Berdikari.co, Bandar Lampung - PT Gula Putih Mataram (GPM) hanya membayar pajak air bawah tanah sekitar Rp38,6 juta per bulan dengan luas lahan mencapai 24 ribu hektare. Sedangkan PT Gunung Madu Plantations (GPM) bisa membayar jauh lebih tinggi, mencapai Rp144,7 juta per bulan, dengan luas kebun produksi sekitar 25 ribu hektare.
Jumlah pajak air bawah tanah yang dibayar RpGPM sangat kecil bila dibandingkan dengan PT GPM, padahal luas lahannya hanya selisih sekitar 1.000 hektare.
Berdasarkan data Badan pengelolan Pajak dan Restribusi Daerah (BPPRD) Kabupaten Lampung Tengah (Lamteng), terdapat 74 perusahaan yang terdaftar sebagai subjek pajak air bawah tanah.
Pemkab Lamteng mendapatkan pemasukan pajak air bawah tanah paling tinggi di Provinsi Lampung mencapai Rp8 miliar per tahun.
Sayangnya, diduga belum semua perusahaan menyetorkan pajak air bawah tanahnya sesuai dengan titik sumur bor yang dimiliki dan volume air yang terpakai.
Karena sebagian besar titik sumur bor tidak dipasang water meter atau meteran air dan sebagian water meter telah rusak sehingga penghitungan volume air yang terpakai tidak berjalan.
Kabid Penetapan dan Penyuluhan pada BPPRD Lamteng, Agus Suratno, mengatakan kontribusi pajak air bawah tanah yang dibayar oleh 74 perusahaan mencapai sekitar Rp8 miliar per tahun.
Agus menerangkan, ada beberapa perusahaan yang menjadi penyumbang pajak air bawah tanah paling besar seperti PT Great Giant Pineapple Corporation (GGPC), PT Gula Putih Mataram (GPM) dan PT Gunung Madu Plantations.
Berdasarkan data BPPRD Lamteng, PT GGPC pada tahun 2020 menyumbang pajak air bawah tanah sebesar Rp2.890.604.592, tahun 2021 Rp4.099.498.490 dan tahun 2022 hingga triwulan kedua (selama 6 bulan) sebesar Rp1.494.015.089 atau sebesar Rp249.002.514 per bulan.
Kemudian PT GMP pada tahun 2020 membayar pajak air bawah tanah sebesar Rp1.169.545.416, tahun 2021 Rp1.621.589.700 dan tahun 2022 hingga triwulan kedua sebesar Rp 868.395.984 atau sebesar Rp144.732.664 per bulan.
Lalu PT GPM pada tahun 2020 membayar pajak air bawah tanah sebesar Rp387.635.926, tahun 2021 Rp604.488.972, dan tahun 2022 hingga triwulan kedua sebesar Rp231.744.222 atau sebesar Rp38.624.037 per bulan.
Berdasarkan data dihimpun Kupas Tuntas, luas kebun produksi PT GMP sekitar 25 ribu hektare. Sedangkan PT GPM memiliki luas lahan yang ditanami tebu 24.515 hektare.
Agus menerangkan, pihaknya mulai menggunakan alat kamera QI Arcod untuk mendeteksi setiap sumur bor yang ada di perusahaan. Saat ini pihaknya baru mendata sebanyak 84 titik sumur bor yang tersebar di 74 perusahan tersebut.
Agus mengungkapkan, banyak alat ukur hitung air bawah tanah milik perusahaan yang hilang di lokasi. Pihaknya hingga kini juga tidak tahu pasti berapa jumlah titik sumur bor yang dimiliki seluruh perusahaan di Lamteng.
“Kita belum pernah cek berapa jumlah titik sumur bor milik perusahaan. Tugas kita selama ini hanya menerima pajak air bawah tanah yang dibayarkan oleh perusahaan,” kata Agus, kemarin.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Lampung mencatat hingga Juli 2022 telah mengeluarkan sebanyak 357 Surat Izin Pemanfaatan Air Tanah (SIPA). Terdiri dari 165 SIPA baru dan 192 perpanjangan SIPA.
Kepala DPMPTSP Provinsi Lampung, Yudhi Alfadri, mengatakan Kabupaten Lamteng yang paling banyak mengajukan SIPA. “Tahun 2021 lalu untuk Lampung Tengah ini SIPA sebanyak 90 dan perpanjangan SIPA 171," jelasnya.
Yudhi menerangkan, penarikan pajak air bawah tanah yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota sering mengalami berbagai macam kendala yang mengakibatkan potensi pajak hilang.
"Kabupaten/kota ini tergantung dengan laporan perusahaannya saja, apakah perusahaannya jujur atau tidak tidak tahu. Tapi pemakaian air harus sesuai dengan izin yang kita keluarkan dan yang kita dikeluarkan adalah batas maksimal. Jadi tidak akan melebihi itu dan ada sumur pantau," kata dia. (*)