Berdikari.co, Bandar Lampung - Hanizar Habim, adik anggota DPRD Kabupaten Lampung Utara (Lampura) Nurdin Habim menyetorkan fee proyek sebesar Rp1,7 miliar kepada Akbar Tandaniria Mangkunegara.
Jaksa Penuntut Umum
(JPU) KPK, Ikhsan Fernandi Z menghadirkan 9 orang saksi dalam persidangan lanjutan
kasus dugaan korupsi fee proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
(PUPR) Kabupaten Lampura dengan terdakwa Akbar Tandaniria Mangkunegara selaku
adik mantan Bupati Lampura, Agung Ilmu Mangkunegara di Pengadilan Tipikor
Tanjung Karang, Rabu (19/1).
Saksi Hanizar Habim,
yang merupakan adik anggota DPRD Lampura, Nurdin Habim dalam keterangannya
mengatakan, memberikan fee proyek sebesar 20 persen saat mendekati proses
lelang untuk Akbar Tandaniria Mangkunegara.
Hanizar menjelaskan,
pada tahun 2015 memberikan fee proyek sebesar Rp220 juta untuk paket Rp1,1
miliar yang diserahkan kepada Syahbudin di halaman kantor Dinas PUPR Lampura.
"Tahun 2017 ada 7
proyek, saya dapat melalui Fria kurang lebih totalnya Rp7,4 miliar. Nilai
feenya Rp1,5 miliar yang saya serahkan diteras rumah kakak saya kepada Fria.
Saat itu ditemani Susilo Dwiko Sekretaris Dinas PU Lampura," kata Hanizar.
Sehingga total saksi menyerahkan fee sebesar Rp1,7 miliar lebih.
"Kakak kamu tahu
soal pemberian uang itu?," tanya JPU KPK Ikhsan Fernandi
Z. "Tidak tahu pak," jawab Hanizar
"Itukan
penyerahan di halaman teras rumah kakak kamu, masa kakak kamu tidak tau soal
itu?," tanya ulang Jaksa Ikhsan. "Tidak tahu pak, setahu saya kakak
saya tidak ada di rumah saat itu," jawab Hanizar kembali.
"Tunggu sebentar,
saya lihat saksi satu ini berbohong. Saya mengikuti dari awal persidangan, saya
juga hakimnya dari Agung, Syahbudin. Jadi jangan coba-coba untuk berbohong pada
persidanga ini. Saya minta kepada JPU untuk menghadirkan kakaknya yaitu Nurdin
Habim. Tidak perduli dia anggota dewan, saya minta untuk dihadirkan,"
tegas Ketua Majelis Hakim, Efiyanto.
Saksi kedua Edy Abizar
mengatakan, ia mendapatkan proyek dari Fria Afrispratama. "Saya dapat
telepon dari Fria, katanya minta uang Rp60 juta karena saya dapat proyek Rp300
juta tahun 2015. Dia mengenalkan kepada saya sebagai bendahara, minta antarkan
sore di rumah Fria. Lalu saya antarkan," kata Edy.
Pada tahun 2016, Edy
kembali mendapatkan proyek dengan nilai pagu dan fee yang sama dengan tahun 2015,
dan diserahkan kepada Fria. "Kalau tahun 2017, Fria telepon saya katanya
suruh menyerahkan uang Rp100 juta dengan proyek Rp500 juta. Saya antarkan ke
rumahnya sore, dan ternyata nggak dapat Rp500 juta tapi Rp400 juta untuk 2
paket. Dan dikembalikan Rp20 jutanya kepada saya," jelasnya.
Lalu saksi Suhaimi
mengaku, pada akhir tahun 2014 dihubungi Taufik Hidayat dan ditawarkan
mengerjakan paket proyek sebesar Rp2 miliar milik Akbar Tandaniria
Mangkunegara.
"Saya mendapatkan
proyek itu tahun 2015 dengan nilai pagu Rp2 miliar, dan saya serahkan fee Rp400
juta menggunakan bungkus plastik hitam kepada pak Taufik," katanya.
