Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Rabu, 17 Desember 2025

Walhi: Aparat Penegak Hukum Harus Tindak Tambang Ilegal

Oleh ADMIN

Berita
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Irfan Tri Musri. Foto: Berdikari.co

Berdikari.co, Bandar Lampung - Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Irfan Tri Musri, menegaskan aparat penegak hukum harus menindak tegas pengelola dan pemilik tambang ilegal.

“Kalau sudah ada datanya, seharusnya tidak dibiarkan begitu saja. Sudah tahu lokasinya, seharusnya segera ditindak,” ujar Irfan, baru-baru ini.

Menurut Irfan, sebanyak 32 tambang ilegal tersebar di Kabupaten Way Kanan, Kota Bandar Lampung, dan Kabupaten Lampung Timur.

Ia menilai hingga saat ini belum ada keseriusan yang berkelanjutan dari aparat penegak hukum maupun pemerintah daerah dalam menindak aktivitas tambang ilegal tersebut.

Irfan menambahkan, aparat penegak hukum dan pemerintah dapat berinisiatif membentuk tim khusus pemberantasan tambang ilegal agar penindakan berjalan lebih terkoordinasi dan menyeluruh.

“Baik kepolisian, kejaksaan, maupun pemerintah provinsi serta kabupaten/kota belum menunjukkan upaya yang efektif. Padahal aktivitas tambang ilegal jelas merusak lingkungan dan merugikan masyarakat,” tegas Irfan.

Sementara itu, pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara, menilai temuan 32 pertambangan tanpa izin (PETI) di Lampung oleh Bareskrim Polri menjadi bukti nyata bahwa sistem pengawasan dan penegakan hukum di sektor pertambangan belum berjalan efektif.

Menurut Benny, tambang tanpa izin bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan kejahatan yang berdampak langsung terhadap kerusakan lingkungan, hilangnya potensi pendapatan negara, serta ancaman keselamatan masyarakat di sekitar lokasi tambang.

“Temuan Bareskrim Polri ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum di tingkat daerah. Penindakan hukum seharusnya tidak berhenti pada aspek administratif, tetapi juga harus memulihkan keadilan sosial dan ekologis,” kata Benny.

Ia menegaskan, maraknya aktivitas tambang ilegal tidak bisa dilepaskan dari dua faktor utama, yakni lemahnya pengawasan pemerintah daerah dan minimnya penegakan hukum.

“Pemerintah daerah memiliki kewenangan besar sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Namun fakta adanya 32 PETI menunjukkan fungsi pengawasan itu tidak berjalan optimal,” ujarnya.

Benny mengungkapkan, lemahnya koordinasi antarinstansi serta sikap reaktif aparat dalam menindak pelanggaran turut memperburuk situasi. Kondisi tersebut membuka ruang terjadinya praktik backing atau perlindungan terhadap tambang ilegal.

“Jika benar ada keterlibatan oknum aparat dalam membekingi aktivitas tambang ilegal, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sesuai Pasal 3 dan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,” tegasnya.

Benny menilai, bentuk penyalahgunaan wewenang semacam itu merupakan pengkhianatan terhadap mandat sosial hukum dan mencederai kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.

Ia menekankan, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum seharusnya tidak hanya menunggu laporan masyarakat, melainkan aktif melakukan pengawasan partisipatif dengan melibatkan unsur publik, media, dan lembaga independen.

“Model penegakan hukum progresif menuntut adanya kolaborasi antara aparat, pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat sipil. Langkah ini penting untuk menutup ruang kongkalikong dalam perizinan tambang,” jelasnya.

Menurut Benny, aturan hukum yang ada sebenarnya sudah cukup kuat untuk menjerat pelaku tambang ilegal. Pasal 158 Undang-Undang Minerba dengan tegas menyebutkan ancaman pidana lima tahun penjara dan denda maksimal Rp100 miliar bagi siapa pun yang melakukan penambangan tanpa izin.

Namun, lanjut dia, kelemahan justru terletak pada implementasi dan keberanian aparat menegakkan hukum secara konsisten.

“Celahnya bukan di aturan, melainkan pada pelaksanaannya. Dalam praktik hukum progresif, kekuatan hukum diukur dari keberanian menegakkannya,” ungkap Benny.

Sebagai langkah konkret, Benny merekomendasikan pemerintah daerah melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin tambang di Lampung, membentuk tim independen pengawasan yang melibatkan akademisi dan masyarakat sipil, serta membuka akses publik terhadap proses hukum yang berjalan.

“Penegakan hukum yang tegas, transparan, dan tidak tebang pilih akan menjadi bukti bahwa hukum berdiri untuk keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan, bukan tunduk pada kepentingan ekonomi,” pungkas Benny. (*)

Editor Sigit Pamungkas