Berdikari.co, Bandar Lampung - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menyoroti soal adanya oknum penggarap diduga sewakan lahan kota baru ke warga, dimana besarannya mencapai Rp5 juta hingga Rp15 juta per hektarnya.
Meski pihaknya belum mengetahui adanya oknum sewakan lahan lebih besar dari Pemprov. Namun LBH Bandar Lampung mendorong agar Pemprov Lampung dapat menindaklanjutinya adanya dugaan tersebut.
"Kalaupun memang ada kita juga dorong untuk bagaimana pemerintah provinsi Lampung bisa menindak lanjuti soal sewa sewa itu," kata Direktur LBH Bandar Lampung, Suma Indra Jarwadi, Rabu (3/4/2024).
Dimana pemprov Lampung sendiri menyewakan lahan kota Baru ke masyarakat hanya sebesar Rp3 juta per hektarnya.
Selain itu kata Indra, perlu diingat juga bahwa di lahan kota Baru itu terdapat masyarakat yang telah menggarap secara turun temurun sejak puluhan tahun.
"Harus dilihat juga bahwa disana juga terdapat masyarakat yang telah menggarap secara turun temurun, korban penggusuran yang dilakukan oleh BPKAD telah menggarap sejak tahun 1955," ungkapnya.
Penggusuran yang dilakukan oleh BPKAD tersebut seperti yang dilakukan kemarin pada saudara Tini, dimana lahan seluas 2 hektar yang telah ditanami singkong digusur menggunakan traktor bajak.
"Dugaan motif penggugsuran tanam tumbuh lahan yang digarap saudara Tini diduga karena beliau merupakan aktor yang paling aktif dan vokal dalam memperjuangkan konflik lahan bersama warga di Desa Sindang Anom," kata dia.
Oleh karenanya, korban penggusuran itu pun dengan didampingi LBH melaporkan kejadian tersebut ke Polda Lampung.
"Upaya-upaya ini menguatkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh BPKAD adalah tindakan intimindasi dan kriminalisasi terhadap perempuan pejuang Hak Asasi Manusia yang ditujukan kepada para Petani di Kota Baru," jelasnya.
Menurutnya, penggarap yang mayoritas berasal dari 3 desa sekitar Kota Baru sudah melakukan penggarapan sejak tanah tersebut masih berstatus kawasan hutan.
Dahulu lahan masih berstatus Kawasan Hutan Produksi Register 40 Gedong Wani yang ditetapkan sebagai kawasan hutan sejak zaman kolonial Belanda lewat Besluit Resident Lampung District No. 372 tanggal 12 Juni 1937.
Selanjutnya, pemerintah Provinsi Lampung menetapkan kebijakan pembangunan kota baru untuk pusat pemerintahan Provinsi Lampung di wilayah tersebut dengan rencana penggunaan lahan seluas 1300 Ha melalui Perda No. 12 tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Lampung Tahun 2009 -2029.
"Tapi pada faktanya hingga hari ini pembangunan Kota Baru justru mangkrak dan menggusur rakyat," tandasnya. (*)