Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Selasa, 10 Desember 2024

Potret Kehidupan Buruh Cabut Singkong di Lampung Timur, Satu Hari Terima Upah Rp 50 Ribu

Oleh Redaksi

Berita
Beberapa warga yang bekerja sebagai buruh cabut singkong di Desa Pakuan Aji, Kecamatan Sukadana, Lampung Timur, sedang mengumpulkan singkong yang baru saja dicabut. Foto: Ist.

Berdikari.co, Lampung Timur - Potret kehidupan buruh cabut singkong di Kabupaten Lampung Timur cukup memprihatinkan. Bekerja dari pagi hingga sore, setiap orang hanya mendapat upah harian sebesar Rp50 ribu hingga Rp70 ribu.

Di tengah hamparan ladang singkong yang membentang luas di Kabupaten Lampung Timur, terlukis sebuah kisah perjuangan keras para buruh cabut singkong.

Sejak pagi buta, para buruh cabut singkong ini mulai berbondong-bondong menuju ladang. Berbekal cangkul, sabit, golok, sarung tangan, dan topi lusuh untuk melindungi diri dari terik matahari, mereka bersiap untuk mencabut puluhan hingga ratusan batang singkong dalam sehari.

Aktivitas fisik yang membutuhkan tenaga besar ini tidak hanya melelahkan, tetapi juga penuh risiko, seperti cedera akibat alat kerja atau serangan serangga di ladang.

Yang lebih memprihatinkan, pekerjaan buruh cabut singkong bukan hanya dikerjakan kaum pria. Kaum perempuan juga ikut menggeluti pekerjaan berat ini.

“Kami mulai bekerja sejak subuh, kadang sampai sore. Kalau hujan, tanahnya lengket, jadi lebih berat mencabut singkongnya,” ujar Sunarti, seorang ibu dua anak yang sudah sepuluh tahun bekerja sebagai buruh cabut singkong, pada Minggu (8/12/2024).

Warga Desa Pakuan Aji, Kecamatan Sukadana, Lampung Timur (Lamtim) ini mengaku, upah harian yang didapatkan rata-rata berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp70 ribu, tergantung pada jumlah batang singkong yang berhasil dicabut.

Meski kecil, pendapatan ini menjadi penopang utama kehidupan mereka, termasuk untuk biaya sekolah anak dan kebutuhan pokok keluarga.

Di balik keluh kesah tersebut, ada juga rasa bangga yang dirasakan. “Meski kerja keras, saya bersyukur karena masih bisa membantu memenuhi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anak-anak saya. Saya hanya berharap anak-anak kami punya masa depan yang lebih baik dan tidak harus bekerja seberat ini,” ungkap Sunarti dengan mata berkaca-kaca.

Namun, tantangan yang mereka hadapi tidak hanya di ladang. Ketidakstabilan harga singkong di pasaran seringkali membuat para buruh resah. Ketika harga anjlok, imbasnya langsung dirasakan, karena pemilik ladang akan mengurangi jumlah pekerja yang dipekerjakan atau bahkan menghentikan panen sementara.

Selain itu, minimnya akses terhadap jaminan sosial dan kesehatan menjadi salah satu problem utama yang belum terselesaikan. Banyak buruh yang bekerja tanpa perlindungan asuransi kesehatan atau tunjangan hari tua.

Meski demikian, di tengah keterbatasan, solidaritas antar buruh menjadi penguat. Mereka saling membantu saat ada yang sakit atau membutuhkan dukungan.

Hal ini terlihat dalam tradisi "gotong royong" di ladang, di mana para buruh berbagi makanan dan saling menyemangati.

Lain halnya dengan Rahmat, seorang pemuda 25 tahun yang baru satu tahun menjadi buruh cabut singkong.

“Awalnya saya pikir pekerjaan ini mudah, tapi ternyata sangat melelahkan. Kadang punggung dan tangan saya sakit karena mencabut singkong terus-menerus,” ungkapnya sambil mengelap keringat di wajahnya.

Meski begitu, Rahmat tetap bertahan karena pekerjaan ini adalah satu-satunya pilihan di desa tempat ia tinggal.

“Kami hanya ingin upah kami sedikit lebih baik, karena harga kebutuhan sekarang semakin naik. Kadang, uang dari kerja seharian hanya cukup untuk makan sehari,” tutur Suroto, buruh lain yang telah menghabiskan separuh hidupnya bekerja di ladang singkong.

Beberapa buruh juga mengeluhkan minimnya fasilitas pendukung di lading. “Kalau haus, kami harus membawa air sendiri dari rumah. Tidak ada tempat berteduh juga kalau panas terik,” ujar Nurhasanah, seorang buruh perempuan yang setiap hari membawa serta anak bungsunya ke ladang karena tidak ada yang menjaga di rumah.

Kabupaten Lampung Timur dikenal sebagai salah satu daerah penghasil singkong terbesar bukan hanya di Provinsi Lampung, tapi di Indonesia. Komoditas ini menjadi tulang punggung ekonomi bagi banyak masyarakat setempat, mulai dari petani hingga buruh.

Singkong yang diproduksi tidak hanya untuk kebutuhan lokal, tetapi juga diekspor ke berbagai daerah lain sebagai bahan baku industri.

Namun, untuk memaksimalkan potensi ini, dibutuhkan perhatian lebih dari pemerintah dan pelaku usaha. Program pemberdayaan buruh dan peningkatan kesejahteraan mereka menjadi aspek yang harus diprioritaskan. Selain itu, diperlukan infrastruktur yang memadai untuk mendukung distribusi dan stabilitas harga komoditas.

Di tengah berbagai tantangan, para buruh cabut singkong tetap menyimpan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Mereka berharap ada kebijakan yang lebih berpihak pada buruh, seperti penetapan upah yang layak, perlindungan kesehatan, dan program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka.

Kisah para buruh cabut singkong di Lampung Timur adalah cerminan dari kerja keras dan keteguhan hati dalam mengais rezeki.

Meski berada di lapisan bawah piramida ekonomi, mereka memiliki peran penting dalam mendukung rantai pasok pangan di Indonesia. Dengan perhatian dan dukungan yang tepat, potret kehidupan mereka semestinya bisa berubah menjadi lebih baik di masa depan. (*)

Artikel ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Selasa 10 Desember 2024, dengan judul "Potret Kehidupan Buruh Cabut Singkong di Lampung Timur, Satu Hari Terima Upah Rp 50 Ribu"

Editor Didik Tri Putra Jaya