Berdikari.co, Bandar
Lampung - Warga dari Kelurahan Way Dadi dan Way Dadi Baru, Kecamatan Sukarame serta
Kelurahan Way Halim Permai, Kecamatan Way Halim, menolak pembangunan perumahan
dan ruko di area eks hutan kota di Jalan Soekarno Hatta depan SMAN 5 dan SMPN
29 Bandar Lampung,
Karena pembangunan di
atas lahan seluas sekitar 20 hektar itu ternyata belum memiliki Analisis Dampak
Lingkungan (Amdal). Namun, perusahaan telah melakukan kegiatan penimbunan di
lokasi. Dampaknya, saat hujan turun terjadi banjir yang menggenangi rumah warga
sekitarnya.
Menindaklanjuti protes
warga tersebut, PT Hasil Karya Kita Bersama (HKKB) selaku pemilik proyek
mengundang dan mengumpulkan warga dari tiga kelurahan itu yang dikemas dalam
acara konsultasi publik di Hotel Nusantara Syariah di Jalan Soekarno Hatta,
Bandar Lampung, pada Sabtu (13/1/2024).
Hadir dalam pertemuan
Maskur sebagai manager lapangan mewakili Direktur PT Hasil Karya Kita Bersama
Mintardi Halim alias Aming. Diketahui, PT Hasil Karya Kita Bersama (HKKB)
adalah anak perusahaan dari PT Sinar Laut Grup.
Dalam pertemuan itu,
warga dari tiga kelurahan sepakat menolak pembangunan perumahan dan ruko atau
superblok di area bekas hutan kota sebelum ada amdal.
Warga Way Dadi, Huswan
Efendi mengatakan, pihaknya tidak mengerti akan teori yang disampaikan oleh
perusahaan. Namun yang pasti dampak dari penimbunan tanah di lokasi itu sudah
dirasakan warga yaitu terjadi banjir.
"Kita ini tidak
tahu teori-teori, tapi jangan dibodoh-bodohi. Yang kita tahu dampak banjirnya
sudah terjadi, karena tempat itu sudah ditimbun sementara amdalnya belum
dibuat," tegasnya.
Huswan mengungkapkan,
rumahnya yang berada di belakang Bagas Raya mengalami banjir setinggi pinggang
dewasa akibat keberadaan proyek itu. "Banjir terjadi karena timbunan tanah
itu," ungkapnya.
Selain banjir, lanjut
dia, saat musim kemarau kemarin debu dari kegiatan proyek menimbulkan polusi
debu bagi warga sekitar.
"Debunya minta
ampun. Kalau katanya sudah ada amdal yang dibuat atas persetujuan masyarakat,
ini masyarakat yang mana? Jadi kami menolak pembangunan itu sebelum memang
benar-benar tidak berdampak pada warga atau amdalnya dibuat," tandasnya.
Darwis Fauzi, perwakilan
warga Waydadi Baru menambahkan, yang diinginkan masyarakat tidak hanya sebatas
amdal, namun juga mempertanyakan status kepemilikan lahan dari eks hutan kota.
“Kenapa sekarang
tiba-tiba sudah menjadi area bisnis, ini aturannya apa? Ganti rugi ini (tanah
eks hutan kota) ke siapa dan berapa besar untuk melaksanakan pembangunan
ini," tegas mantan Sekretaris
Daerah Pemkab Tulang Bawang ini.
Fauzi juga
mempertanyakan dokumen apa saja yang sudah dimiliki oleh perusahaan PT HKKB.
Karena bukan hanya dampak sosial ekonomi yang akan ditimbulkan, tapi juga
mengganggu area pendidikan yang berada di lokasi itu.
"Yang pasti
banjir ini berdampak pada masyarakat, sejumlah rumah di Way Dadi Baru menjadi
tenggelam. Juga SMAN 5 ikut banjir. Kita menolak saluran air dari pembangunan
itu ke Bagas Raya," katanya.
Ia juga mempertanyakan
bos PT HKKB Aming yang tidak hadir dalam pertemuan. Padahal, Aminglah yang
mengundang warga untuk bertemu.
Menanggapi hal itu,
manager lapangan PT HKKB, Maskur mengatakan, PT Hasil Karya Kita Bersama
merupakan bagian dari perusahaan PT Sinar Laut Grup.
"Jadi pak Aming
sedang ada di luar kota. Nanti aspirasi dari warga akan disampaikan kepadanya,”
kata Maskur. Hasil pertemuan menyepakati PT HKKB akan menghentikan sementara
pembangunan di lokasi sampai amdal diterbitkan.
Dalam pertemuan turut
hadir Camat Sukarame dan Camat Way Halim, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup
(DLH) Bandar Lampung, dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (DPMPTSP) Bandar Lampung
Sementara itu, Direktur
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung, Irfan Tri Musri menjelaskan, dampak
penurunan ruang terbuka hijau (RTH) di Bandar Lampung akan merugikan masyarakat
yang tinggal di daerah tersebut.
"Dampak dari
minimnya RTH di Bandar Lampung tentu banyak seperti penurunan kualitas udara
dan rawan terjadi banjir. Karena RTH itu juga menjadi daerah tangkapan dan
resapan air,” katanya.
Menurut Irfan, dalam
Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Pemkot Bandar Lampung telah merubah
beberapa fungsi seperti yang tadinya bisa dijadikan RTH justru jadi daerah
bisnis atau budidaya sehingga beralih fungsi. (*)