Berdikari.co, Bandar Lampung - Bekerja di luar negeri kerap dianggap sebagai solusi cepat untuk mengatasi keterbatasan ekonomi. Dengan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan pekerjaan serupa di dalam negeri, para PMI mampu memberikan dampak signifikan bagi keluarga dan perekonomian daerah asal.
Pengamat Ekonomi Universitas Lampung, Asrian Hendi Caya, menjelaskan bahwa daya tarik utama bekerja di luar negeri adalah gaji yang jauh lebih besar. Namun, ia mengingatkan bahwa penghasilan tersebut seringkali sebanding dengan biaya hidup di negara tujuan.
“Nilai uang saat bekerja di luar negeri menjadi lebih besar ketika dikirimkan ke kampung halaman, di mana biaya hidup lebih rendah. Hal ini yang membuat banyak PMI memilih bekerja di luar negeri, bukan semata-mata karena ingin, melainkan karena dorongan ekonomi dan harapan untuk memperbaiki kehidupan keluarga,” kata Asrian, Kamis (9/1/2025).
Asrian juga menyoroti dampak positif remitansi PMI terhadap perekonomian daerah. Dana yang dikirimkan TKI sering kali digunakan untuk kebutuhan produktif, seperti membangun rumah, membeli lahan, mendanai usaha pertanian, atau membuka usaha mandiri.
“Dana yang dikirimkan pekerja migran sering kali dimanfaatkan untuk kebutuhan produktif. Hal ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara keseluruhan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.
Ia menambahkan, keberangkatan tenaga profesional dengan keahlian di sektor formal memberikan dampak yang lebih besar. Selain mengurangi tingkat pengangguran di dalam negeri, pekerja yang kembali ke tanah air membawa kompetensi dan pengalaman yang dapat menciptakan lapangan kerja baru.
“Pekerja yang kembali dengan pengalaman dan keterampilan baru berpotensi membuka usaha atau memberikan pelatihan bagi masyarakat lokal, sehingga kontribusinya menjadi berkelanjutan,” imbuh Asrian.
Namun, fenomena PMI tidak lepas dari berbagai tantangan. Salah satunya adalah banyaknya pekerja migran yang berangkat secara ilegal akibat minimnya akses kerja di dalam negeri serta tingginya biaya keberangkatan formal.
“Banyak calon pekerja yang menempuh jalur tidak resmi demi bisa bekerja di luar negeri. Hal ini meningkatkan risiko eksploitasi, perlakuan tidak manusiawi, hingga ketidakpastian hukum di negara tujuan,” papar Asrian.
Selain itu, minimnya keahlian juga menjadi masalah besar. Sebagian besar pekerja migran hanya mampu bekerja di sektor informal seperti asisten rumah tangga atau buruh kasar yang rentan terhadap diskriminasi dan rendahnya tingkat perlindungan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Asrian menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memberikan solusi berkelanjutan. Salah satu langkah utama adalah meningkatkan akses pelatihan keterampilan dan sertifikasi bagi calon PMI.
“Pemerintah perlu memfasilitasi pelatihan di bidang-bidang yang memiliki permintaan tinggi, seperti tenaga perawat, medis, atau pekerja di sektor formal lainnya. Dengan begitu, mereka dapat bekerja dengan perlindungan lebih baik dan mendapatkan penghasilan yang lebih layak,” tegasnya.
Pengawasan terhadap agen penyalur tenaga kerja juga perlu diperketat untuk mencegah pengiriman tenaga kerja secara ilegal. Selain itu, pemerintah didorong memperluas kerja sama dengan negara tujuan PMI agar lebih banyak peluang kerja formal tersedia bagi tenaga kerja asal Indonesia.
“Harapannya, pemerintah dapat membantu calon pekerja memiliki keahlian dan mendapatkan pekerjaan formal di luar negeri sehingga risiko diminimalkan dan manfaatnya maksimal,” pungkas Asrian.
Sementara, Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung, Rifandy Ritonga, mengatakan perlindungan terhadap PMI selama tahun 2024 masih menghadapi berbagai tantangan, khususnya asal Provinsi Lampung yang menjadi penyumbang PMI terbesar kelima secara nasional.
Meskipun Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) telah menjadi landasan hukum yang jelas, namun implementasinya di lapangan dianggap masih sering tidak optimal.
Rifandy menilai masih banyak PMI, terutama yang bekerja di sektor informal seperti rumah tangga, menjadi korban kekerasan, pelecehan, bahkan berujung pada kematian.
Menurutnya, hal ini terjadi disebabkan masih lemahnya pengawasan terhadap majikan dan lingkungan kerja di negara tujuan, ditambah minimnya pendampingan hukum dari pemerintah membuat mereka rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
"Selain itu, edukasi yang belum memadai sebelum keberangkatan serta akses komunikasi yang terbatas selama bekerja di luar negeri, semakin memperburuk kondisi mereka," kata Rifandi, Kamis (9/1/2025)
Rifandi menyebutkan, dengan tingginya angka keberangkatan PMI ilegal juga menjadi masalah serius. Faktor utama yang mendorong calon PMI memilih jalur ilegal yakni besarnya biaya yang harus dikeluarkan, prosedur administrasi yang rumit, serta lamanya waktu proses untuk menjadi PMI resmi.
"Banyak di antara mereka terjebak dalam rayuan agen atau calo yang menjanjikan keberangkatan cepat, meskipun tanpa perlindungan hukum yang memadai," katanya
Di sisi lain, lanjut Rifandy, tekanan ekonomi, minimnya peluang kerja di dalam negeri, serta ketidaktahuan akan risiko besar menjadi pendorong utama para PMI mengambil langkah berbahaya tersebut.
"Melihat banyaknya kasus yang menimpa PMI, khususnya yang berasal dari Lampung, diperlukan upaya yang lebih serius dari pemerintah. Pengawasan terhadap agen penyalur tenaga kerja harus diperketat untuk memastikan perjanjian kerja memenuhi standar hukum internasional," ucapnya
Lebih lanjut, Rifandy mengatakan, adanya edukasi dan pelatihan yang komprehensif bagi calon PMI juga menjadi hal yang mendesak, agar mereka memahami hak-hak dan kewajibannya di negara tujuan.
"Pemerintah juga perlu menjalin kerja sama bilateral yang lebih kuat dengan negara-negara tujuan untuk menjamin perlindungan hukum yang lebih efektif," imbuhnya
Selain itu, Rifandy menyarankan adanya penyederhanaan prosedur administrasi dan penurunan biaya penempatan sangat penting untuk mendorong masyarakat memilih jalur legal.
“Sebagai salah satu daerah dengan jumlah pengiriman PMI yang signifikan, Provinsi Lampung membutuhkan perhatian khusus. Pemerintah daerah harus berperan lebih aktif dalam memperkuat fungsi balai latihan kerja dan mengawasi kinerja agen penyalur PMI. Mekanisme pelaporan yang mudah, cepat, dan aman bagi PMI yang menghadapi masalah di luar negeri juga perlu disediakan," paparnya.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan para PMI tidak hanya disebut sebagai pahlawan devisa, tetapi juga benar-benar mendapatkan perlindungan yang layak dan sesuai dengan martabat mereka sebagai manusia.
"Pemerintah harus memastikan bahwa setiap PMI baik resmi maupun yang rentan terjebak jalur ilegal, memiliki akses terhadap perlindungan hukum, kesejahteraan, dan keamanan yang lebih baik di masa depan," ujar Rifandy. (*)
Artikel ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Jumat 10 Januari 2025, dengan judul "Bekerja di Luar Negeri Solusi Mengatasi Keterbatasan Ekonomi"