Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Kamis, 06 November 2025

Dari Limbah Jadi Berkah: Gerakan Pesantren Sampah di Metro Bangun Ekonomi dan Kesadaran Lingkungan

Oleh Arby Pratama

Berita
Slamet Riadi, pendiri Pesantren Sampah Nusantara yang juga Ketua Gerakan Masyarakat Lokal (GML) Indonesia, Kamis (6/11/2025). Foto: Berdikari.co

Berdikari.co, Metro – Di halaman sederhana Pesantren Sampah Nusantara, Jalan Kutilang, Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Metro Utara, kepulan asap tipis tampak mengepul dari tungku pembakar. Sejumlah orang terlihat sibuk memilah plastik bekas, bukan untuk dibuang, melainkan untuk diolah menjadi bahan bangunan bernilai ekonomi.

Plastik-plastik berwarna hitam, merah, dan bening itu dilelehkan, dicampur pasir, lalu dicetak menjadi paving blok yang kuat dan padat. Di tempat ini, tumpukan sampah bukan lagi simbol kekumuhan, melainkan sumber penghidupan dan ruang belajar bagi masyarakat.

“Setiap satu karung plastik kresek bisa jadi satu buah paving blok,” ujar Slamet Riadi, pendiri Pesantren Sampah Nusantara yang juga Ketua Gerakan Masyarakat Lokal (GML) Indonesia, Kamis (6/11/2025).

Slamet bercerita, kegiatan ini berawal dari keprihatinannya melihat gunungan sampah plastik di lingkungan tempat tinggalnya. Alih-alih membiarkan menumpuk atau dibakar, ia mengajak sejumlah rekan untuk mencari cara mengolahnya menjadi produk bermanfaat.

“Awalnya banyak gagal, plastiknya gosong atau pecah. Tapi setelah mencoba berulang kali, akhirnya kami menemukan suhu dan takaran yang pas,” katanya sambil tersenyum.

Kini, di bawah koordinasi Slamet dan para relawan, Pesantren Sampah Nusantara menjadi laboratorium kecil penggerak ekonomi sirkular. Setiap hari, para ibu rumah tangga, pemuda, dan pegiat lingkungan datang bergantian belajar cara mengolah limbah plastik menjadi paving ramah lingkungan.

“Ini bukan sekadar urusan kebersihan, tapi pemberdayaan masyarakat. Dari sampah, kita ciptakan nilai ekonomi dan kesadaran bersama,” tambah Slamet.

Intiyas Suprihatin, Ketua Divisi SDM dan Pendidikan Pesantren Sampah, mengatakan kegiatan tersebut kini diikuti belasan anggota aktif. Mereka tak hanya belajar teknik daur ulang, tetapi juga nilai gotong royong dan kemandirian.

“Kami menyebutnya ekonomi kesadaran, karena gerakan ini lahir dari kepedulian terhadap bumi, bukan dari ambisi mencari keuntungan,” ujar Intiyas.

Setiap karung plastik yang berhasil diolah berarti satu karung limbah yang tak lagi menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir. Setiap paving yang tercetak menjadi simbol kecil perubahan — bukti bahwa sampah bisa bernilai bila dikelola dengan niat baik dan kerja bersama.

Slamet berharap inisiatif ini bisa berkembang lebih luas dan menjadi contoh bagi daerah lain di Lampung.

“Kita tidak perlu menunggu investor besar. Yang kita butuh hanya kesadaran bersama. Kalau setiap warga punya kepedulian, sampah tidak akan jadi momok,” tegasnya.

Menjelang sore, suara cetakan mulai berhenti. Para peserta menata hasil produksi di bawah kanopi sederhana. Di antara tumpukan paving yang masih hangat, tersimpan semangat untuk membangun masa depan yang lebih bersih, berdaya, dan mandiri.

“Dari sampah, kita belajar bahwa yang dianggap kotor bisa jadi berkah. Semua tergantung niat dan kemauan kita untuk berubah,” tutup Slamet. (*)


Editor Sigit Pamungkas