Berdikari.co, Metro - Politik uang atau praktik money politics di Kota Metro diperkirakan telah ada sejak Pilkada pertama sekitar tahun 2005. Tren tersebut mengalami pergeseran signifikan dari masa ke masa.
Hal ini diungkapkan oleh pegiat antikorupsi Kota Metro, Toma Alfa Edison, saat dikonfirmasi di kantornya, Jalan Abri Gg. Rahayu, Kelurahan Iringmulyo, Kecamatan Metro Timur, pada Jumat (26/7/2024).
Menurut Toma, sejak pemekaran tahun 1999, dugaan praktik money politik belum menjangkau masyarakat luas. Praktik ini diduga mulai muncul pada Pilkada langsung pertama sekitar tahun 2005.
"Dugaan praktik money politik di Metro ini sudah dimulai sejak awal Pilkada Kota Metro, sekitar tahun 2005. Saat itu, pola penyebarannya melalui proposal organisasi masyarakat, kelompok hobi, serta organisasi pemuda dan kelompok masyarakat lainnya," jelasnya.
Mantan Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Antikorupsi Kota Metro tahun 2002 ini juga menjelaskan bahwa besaran nilai money politik yang diduga dilakukan pasangan calon pada saat itu masih tergolong minim dan hanya tersegmen pada kelompok masyarakat tertentu.
"Saat itu, hanya organisasi atau kelompok masyarakat yang mengirimkan proposal kepada calon tertentu saja yang mendapatkan uang. Jumlahnya bervariasi, mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta, sesuai dengan kemampuan calon dan kebutuhan kegiatan yang diajukan dalam proposal," katanya, seperti dikutip dari kupastuntas.co.
Toma menambahkan, proposal tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan seperti perlombaan, pertandingan sepak bola, lomba catur, acara 17 Agustusan, dan lain sebagainya.
Sebagai mantan aktivis tahun 1999, Toma juga menceritakan pengalamannya mengamati praktik politik pada medio tahun 2005 hingga 2015.
"Tren money politik dengan metode menggerakkan organisasi ini berlangsung selama kurang lebih dua periode Pilkada, sekitar tahun 2005 hingga 2015. Kemudian, seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran dugaan praktik money politik di Metro," ujarnya.
Pria 45 tahun tersebut menjelaskan bahwa tren pergeseran praktik money politik di Metro terjadi pada medio tahun 2016 atau saat Pilkada ke-3 berlangsung.
"Dari yang mulanya menggunakan proposal, kini berubah dan menyasar langsung ke masyarakat yang masuk dalam daftar pemilih tetap. Pada Pilkada langsung ke-3, tahun 2016 hingga 2020, tren money politik berubah dan menyasar pemilik KTP yang merupakan warga Metro," jelasnya.
Toma, yang akrab disapa Kyai, menyatakan bahwa praktik ini dilakukan dengan membentuk tim khusus untuk merekrut calon pemilih dengan menyetorkan fotokopi KTP dan Kartu Keluarga (KK).
"Diduga hampir semua calon membentuk tim yang bertugas merekrut calon pemilih dan menghimpun KTP warga Metro untuk pendataan secara masif dan tersegmentasi," tambahnya.
Selain uang, pasangan calon kepala daerah juga membagikan sembako dan pernak-pernik lain seperti piring, gelas, dan barang lainnya. Uang yang dikeluarkan pun bervariasi, mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu per satu calon pemilih.
Toma, yang kini menjabat sebagai Dewan Penasehat LSM Gerakan Transparansi Rakyat (Getar) Provinsi Lampung, juga menceritakan bahwa pada Pilkada 2016, praktik money politik belum merata.
"Pergeseran dugaan praktik money politik pada saat itu sudah diterima oleh masyarakat, tapi belum masif atau belum menyentuh seluruh masyarakat Metro. Perubahan signifikan terjadi pada Pilkada 2020," terangnya.
Toma, yang terlibat dalam kegiatan politik di Kota Metro pada Pilkada 2020, melihat langsung bagaimana logistik berupa barang maupun uang disalurkan kepada masyarakat calon pemilih.
"Pada Pilkada 2020, rata-rata calon diduga melakukan money politik dengan nilai mencapai Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu per calon pemilih. Namun, pemberiannya tidak merata. Angka tersebut sangat besar dan menjadi tantangan bagi pengawas dan penyelenggara pemilu di Kota Metro dalam menghadapi Pilkada serentak tahun 2024 ini," paparnya.
Mantan pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) tahun 2005 ini menjelaskan bahwa pesta demokrasi tahun 2024 menjadi tantangan baru bagi penyelenggara dan pengawas pemilu untuk memberantas praktik money politik di Bumi Sai Wawai.
"Bagaimana Metro ke depan tergantung kepada masyarakat. Masyarakat tidak akan meminta uang untuk mencoblos pasangan calon tertentu tanpa calon itu sendiri yang memberikannya. Ini menjadi tantangan bagi kita untuk merubah paradigma masyarakat tentang praktik money politik di Metro yang sudah ada sejak awal Metro menjadi Kota Madya," harapnya.
Menurutnya, biaya politik di Metro yang besar akan terus tumbuh jika partai politik tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Pendidikan politik kepada masyarakat dari parpol dapat menumbuhkan kesadaran dalam memaksimalkan pembangunan bangsa dan negara.
"Biaya politik di Kota Metro mencerminkan bahwa partai politik tidak menjalankan fungsinya dengan baik sebagai lembaga yang memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Politik sangat penting karena telah melekat pada setiap orang, tidak ada orang yang bisa lepas darinya selama dia masih manusia atau makhluk sosial," cetusnya.
Toma juga menyebut bahwa money politik di Kota Metro menjadi pekerjaan rumah besar bagi pengawas, penegak hukum, dan pihak terkait dengan pemilu.
"Aktivitas money politik di Kota Metro bukan sekadar dugaan, ini merupakan rahasia umum yang telah terjadi di kota Metro dari masa ke masa," lanjutnya.
Sebagai warga Kelurahan Mulyojati, Kecamatan Metro Barat, Toma berharap masyarakat dapat berpikir lebih objektif dalam menentukan pilihan pada Pilkada serentak 2024 mendatang.
"Saya berharap masyarakat pemilih di Kota Metro dapat lebih objektif dalam menentukan pemimpin masa depan yang tidak melakukan praktik money politik. Dampak dari kegiatan tersebut adalah kesenjangan, ketidakstabilan politik, serta terhambatnya pembangunan," ujarnya.
"Kita berharap ke depannya rakyat Kota Metro tidak terbuai oleh praktik money politik dan mampu melihat pemimpin dari karakter serta visi misinya dalam mensejahterakan rakyat untuk kemajuan Kota Metro," tandasnya. (*)