Berdikari.co, Bandar
Lampung - Aturan penggunaan senjata api bagi anggota Polri harus diperketat
menyusul peristiwa penembakan Brigadir Novriansyah Yoshua Hutabarat hingga
tewas oleh Bharada E atas perintah Irjen Pol Ferdy Sambo di rumah dinas mantan
Kadiv Propam Polri tersebut.
Kejadian itu
menunjukkan bahwa personel Polri yang dipercaya memegang senjata api (Senpi)
ternyata rawan melakukan tindakan melukai bahkan menghilangkan nyawa sesama
anggota kepolisian.
Ketua Indonesia
Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, mengatakan ada dugaan pelanggaran
penggunaan senpi yang dilakukan Ferdy Sambo dalam kasus penembakan Brigadir
Yoshua.
"Kan ada
ketentuan dan aturan untuk penggunaan senpi. Petugas juga harus melalui tes
psikologi agar bisa dipertanggungjawabkan," kata Sugeng saat dihubungi via
telepon, Senin (15/8) malam.
Sugeng mengatakan,
jika senpi disalahgunakan seperti kasus yang menimpa Ferdy Sambo, tentu akan
ada sanksi seperti dipecat. Berbeda jika petugas lalai kehilangan senpi, maka
petugas harus bertanggung jawab atas kehilangan itu.
"Kalau
dilakukan untuk pembunuhan dan ada didukung 2 sanksi maka petugas yang
bersangkutan harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu, dan bertanggung jawab
atas penggunaan senpi juga," ujarnya.
Dan jika sudah
melanggar disiplin penggunaan senpi, maka akan diberhentikan karena pelanggaran
kode etik. “Kan senpi tidak boleh digunakan secara sembarangan, hanya untuk
melumpuhkan," lanjutnya.
Tak hanya
penggunaan senpi, Sugeng juga menyoroti penggunaan ajudan untuk seorang istri
pejabat tinggi (pati) Polri seperti yang terjadi pada istri mantan Kadiv Propam
Polri Irjen Pol Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.
Sugeng menjelaskan,
tidak ada ajudan anggota Polri yang digunakan untuk istri pejabat Polri
walaupun berpangkat Jenderal sekalipun. Terkecuali untuk kebutuhan pengamanan
atas situasi khusus.
"Misalnya ada
potensi ancaman. Jadi tidak ada ajudan personel Polri untuk istri Jenderal.
Yang ada hanya untuk pejabat Polri. Jadi ajudan itu melekat pada pejabatnya,
bukan pada istrinya," tegas Sugeng.
Pengamat Hukum dari
Universitas Lampung (Unila), Yusdianto menilai saat ini pengawasan penggunaan
senpi di kalangan Polri masih longgar, dan kurangnya pemenuhan standar untuk
pemakaian senpi.
“Dengan pengawasan
yang kurang mengakibatkan para ajudan pejabat tinggi Polri bisa melampaui batas
dalam penggunaan senpi,” kata Yusdianto, Senin (15/8).
Ia menerangkan,
syarat pengajuan izin penggunaan senpi harus memperhatikan kondisi psikologi,
keterampilan, dan latar belakang yang bersangkutan.
"Untuk
pengeluaran sanpi itu kan ada syaratnya. Kalau pun belum kuat dan kemungkinan
bisa disalahgunakan tentunya harus dibatasi. Aspek psikologi jadi prioritas.
Orang pegang senpi harus mampu mengendalikan diri dan tidak temperamental. Dan
psikolog yang melakukan tes harus dari luar,” ujar Yusdianto.
Menurut Yusdianto,
kedepan Polri harus memperketat regulasi pemegang senpi dan mensosialisasikan
penggunaan senpi dengan baik. Termasuk mengevaluasi prosedur operasi standar
(Protap), serta tetap mengedepankan pendekatan persuasif dalam menyelesaikan
kasus sehingga tidak ada lagi saling tembak antar anggota Polri.
Apalagi lanjut
Yusdianto, prinsip restorative justice atau keadilan restoratif saat ini telah
diadopsi dan diterapkan oleh lembaga penegak hukum di Indonesia.
Selama ini regulasi
pemakaian senjata api oleh anggota Polri telah tercantum pada Perkapolri Nomor
8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada Pasal 47 ayat
(1) disebutkan bahwa senpi hanya diperuntukan untuk melindungi nyawa manusia.
Selanjutnya di
Pasal 47 ayat (2) tertuliskan ada enam hal yang perlu diperhatikan oleh para
petugas kepolisian yang hanya boleh menggunakan senpi. Antara lain, dalam hal
menghadapi keadaan luar biasa; membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka
berat; membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang; menahan,
mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan
yang sangat membahayakan jiwa; dan menangani situasi yang membahayakan jiwa,
dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Kemudian aturan
penggunaan senpi ini tertuang juga pada Pasal 8 Perkapolri No. 1 Tahun 2009
tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian bahwa penggunaan kekuatan
senpi atau alat lain dapat dilakukan ketika tindakan pelaku kejahatan atau
tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota
Polri atau masyarakat. Lalu anggota Polri tidak memiliki alternatif
lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku
kejahatan atau tersangka tersebut. Dan anggota Polri sedang mencegah larinya
pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa
anggota Polri atau masyarakat.
Khusus untuk
prosedur mengenai peringatan sebelum penggunaan senpi tertera pada Pasal 48
ayat (2) pada Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 yaitu menyebutkan dirinya sebagai
petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas; memberi peringatan dengan
ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan,
atau meletakkan senjatanya; dan memberi waktu yang cukup agar peringatan
dipatuhi.
Sementara di ayat
(3) selanjutnya menjelaskan bahwa ketika kondisi penundaan waktu diperkirakan
membuat seseorang mengalami kematian atau luka berat maka peringatan di pasal
sebelumnya atau ayat (2) tidak diperlukan lagi.
Selain itu, ada
beberapa hal yang perlu polisi pertimbangkan ketika dirasa ingin
melepaskan tembakan ketika bertugas. Polisi yang sudah terlatih pun harus
menaati aturan pada Pasal 45 yang berbunyi tindakan dan cara-cara tanpa
kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu; tindakan keras hanya diterapkan
bila sangat diperlukan; dan tindakan keras hanya diterapkan untuk tujuan
penegakan hukum yang sah.
Kemudian tidak ada
pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan
yang tidak berdasarkan hukum; penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras
harus dilaksanakan secara proporsional dengan tujuannya dan sesuai dengan
hukum; dan penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan
keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi.
Lalu harus ada
pembatasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan tindakan keras;
dan kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus
seminimal mungkin. (*)