Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Selasa, 27 Februari 2024

Bandar Lampung Jadi Langganan Banjir, Pengamat: Minim Daerah Resapan Air Hingga Marak Alih Fungsi Lahan

Oleh ADMIN

Berita
Tampak warga yang berenang ditengah-tengah banjir yang sudah mencapai dadanya di Bandar Lampung, Sabtu (24/2/24) kemarin. Foto: Ist

Berdikari.co, Bandar Lampung - Banjir di Bandar Lampung pada Sabtu (24/2/2024) malam menjadi yang terparah selama beberapa tahun terakhir. Penyebabnya diduga karena drainase tersumbat, daerah resapan air minim hingga alih fungsi lahan yang semakin marak.

Ahli Hidrologi Universitas Lampung, Prof Dyah Indriana Kusumastuti mengatakan, ada tiga sebab Kota Bandar Lampung menjadi daerah langganan banjir.

“Penyebabnya dari masalah drainase yang tersumbat, daerah resapan air minim, dan alih fungsi lahan yang marak,” kata Dyah, Minggu (25/2/2024) malam.

Ia mengungkapkan, daerah resapan air di Bandar Lampung saat ini banyak berkurang dampak masifnya pembangunan. Menurutnya, meski kegiatan pembangunan hal penting, namun pemerintah dan masyarakat tidak boleh abai dalam memperhatikan aspek low impact development.

“Artinya pembangunan itu harus memberikan dampak yang rendah terhadap lingkungan. Itu hal yang harus disoroti bersama,” ujarnya

Ia mengatakan, daerah resapan sangat penting untuk meneruskan air hujan masuk ke dalam tanah. Kehadiran embung atau kolam-kolam penampungan air punya peran sentral dalam menghalau air bah yang turun akibat curah hujan tinggi.

”Daerah resapan ini tentu saja akan memperkecil koefisien limpahan air dan itu berkaitan dengan kondisi lahannya,” ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, input curah hujan yang tinggi juga tidak bisa lepas dari drainase. Tutupan lahan menyebabkan tidak semua air hujan mampu terserap ke tanah. Air yang tidak terserap itu akan menimbulkan limpahan air yang tidak bisa terkendali sehingga meluap ke pemukiman.

“Kapasitas tampung drainase harus cukup dan alirannya harus tidak tersumbat sampah. Jika tersumbat air tidak bisa menemukan jalan keluar dan akhirnya meluap,” paparnya.

Dyah juga menyoroti masalah alih fungsi lahan pada bukit-bukit yang ada seharusnya bisa menjadi daerah resapan air alami. Namun, kini banyak beralih fungsi menjadi perumahan dan lokasi wisata. Padahal bukit memiliki peran penting dalam menurunkan koefisien limpahan air.

“Kalau terjadi alih fungsi lahan daerah bukit-bukit itu akan meningkatkan koefisien limpahan air. Sehingga air bah yang datang tidak sempat terserap dan akan langsung melimpas,” jelasnya.

Ia menyarankan, pemerintah perlu melakukan serangkaian evaluasi guna meminimalisasi daerah rawan banjir di Bandar Lampung. Pemerintah harus dapat lebih memperhatikan saluran infrastruktur pembangunan drainase dari segi kapasitas serta perbaikan dan pelebaran saluran air yang rusak.

“Kemudian normalisasi sungai juga menjadi upaya untuk melancarkan dan mengembalikan fungsi sungai agar dapat mengalirkan limpasan air,” ujarnya.

Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung menyebut, banjir yang terjadi berulang kali di Bandar Lampung menandakan tidak ada keseriusan Pemkot dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri menilai, telah terjadi dua kegagalan Pemkot Bandar Lampung dalam mengatasi masalah banjir.

"Pertama, gagal melakukan upaya meminimalisir banjir, bahkan kejadian banjir kali ini bisa disebut lebih parah dari kejadian-kejadian sebelumnya," katanya, Minggu (25/2/2024).

Selanjutnya, kata Irfan, kegagalan kedua yaitu upaya mitigasi yang menyebabkan warga kebingungan dalam proses evakuasi ketika banjir terjadi.

Menurutnya, kegagalan dalam meminimalisir banjir tentunya bukan sesuatu yang tanpa sebab. Hal ini terjadi akibat Pemkot Bandar Lampung yang tidak pernah menjadikan aspek lingkungan hidup sebagai panglima dalam pembangunan.

