Logo

berdikari Nasional

Selasa, 16 Agustus 2022

Regulasi Penggunaan Senpi Harus Diperketat, Istri Pati Polri Dilarang Pakai Ajudan Anggota Polisi

Oleh ADMIN

Berita
Ilustrasi

Berdikari.co, Bandar Lampung - Aturan penggunaan senjata api bagi anggota Polri harus diperketat menyusul peristiwa penembakan Brigadir Novriansyah Yoshua Hutabarat hingga tewas oleh Bharada E atas perintah Irjen Pol Ferdy Sambo di rumah dinas mantan Kadiv Propam Polri tersebut.

Kejadian itu menunjukkan bahwa personel Polri yang dipercaya memegang senjata api (Senpi) ternyata rawan melakukan tindakan melukai bahkan menghilangkan nyawa sesama anggota kepolisian.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, mengatakan ada dugaan pelanggaran penggunaan senpi yang dilakukan Ferdy Sambo dalam kasus penembakan Brigadir Yoshua.

"Kan ada ketentuan dan aturan untuk penggunaan senpi. Petugas juga harus melalui tes psikologi agar bisa dipertanggungjawabkan," kata Sugeng saat dihubungi via telepon, Senin (15/8) malam.

Sugeng mengatakan, jika senpi disalahgunakan seperti kasus yang menimpa Ferdy Sambo, tentu akan ada sanksi seperti dipecat. Berbeda jika petugas lalai kehilangan senpi, maka petugas harus bertanggung jawab atas kehilangan itu.

"Kalau dilakukan untuk pembunuhan dan ada didukung 2 sanksi maka petugas yang bersangkutan harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu, dan bertanggung jawab atas penggunaan senpi juga," ujarnya.

Dan jika sudah melanggar disiplin penggunaan senpi, maka akan diberhentikan karena pelanggaran kode etik. “Kan senpi tidak boleh digunakan secara sembarangan, hanya untuk melumpuhkan," lanjutnya.

Tak hanya penggunaan senpi, Sugeng juga menyoroti penggunaan ajudan untuk seorang istri pejabat tinggi (pati) Polri seperti yang terjadi pada istri mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.

Sugeng menjelaskan,  tidak ada ajudan anggota Polri yang digunakan untuk istri pejabat Polri walaupun berpangkat Jenderal sekalipun. Terkecuali untuk kebutuhan pengamanan atas situasi khusus.

"Misalnya ada potensi ancaman. Jadi tidak ada ajudan personel Polri untuk istri Jenderal. Yang ada hanya untuk pejabat Polri. Jadi ajudan itu melekat pada pejabatnya, bukan pada istrinya," tegas Sugeng.

Pengamat Hukum dari Universitas Lampung (Unila), Yusdianto menilai saat ini pengawasan penggunaan senpi di kalangan Polri masih longgar, dan kurangnya pemenuhan standar untuk pemakaian senpi.

“Dengan pengawasan yang kurang mengakibatkan para ajudan pejabat tinggi Polri bisa melampaui batas dalam penggunaan senpi,” kata Yusdianto, Senin (15/8).

Ia menerangkan, syarat pengajuan izin penggunaan senpi harus memperhatikan kondisi psikologi, keterampilan, dan latar belakang yang bersangkutan.

"Untuk pengeluaran sanpi itu kan ada syaratnya. Kalau pun belum kuat dan kemungkinan bisa disalahgunakan tentunya harus dibatasi. Aspek psikologi jadi prioritas. Orang pegang senpi harus mampu mengendalikan diri dan tidak temperamental. Dan psikolog yang melakukan tes harus dari luar,” ujar Yusdianto.

Menurut Yusdianto, kedepan Polri harus memperketat regulasi pemegang senpi dan mensosialisasikan penggunaan senpi dengan baik. Termasuk mengevaluasi prosedur operasi standar (Protap), serta tetap mengedepankan pendekatan persuasif dalam menyelesaikan kasus sehingga tidak ada lagi saling tembak antar anggota Polri.

Apalagi lanjut Yusdianto, prinsip restorative justice atau keadilan restoratif saat ini telah diadopsi dan diterapkan oleh lembaga penegak hukum di Indonesia.

Selama ini regulasi pemakaian senjata api oleh anggota Polri telah tercantum pada Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada Pasal 47 ayat (1) disebutkan bahwa senpi hanya diperuntukan untuk melindungi nyawa manusia.

Selanjutnya di Pasal 47 ayat (2) tertuliskan ada enam hal yang perlu diperhatikan oleh para petugas kepolisian yang hanya boleh menggunakan senpi. Antara lain, dalam hal menghadapi keadaan luar biasa; membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat; membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat; mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang; menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Kemudian aturan penggunaan senpi ini tertuang juga pada Pasal 8 Perkapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian bahwa penggunaan kekuatan senpi atau alat lain dapat dilakukan ketika tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat. Lalu anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut. Dan anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

Khusus untuk prosedur mengenai peringatan sebelum penggunaan senpi tertera pada Pasal 48 ayat (2) pada Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 yaitu menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas; memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya; dan memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.

Sementara di ayat (3) selanjutnya menjelaskan bahwa ketika kondisi penundaan waktu diperkirakan membuat seseorang mengalami kematian atau luka berat maka peringatan di pasal sebelumnya atau ayat (2) tidak diperlukan lagi.

Selain itu, ada beberapa hal yang perlu polisi pertimbangkan ketika dirasa ingin melepaskan tembakan ketika bertugas. Polisi yang sudah terlatih pun harus menaati aturan pada Pasal 45 yang berbunyi tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu; tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan; dan tindakan keras hanya diterapkan untuk tujuan penegakan hukum yang sah.

Kemudian tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum; penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan secara proporsional dengan tujuannya dan sesuai dengan hukum; dan penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi.

Lalu harus ada pembatasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan tindakan keras; dan kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus seminimal mungkin. (*)

Editor Sigit Pamungkas