Berdikari.co,
Bandar Lampung - Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) Lampung, Irfan Tri Musri, menegaskan aparat penegak hukum harus
menindak tegas pengelola dan pemilik tambang ilegal.
“Kalau
sudah ada datanya, seharusnya tidak dibiarkan begitu saja. Sudah tahu
lokasinya, seharusnya segera ditindak,” ujar Irfan, baru-baru ini.
Menurut
Irfan, sebanyak 32 tambang ilegal tersebar di Kabupaten Way Kanan, Kota Bandar
Lampung, dan Kabupaten Lampung Timur.
Ia
menilai hingga saat ini belum ada keseriusan yang berkelanjutan dari aparat penegak
hukum maupun pemerintah daerah dalam menindak aktivitas tambang ilegal
tersebut.
Irfan
menambahkan, aparat penegak hukum dan pemerintah dapat berinisiatif membentuk
tim khusus pemberantasan tambang ilegal agar penindakan berjalan lebih
terkoordinasi dan menyeluruh.
“Baik
kepolisian, kejaksaan, maupun pemerintah provinsi serta kabupaten/kota belum
menunjukkan upaya yang efektif. Padahal aktivitas tambang ilegal jelas merusak
lingkungan dan merugikan masyarakat,” tegas Irfan.
Sementara
itu, pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara,
menilai temuan 32 pertambangan tanpa izin (PETI) di Lampung oleh Bareskrim
Polri menjadi bukti nyata bahwa sistem pengawasan dan penegakan hukum di sektor
pertambangan belum berjalan efektif.
Menurut
Benny, tambang tanpa izin bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan
kejahatan yang berdampak langsung terhadap kerusakan lingkungan, hilangnya
potensi pendapatan negara, serta ancaman keselamatan masyarakat di sekitar
lokasi tambang.
“Temuan
Bareskrim Polri ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum
di tingkat daerah. Penindakan hukum seharusnya tidak berhenti pada aspek
administratif, tetapi juga harus memulihkan keadilan sosial dan ekologis,” kata
Benny.
Ia
menegaskan, maraknya aktivitas tambang ilegal tidak bisa dilepaskan dari dua
faktor utama, yakni lemahnya pengawasan pemerintah daerah dan minimnya
penegakan hukum.
“Pemerintah
daerah memiliki kewenangan besar sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020
tentang Minerba. Namun fakta adanya 32 PETI menunjukkan fungsi pengawasan itu
tidak berjalan optimal,” ujarnya.
Benny
mengungkapkan, lemahnya koordinasi antarinstansi serta sikap reaktif aparat
dalam menindak pelanggaran turut memperburuk situasi. Kondisi tersebut membuka
ruang terjadinya praktik backing atau perlindungan terhadap tambang ilegal.
“Jika
benar ada keterlibatan oknum aparat dalam membekingi aktivitas tambang ilegal,
maka hal itu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sesuai Pasal 3
dan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001,” tegasnya.
Benny
menilai, bentuk penyalahgunaan wewenang semacam itu merupakan pengkhianatan
terhadap mandat sosial hukum dan mencederai kepercayaan publik terhadap institusi
penegak hukum.
Ia
menekankan, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum seharusnya tidak hanya
menunggu laporan masyarakat, melainkan aktif melakukan pengawasan partisipatif
dengan melibatkan unsur publik, media, dan lembaga independen.
“Model
penegakan hukum progresif menuntut adanya kolaborasi antara aparat, pemerintah
daerah, akademisi, dan masyarakat sipil. Langkah ini penting untuk menutup
ruang kongkalikong dalam perizinan tambang,” jelasnya.
Menurut
Benny, aturan hukum yang ada sebenarnya sudah cukup kuat untuk menjerat pelaku
tambang ilegal. Pasal 158 Undang-Undang Minerba dengan tegas menyebutkan
ancaman pidana lima tahun penjara dan denda maksimal Rp100 miliar bagi siapa
pun yang melakukan penambangan tanpa izin.
Namun,
lanjut dia, kelemahan justru terletak pada implementasi dan keberanian aparat
menegakkan hukum secara konsisten.
“Celahnya
bukan di aturan, melainkan pada pelaksanaannya. Dalam praktik hukum progresif,
kekuatan hukum diukur dari keberanian menegakkannya,” ungkap Benny.
Sebagai
langkah konkret, Benny merekomendasikan pemerintah daerah melakukan audit
menyeluruh terhadap seluruh izin tambang di Lampung, membentuk tim independen
pengawasan yang melibatkan akademisi dan masyarakat sipil, serta membuka akses
publik terhadap proses hukum yang berjalan.
“Penegakan
hukum yang tegas, transparan, dan tidak tebang pilih akan menjadi bukti bahwa
hukum berdiri untuk keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan, bukan tunduk
pada kepentingan ekonomi,” pungkas Benny. (*)

berdikari









