Logo

berdikari Nasional

Rabu, 15 November 2023

MA Adili Gugatan PKPU Hasil Putusan MK soal Usia Capres-Cawapres

Oleh ADMIN

Berita
Gedung Mahkamah Agung. Foto: Ist

Berdikari.co, Bandar Lampung - Mahkamah Agung (MA) mulai mengadili judicial review Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang diajukan dua pihak yaitu Aliansi Peduli Demokrasi dan LBH Yusuf.

Peraturan itu berisi perubahan soal syarat capres-cawapres yang membolehkan kepala daerah di bawah usia 40 tahun bisa jadi capres-cawapres.

"Pemohonnya Aliansi Peduli Demokrasi Nomor 48P/HUM/2023 dan yang Pemohonnya LBH Yusuf Nomor 51 P/HUM/2023," kata juru bicara (jubir) MA, hakim agung Suharto, kepada wartawan, Selasa (14/11/2023).

Baik Aliansi Peduli Demokrasi dan LBH Yusuf sama-sama menguji soal syarat capres-cawapres. "Keduanya, objeknya Pasal 13 ayat 1 huruf q PKPU Nomor 23 Tahun 2023 dan sudah dimohonkan penetapan majelis kepada Ketua Mahkamah Agung," ujar Suharto.

Pasal 13 ayat 1 huruf q PKPU Nomor 23 Tahun 2023 itu berbunyi ‘Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah’.

Sebagaimana diketahui, KPU RI membuat PKPU Nomor 23 Tahun 2023 pada tanggal 3 November 2023. Hal itu menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah tafsir UU Pemilu soal syarat capres/cawapres.

Dampak putusan MK tersebut, Majelis Kehormatan MK (MKMK) menjatuhkan hukuman sanksi berat kepada Ketua MK Anwar Usman karena dalam memutus perkara itu tidak mengundurkan diri sehingga memiliki konflik kepentingan dengan Gibran Rakabuming Raka.

MKMK pun memutuskan memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK dan digantikan dengan Suhartoyo. Berkat Putusan MK Nomor 90/PUU/XXI/2023, Gibran Rakabuming Raka bisa mendeklarasikan sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.

Dimintai tanggapannya, Ketua Pusat Studi Konstitusi dan Kepemiluan IAIN Metro, Ahmad Syarifudin mengatakan, MA berhak mengadili peraturan seperti PKPU Nomor 23 tahun 2023 tersebut, dan mempunyai hak untuk membatalkan jika bertentangan dengan undang-undang di atasnya.

"MA punya kewenangan untuk menguji peraturan di bawah undang-undang seperti PKPU terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dan bila PKPU itu bertentangan dengan UU bisa dibatalkan," kata dosen yang sedang mengambil gelar doktor di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) ini, Selasa (14/11/2023).

Namun, lanjut dia, yang menjadi pertanyaan adalah apakah PKPU itu bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017. Sementara PKPU itu dibuat menindaklanjuti adanya perubahan Pasal 169 huruf q UU No. 7 tahun 2017 yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Sementara, Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Rifandi Ritonga mengatakan, kewenangan MA memang menguji peraturan di bawah undang-undang khususnya terkait dengan PKPU tersebut.

"Muara perubahan PKPU inikan imbas dari putusan MK terhadap pengujian undang-undang. Seharusnya putusan MK itu direspon dengan UU juga, bukan dengan peraturan di bawah undang-undang. Walaupun kita memahami kekuatan putusan MK ini setara dengan UU. Hukum itu produk politik, namun politik harus tunduk pada hukum," paparnya. (*)

Editor Sigit Pamungkas