Berdikari.co, Bandar Lampung - Di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta, Bandar
Lampung, suara peluit kecil dan kibasan bendera merah menjadi pemandangan
biasa. Mereka dikenal sebagai ‘Pak Ogah’, sosok sukarela yang membantu mengatur
kendaraan yang ingin memutar arah.
Meski sederhana, peran mereka cukup signifikan dalam membantu kelancaran
arus lalu lintas. Dengan bermodalkan peluit dan bendera kecil, para Pak Ogah
bisa membawa pulang penghasilan hingga Rp100 ribu per hari.
Di bawah sengatan matahari, Hermanto, pria asal Medan, menjadi salah satu
dari sekian banyak Pak Ogah yang berjuang di jalanan. Baru tiga bulan menekuni
pekerjaan ini, ia mengaku pendapatannya berkisar Rp30 ribu hingga Rp50 ribu per
hari. Meski kecil, Hermanto tetap mensyukuri rezeki yang diterimanya.
“Zaman sekarang sulit cari kerja. Ini tuntutan ekonomi. Kami bekerja
sukarela, tidak semua pengemudi memberi imbalan,” ujar Hermanto sambil sesekali
meniup peluitnya di Jalan Soekarno-Hatta, Bandar Lampung, Selasa (17/12/2024).
Tak jauh dari lokasi Hermanto bekerja, Adit, rekan seprofesinya, juga
menjalani pekerjaan serupa. Adit, yang baru dua bulan menjadi Pak Ogah, mengaku
penghasilannya lebih baik dibanding Hermanto. Setiap harinya, ia bisa
mengantongi Rp70 ribu hingga Rp100 ribu.
Namun, Adit menekankan bahwa tidak semua pengemudi memberikan imbalan.
“Tidak ada paksaan. Kalau ada yang memberi, Alhamdulillah. Kalau tidak, juga
tidak apa-apa,” kata Adit dengan senyuman ramah.
Adit tak pernah kecewa meski ada hari di mana ia bekerja keras namun
penghasilannya kecil. Baginya, membantu pengendara adalah bagian dari tugasnya.
Tak jarang pula ia mendapat apresiasi kecil berupa senyuman atau ucapan terima
kasih dari pengemudi.
Keberadaan Pak Ogah di jalanan seperti pedang bermata dua. Di satu sisi,
mereka jelas membantu pengendara, khususnya di titik-titik u-turn yang rawan
macet. Bagi sebagian pengemudi, keberadaan mereka ibarat "malaikat
jalanan" yang datang membantu di saat butuh. Namun disisi lain, peran
mereka yang tidak diatur secara resmi dapat memunculkan masalah baru.
Ketiadaan pelatihan, standar keamanan, serta pengawasan yang jelas membuat
pekerjaan ini memiliki risiko tinggi. Selain rawan kecelakaan, kehadiran Pak
Ogah di tengah padatnya arus lalu lintas kadang justru menyebabkan
ketidakteraturan di beberapa titik.
Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan ini. Apakah dengan solusi
penempatan petugas resmi di u-turn atau pembangunan infrastruktur yang lebih
baik. Jika tidak, fenomena Pak Ogah akan terus ada di tengah ketidakseimbangan
kebutuhan dan pelayanan lalu lintas.
Fenomena Pak Ogah bukanlah hal baru di kota-kota besar seperti Bandar
Lampung. Kehadiran mereka mencerminkan dua hal, sulitnya lapangan pekerjaan
serta kurangnya solusi dari sisi pengelolaan transportasi. Bagi Hermanto
dan Adit, menjadi Pak Ogah bukanlah cita-cita, melainkan cara bertahan hidup.
“Daripada menganggur, lebih baik begini. Setidaknya masih ada rezeki untuk
makan,” ungkap Hermanto, singkat namun penuh makna.
Kisah para Pak Ogah di Jalan Soekarno-Hatta ini mengingatkan kita tentang
realitas hidup di balik hiruk-pikuk kota. Di tengah keterbatasan, mereka
memilih bekerja dan memberi manfaat. Meskipun kecil, peran mereka tetap berarti
bagi kelancaran jalanan Bandar Lampung. Namun, sampai kapan fenomena ini akan
terus dibiarkan?
Pertanyaan ini seharusnya menjadi renungan bagi pemerintah daerah. Sebab, solusi yang lebih baik bukan hanya bermanfaat bagi para pengendara, tetapi juga bagi para "pahlawan jalanan" seperti Hermanto dan Adit yang menggantungkan hidup mereka di tepi aspal panas. (*)