Berdikari.co, Bandar
Lampung - Banjir di Bandar Lampung pada Sabtu (24/2/2024) malam menjadi yang
terparah selama beberapa tahun terakhir. Penyebabnya diduga karena drainase
tersumbat, daerah resapan air minim hingga alih fungsi lahan yang semakin
marak.
Ahli Hidrologi
Universitas Lampung, Prof Dyah Indriana Kusumastuti mengatakan, ada tiga sebab
Kota Bandar Lampung menjadi daerah langganan banjir.
“Penyebabnya dari
masalah drainase yang tersumbat, daerah resapan air minim, dan alih fungsi
lahan yang marak,” kata Dyah, Minggu (25/2/2024) malam.
Ia mengungkapkan,
daerah resapan air di Bandar Lampung saat ini banyak berkurang dampak masifnya
pembangunan. Menurutnya, meski kegiatan pembangunan hal penting, namun
pemerintah dan masyarakat tidak boleh abai dalam memperhatikan aspek low impact
development.
“Artinya pembangunan
itu harus memberikan dampak yang rendah terhadap lingkungan. Itu hal yang harus
disoroti bersama,” ujarnya
Ia mengatakan, daerah
resapan sangat penting untuk meneruskan air hujan masuk ke dalam tanah.
Kehadiran embung atau kolam-kolam penampungan air punya peran sentral dalam
menghalau air bah yang turun akibat curah hujan tinggi.
”Daerah resapan ini
tentu saja akan memperkecil koefisien limpahan air dan itu berkaitan dengan
kondisi lahannya,” ujarnya.
Selain itu, lanjut
dia, input curah hujan yang tinggi juga tidak bisa lepas dari drainase. Tutupan
lahan menyebabkan tidak semua air hujan mampu terserap ke tanah. Air yang tidak
terserap itu akan menimbulkan limpahan air yang tidak bisa terkendali sehingga
meluap ke pemukiman.
“Kapasitas tampung
drainase harus cukup dan alirannya harus tidak tersumbat sampah. Jika tersumbat
air tidak bisa menemukan jalan keluar dan akhirnya meluap,” paparnya.
Dyah juga menyoroti
masalah alih fungsi lahan pada bukit-bukit yang ada seharusnya bisa menjadi
daerah resapan air alami. Namun, kini banyak beralih fungsi menjadi perumahan
dan lokasi wisata. Padahal bukit memiliki peran penting dalam menurunkan
koefisien limpahan air.
“Kalau terjadi alih
fungsi lahan daerah bukit-bukit itu akan meningkatkan koefisien limpahan air.
Sehingga air bah yang datang tidak sempat terserap dan akan langsung melimpas,”
jelasnya.
Ia menyarankan,
pemerintah perlu melakukan serangkaian evaluasi guna meminimalisasi daerah
rawan banjir di Bandar Lampung. Pemerintah harus dapat lebih memperhatikan
saluran infrastruktur pembangunan drainase dari segi kapasitas serta perbaikan
dan pelebaran saluran air yang rusak.
“Kemudian normalisasi
sungai juga menjadi upaya untuk melancarkan dan mengembalikan fungsi sungai
agar dapat mengalirkan limpasan air,” ujarnya.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) Lampung menyebut, banjir yang terjadi berulang kali di
Bandar Lampung menandakan tidak ada keseriusan Pemkot dalam mengatasi
permasalahan tersebut.
Direktur Walhi
Lampung, Irfan Tri Musri menilai, telah terjadi dua kegagalan Pemkot Bandar
Lampung dalam mengatasi masalah banjir.
"Pertama, gagal
melakukan upaya meminimalisir banjir, bahkan kejadian banjir kali ini bisa
disebut lebih parah dari kejadian-kejadian sebelumnya," katanya, Minggu
(25/2/2024).
Selanjutnya, kata
Irfan, kegagalan kedua yaitu upaya mitigasi yang menyebabkan warga kebingungan
dalam proses evakuasi ketika banjir terjadi.
Menurutnya, kegagalan
dalam meminimalisir banjir tentunya bukan sesuatu yang tanpa sebab. Hal ini
terjadi akibat Pemkot Bandar Lampung yang tidak pernah menjadikan aspek
lingkungan hidup sebagai panglima dalam pembangunan.
