kehilangan kepercayaan publik," pungkasnya. (*)

berdikari









