Berdikari.co, Bandar Lampung - Saat ini muncul fenomena banyak media massa mengutip dari media lain atau Multilevel Quoting tanpa menyebutkan sumbernya. Mereka hanya mementingkan clickbait untuk mendapatkan adsense semata, tanpa perdulikan kebenarannya dan tidak mengacu pada etika jurnalistik.
Hal itu disampaikan Anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (DK PWI) Pusat, Tri Agung Kristanto dalam rapat kerja DK PWI Pusat dengan DK PWI Provinsi se-Indonesia sebagai rangkaian kegiatan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/2).
Tri Agung Kristanto mengatakan, selama tahun 2021, Dewan Pers menerima pengaduan sengketa berita sebanyak 620. Jumlahnya meningkat 17 persen dibanding tahun 2020 sebanyak 527 pengaduan.
"Mayoritas sengketa terkait judul berita yang menghakimi dan abai dalam mengkonfirmasi," jelas Kristanto.
Ia menerangkan, mayoritas pengaduan karena media tidak menguji informasi atau tidak melakukan wawancara. Tidak sedikit media massa yang tidak secara benar menjalankan dasar-dasar jurnalistik. "Tidak mematuhi kode etik jurnalistik, antara lain hanya mengutip dari media sosial yang diidentifikasi milik tokoh atau narasumber. Bahkan ada juga yang mengutip dari media lain atau Multilevel Quoting tanpa menyebutkan sumbernya," ujarnya.
Menurut Kristanto, fenomena kutip mengutip dari media lain tanpa menjelaskan sumber aslinya itu banyak terjadi di media daring. Banyak sekali perilaku pekerja media yang hanya mengejar kecepatan dan mengabaikan kebenaran dan etika jurnalistik.
“Ingin cepat-cepat mengunggah berita, tidak peduli sumbernya darimana demi mengejar clickbait. Harapannya dengan semakin cepat diunggah di media, semakin banyak yang membaca dan adsensenya akan melimpah. Namun realitasnya tidak seperti itu," ungkapnya.
Kristanto menjelaskan, konten Multilevel Quoting bukanlah sebuah berita dan tidak mengikuti Kode Etik Jurnalistik. "Konten ini menjadi salah satu contoh seolah-olah berita yang bisa membuat wartawan, editor atau pimpinan redaksi terlena. Padahal berita sebagai produk jurnalistik haruslah menaati Kode Etik Jurnalistik dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers serta aturan universal jurnalistik," ujar dia.
Menurut Tri Agung, pada Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) disebutkan seorang jurnalis tidak bisa memposisikan dirinya sebagai narasumber, sekaligus menyiarkannya sendiri, atau menjadi wartawan atas berita yang dibuatnya sendiri di kanal pribadinya.
“Jadi wartawan harus tahu diri, tahu posisi agar terhindar dari persoalan hukum, termasuk pelanggaran kode etik jurnalistik,” katanya.
Ia menerangkan, wartawan yang menjadi narasumber wartawan haruslah wartawan kompetensi jenjang utama, atau memiliki keterampilan yang bisa menjadi narasumber. Kompetensi wartawan tak hanya menyangkut kemampuan teknis jurnalistik, tetapi terkait pula kematangan pribadi. “Yang terpenting mampu menjaga jarak dan menyediakan ruang dialog bagi publik," ucapnya.
Ketua DK PWI Pusat, H Ilham Bintang, mengatakan DK PWI di daerah perlu bekerja sama dengan Pengurus PWI Provinsi guna memastikan pentaatan Kode Etik Jurnalistik dan Kode Perilaku Wartawan PWI dalam rangka menjaga dan merebut kehormatan di masyarakat
“Perlu aksi nyata dalam pentaatan anggota terhadap KEJ maupun Kode Perilaku Wartawan PWI. Bisa habis kita kalau pelanggaran terhadap KEJ dan Kode Perilaku Wartawan PWI terus-terus dibiarkan. Jangan sampai masyarakat hilang kepercayaan terhadap wartawan,” ucap Ilham Bintang.
Raker dibuka Ketua DK PWI Pusat, H Ilham Bintang secara virtual. Rapat diikuti 25 DK PWI dan 9 melalui virtual. Dari Lampung hadir Ketua DK PWI Dr. Iskandar Zulkarnain dan Sekretaris Dr. Donald Harris Sihotang.
Raker dipandu Sekretaris DK PWI Pusat, Sasongko Tejo dan dua anggota DK lainnya masing-masing, Tri Agung Kristanto dan Asro Kamal Rokan. (*)
Artikel ini telah terbit di SKH Kupas Tuntas edisi Senin, 7 Februari 2022 dengan judul "DK PWI: Konten Multilevel Quoting Hanya Mementingkan Adsense"
Video KUPAS TV : HANYA 2 MENIT, MALING SIKAT MOTOR PENDETA DI HALAMAN GEREJA