"Ini semua
terjadi akibat pemkot yang sangat serampangan dalam menerbitkan izin. Kemudian
dampak dari tata ruang yang mengedepankan investasi tanpa memperhatikan
aspek-aspek lingkungan hidup," ungkapnya.
“Hal ini juga
diperparah dengan kebijakan dan program Pemkot Bandar Lampung yang juga tidak
pernah memprioritaskan program lingkungan hidup dan pencegahan bencana,”
lanjutnya.
Irfan mengungkapkan,
banjir terjadi selain disebabkan oleh alih fungsi lahan yang masif, juga
disebabkan oleh pendangkalan sungai serta sistem drainase di wilayah Bandar
Lampung yang buruk.
"Selain itu juga
disebabkan akibat minimnya daerah resapan air dan daerah tangkapan air. Selama
ini pemerintah tidak melihat akar permasalahan terjadinya banjir dan
ketidaksiapan dalam menghadapi situasi banjir meskipun sudah terjadi
berulang-ulang,” tegasnya.
Ia mengungkapkan,
banjir yang terjadi seharusnya menjadi bahan evaluasi Pemkot Bandar Lampung
dalam meminimalisir terjadinya banjir yang tidak berfokus pada respon pasca
banjir dan perbaikan tanggul, namun juga melihat faktor-faktor lain seperti
adanya permasalahan sampah, minimnya RTH daerah tangkapan dan resapan air,
pendangkalan dan penyempitan sungai, serta tidak menerbitkan izin-izin
pembangunan tempat usaha yang berdampak terhadap lingkungan dan masyarakat.
"Sehingga Kota
Bandar Lampung mampu menghadapi situasi cuaca ekstrem yang kapan saja bisa
terjadi dengan langkah-langkah yang tepat," ucapnya.
Menurut Irfan, sudah
saatnya Pemkot Bandar Lampung sadar bahwa kepentingan lingkungan hidup dan
masyarakat harus menjadi hal utama dalam pembangunan.
"Jadi kita minta
pemerintah harus segera melakukan evaluasi terhadap semua pembangunan di Kota
Bandar Lampung yang telah berdampak buruk terhadap lingkungan hidup dan
masyarakat," tandasnya.
RSUD Abdul Moeloek
Terendam Banjir
Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Abdul Moeloek sempat terendam banjir saat hujan mengguyur Kota
Bandar Lampung, pada Minggu (25/2/2024) sore.
Video rekaman RSUD
Abdul Moeloek tergenang banjir viral di media sosial. Dalam video berdurasi 30
detik tersebut, terlihat seseorang sedang berjalan di selasar RSUD Abdul
Moeloek yang digenangi air setinggi di atas mata kaki orang dewasa.
Humas RSUD Abdul
Moeloek, Sabta Putra saat dihubungi mengatakan, banjir hanya menggenangi
selasar atau lorong RSUD Abdul Moeloek, dan tidak masuk hingga ke dalam ruang
perawatan pasien.
"Kemarin itu ada
sedikit genangan air di selasar atau lorong mengarah ke ruang jenazah. Jadi
genangan itu hanya di lorongnya saja, tidak sampai masuk ke ruang pasien.
Karena memang ruangan perawatan juga tinggi," kata Sabta, Senin
(26/2/2024).
Ia mengatakan,
genangan air tersebut terjadi sekitar 10 meter dengan ketinggian semata kaki
orang dewasa. Namun, genangan air tidak berlangsung dan langsung surut saat
hujan reda.
"Jadi begitu
hujan reda genangannya langsung surut. Kalau panjangnya paling hanya 10
meter saja. Dan selama kejadian tersebut tidak ada gangguan terhadap pelayanan,
itu hanya di selasar saja," jelasnya.
Sabta menjelaskan,
genangan air di RSUD Abdul Moeloek terjadi akibat turun hujan dengan intensitas
tinggi dengan waktu yang cukup lama.
"Pada saat kejadian
memang intensitas hujan tinggi dan waktunya lama dari sore sampai malam. Tapi
setelah hujan selesai langsung surut dan petugas langsung melakukan
pembersihan," ungkapnya.
Ia melanjutkan,
awalnya di belakang RSUD Abdul Moeloek merupakan daerah perbukitan, namun saat
ini sudah berubah menjadi pemukiman warga.
"RSUD itu berada
di bawah bukit dan sekarang sudah banyak rumah penduduk yang ada di atas bukit.
Sehingga air langsung turun, tidak lagi diserap oleh tanah," imbuhnya. (*)