Berdikari.co, Bandar Lampung - Wacana pemilihan
kepala daerah oleh DPRD dengan alasan menghemat anggaran dan mencegah tingginya
biaya politik dinilai tidak memiliki urgensi yang kuat. Sebagai bukti, di
Kabupaten Mesuji pada Pilkada Serentak 2024, salah satu calon kepala daerah
hanya mengeluarkan dana kampanye sebesar Rp95,8 juta.
Pengamat politik sekaligus Akademisi Universitas Muhammadiyah Lampung
(UML), Candrawansah, menilai bahwa anggaran kampanye pilkada di beberapa
daerah, termasuk di Provinsi Lampung, sering kali berada pada angka yang
relatif rendah.
Namun, ia mengingatkan bahwa masih ada persoalan transparansi dalam
pencatatan pemasukan dan pengeluaran dana kampanye.
“Banyak pengeluaran dan pemasukan dalam pencalonan kepala daerah yang tidak
tercatat melalui rekening dana kampanye resmi. Ini masalah lama yang harus
segera diperbaiki agar ada transparansi yang jelas,” ujar Candrawansah, Senin
(16/12/2024).
Candrawansah menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
rakyat merupakan elemen penting dalam memperkuat demokrasi lokal. Menurutnya,
alasan efisiensi anggaran tidak boleh menjadi dasar untuk mengesampingkan hak
masyarakat dalam menentukan pemimpin mereka.
“Keterlibatan masyarakat dalam pilkada adalah wujud demokrasi yang tidak
bisa diabaikan. Masyarakat juga berperan dalam memastikan transparansi proses
pemilihan, sehingga kepala daerah yang terpilih benar-benar mewakili suara
mayoritas,” katanya.
Ia juga berpendapat bahwa jika regulasi terkait dana kampanye dan
transparansi diperbaiki, tingginya biaya politik tidak akan menjadi persoalan
besar.
“Dengan pengawasan ketat terhadap anggaran kampanye yang sudah relatif
kecil di beberapa daerah seperti Lampung, usulan pemilihan kepala daerah
melalui DPRD tidak memiliki urgensi yang kuat,” tegasnya.
Senada dengan itu, Pengamat Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) Universitas Lampung, Dedi Hermawan, menyatakan bahwa wacana
pemilihan kepala daerah oleh DPRD harus dikaji secara mendalam.
Menurutnya, perlu ada evaluasi komprehensif terhadap kelebihan dan
kekurangan sistem pemilihan langsung dibandingkan dengan pemilihan melalui
DPRD.
“Kita harus memastikan bahwa legitimasi publik tetap menjadi landasan utama
dalam sistem pemilihan kepala daerah. Pendapat rakyat juga perlu
dipertimbangkan dalam menentukan masa depan pilkada dan dampaknya terhadap
kesejahteraan masyarakat lokal,” kata Dedi.
Dedi mengatakan, jika kepala daerah dipilih DPRD akan berpotensi semua
kepala daerah di Indonesia bisa didominasi oleh orang-orang dari para parpol
yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
Menurut Dedi, harus diakui saat ini parpol yang bergabung dalam KIM Plus
sangat mendominasi kekuatan di parlemen baik di tingkat pusat maupun daerah.
Baik Candrawansah maupun Dedi sepakat bahwa hak rakyat dalam berdemokrasi
tidak boleh dikorbankan demi alasan efisiensi anggaran. Pilkada langsung
dinilai tetap relevan untuk menjaga transparansi dan legitimasi kepemimpinan
daerah.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengusulkan untuk mengembalikan
pemilihan kepala daerah kepada DPRD demi efisiensi anggaran.
Hal itu disampaikan Prabowo dalam pidatonya pada peringatan HUT ke-60
Partai Golkar di SICC, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024) malam.
Prabowo menilai Pilkada langsung menghabiskan biaya besar yang seharusnya
dapat digunakan untuk program yang lebih bermanfaat bagi masyarakat kecil.
"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India. Sekali memilih anggota DPR ya sudah DPRD itulah yang memilih gubernur, bupati. Efisien, gak keluar duit, keluar duit, keluar duit, kayak kita kaya bener nggak?" ujar Prabowo. (*)