"Ini semua terjadi akibat pemkot yang sangat serampangan dalam menerbitkan izin. Kemudian dampak dari tata ruang yang mengedepankan investasi tanpa memperhatikan aspek-aspek lingkungan hidup," ungkapnya.

“Hal ini juga diperparah dengan kebijakan dan program Pemkot Bandar Lampung yang juga tidak pernah memprioritaskan program lingkungan hidup dan pencegahan bencana,” lanjutnya.

Irfan mengungkapkan, banjir terjadi selain disebabkan oleh alih fungsi lahan yang masif, juga disebabkan oleh pendangkalan sungai serta sistem drainase di wilayah Bandar Lampung yang buruk.

"Selain itu juga disebabkan akibat minimnya daerah resapan air dan daerah tangkapan air. Selama ini pemerintah tidak melihat akar permasalahan terjadinya banjir dan ketidaksiapan dalam menghadapi situasi banjir meskipun sudah terjadi berulang-ulang,” tegasnya.

Ia mengungkapkan, banjir yang terjadi seharusnya menjadi bahan evaluasi Pemkot Bandar Lampung dalam meminimalisir terjadinya banjir yang tidak berfokus pada respon pasca banjir dan perbaikan tanggul, namun juga melihat faktor-faktor lain seperti adanya permasalahan sampah, minimnya RTH daerah tangkapan dan resapan air, pendangkalan dan penyempitan sungai, serta tidak menerbitkan izin-izin pembangunan tempat usaha yang berdampak terhadap lingkungan dan masyarakat.

"Sehingga Kota Bandar Lampung mampu menghadapi situasi cuaca ekstrem yang kapan saja bisa terjadi dengan langkah-langkah yang tepat," ucapnya.

Menurut Irfan, sudah saatnya Pemkot Bandar Lampung sadar bahwa kepentingan lingkungan hidup dan masyarakat harus menjadi hal utama dalam pembangunan.

"Jadi kita minta pemerintah harus segera melakukan evaluasi terhadap semua pembangunan di Kota Bandar Lampung yang telah berdampak buruk terhadap lingkungan hidup dan masyarakat," tandasnya.

RSUD Abdul Moeloek Terendam Banjir

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek sempat terendam banjir saat hujan mengguyur Kota Bandar Lampung, pada Minggu (25/2/2024) sore.

Video rekaman RSUD Abdul Moeloek tergenang banjir viral di media sosial. Dalam video berdurasi 30 detik tersebut, terlihat seseorang sedang berjalan di selasar RSUD Abdul Moeloek yang digenangi air setinggi di atas mata kaki orang dewasa.

Humas RSUD Abdul Moeloek, Sabta Putra saat dihubungi mengatakan, banjir hanya menggenangi selasar atau lorong RSUD Abdul Moeloek, dan tidak masuk hingga ke dalam ruang perawatan pasien.

"Kemarin itu ada sedikit genangan air di selasar atau lorong mengarah ke ruang jenazah. Jadi genangan itu hanya di lorongnya saja, tidak sampai masuk ke ruang pasien. Karena memang ruangan perawatan juga tinggi," kata Sabta, Senin (26/2/2024).

Ia mengatakan, genangan air tersebut terjadi sekitar 10 meter dengan ketinggian semata kaki orang dewasa. Namun, genangan air tidak berlangsung dan langsung surut saat hujan reda.

"Jadi begitu hujan reda genangannya langsung surut.  Kalau panjangnya paling hanya 10 meter saja. Dan selama kejadian tersebut tidak ada gangguan terhadap pelayanan, itu hanya di selasar saja," jelasnya.

Sabta menjelaskan, genangan air di RSUD Abdul Moeloek terjadi akibat turun hujan dengan intensitas tinggi dengan waktu yang cukup lama.

"Pada saat kejadian memang intensitas hujan tinggi dan waktunya lama dari sore sampai malam. Tapi setelah hujan selesai langsung surut dan petugas langsung melakukan pembersihan," ungkapnya.

Ia melanjutkan, awalnya di belakang RSUD Abdul Moeloek merupakan daerah perbukitan, namun saat ini sudah berubah menjadi pemukiman warga.

"RSUD itu berada di bawah bukit dan sekarang sudah banyak rumah penduduk yang ada di atas bukit. Sehingga air langsung turun, tidak lagi diserap oleh tanah," imbuhnya. (*)

Editor Sigit Pamungkas