Pada akhir tahun 2015,
Suhaimi kembali ditawarkan paket pekerjaan milik Akbar dengan nilai Rp5 miliar
yang akan dikerjakan untuk tahun 2016. "Feenya 30 persen totalnya Rp1,5
miliar, diserahkan kepada Taufik semua," ungkap Suhaimi.
Pada tahun 2017,
Suhaimi kembali mendapatkan dua paket proyek dengan nilai fee yang berbeda,
yakni paket Rp7 miliar harus menyerahkan fee sebesar 30 persen senilai Rp2,1
miliar kepada Taufik di akhir pekerjaan.
"Kewajiban
komitmen 2017 ada yang 20 persen, dan menyerahkan uang Rp200 juta kepada
Taufik. Saya mendapatkan uang itu dari teman saya, Murzalim, Juniar dan Arizon
sebesar Rp 100 juta, Rp50 juta dan Rp50 juta. Saya serahkan lewat Taufik untuk
pak Syahbudin," jelasnya.
Saksi Ibnu Hajar
mengaku, mendapatkan proyek atas mandat dari ayahnya bernama Herman.
"Proyek tahun 2015, menyetorkan fee sebesar Rp 280 juta. Tahun 2016 nilai
pagu Rp1,9 miliar, fee-nya Rp380 juta diserahkan kepada pak Syahbudin. Tahun
2017 dikerjakan orang tua saya jumlahnya Rp800 juta itu pekerjaan jalan,
feenya Rp160 juta," terangnya.
Saksi lainnya, Dicky
Fahlevi Suudi mengatakan pernah mendapatkan dua paket pekerjaan pada tahun 2017
dengan nilai paket Rp600 juta dan Rp700 juta. "Saat itu saya
kasih paket pekerjaan ke teman saya Aswin dan Akhyar, karena mereka pemborong.
Saya tidak punya perusahaan, dan setelah itu saya nggak ikut apapun. Mereka
ngasih ke saya bahasanya buat icip-icip Rp 30 juta," ungkap Dicky.
Pada kesempatan itu,
Majelis Hakim memberi kesempatan kepada terdakw Akbar Tandaniria Mangkunegara
untuk menanggapi keterangan para saksi. "Saya ingin bertanya kepada pak
Dicky dan Suhaimi, kapan kenal Taufik dan apakah tahu rumah Taufik di
Kotabumi?," tanya Akbar.
"Tahu, setelah
Taufik dinas di Lampung Utara," jawab Dicky dan Suhaimi. "Apakah
pernah mengerjakan proyek rumah milik Bachtiar Basri yang di Kotabumi?,"
tanya Akbar lagi.
"Tidak
pernah," jawab Dicky dan Suhaimi. "Saya Keberatan terkait keterangan
Suhaimi, karena saya tidak menerima fee 30 persen dari Taufik," lanjut
Akbar.
"Saya tetap
dengan jawaban saya menyetorkan fee sebesar 30 persen melalui Taufik,"
jawab Suhaimi. Usai sidang, JPU KPK Ikhsan Fernandi mengatakan, mantan Wakil Gubernur
Lampung Bachtiar Basri akan dihadirkan dalam persidangan Akbar Tandaniria
Mangkunegara selanjutnya.
"Kalau Bachtiar
akan kita hadirkan, karena dia (Bachtiar) dapat jatah proyek dari Agung sebesar
Rp500 juta, dan itu sudah dibalikan kepada KPK," ujar Ikhsan.
Ditanya permintaan Majelis Hakim menghadirkan anggota DPRD Lampura Nurdin Habim, Ikhsan mengatakan belum dapat memastikan hal tersebut. "Kita lihat nanti apakah keterangan saksi sudah cukup atau belum untuk membuktikan dakwaan atas Akbar. Tentunya itu akan jadi pertimbangan kami," tandasnya. (*)
Artikel
ini telah terbit di SKH Kupas Tuntas edisi Kamis, 20 Januari 2022 dengan judul ”Adik Anggota DPRD Lampura Setor Fee Rp 1,7 M”