Berdikari.co, Bandar Lampung - Harga singkong yang
terus bergejolak di Provinsi Lampung memicu keresahan di kalangan petani.
dan pabrikan. Ketidakseimbangan dalam kemitraan antara kedua belah pihak
menjadi pemicu utama persoalan ini. Untuk mengatasi polemik tersebut,
penerapan sistem kontrak atau contract farming dinilai sebagai
solusi yang menjanjikan.
Pendapat ini disampaikan oleh Ahmad Suryanto, Widyaiswara Balai Pelatihan
Pertanian Lampung. Ahmad menegaskan pentingnya hubungan kemitraan yang setara
antara petani dan pabrikan untuk memastikan stabilitas harga singkong.
"Selama ini petani dan pengusaha berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada
titik temu yang jelas. Jika ingin harga yang stabil dan menguntungkan kedua
belah pihak harus ada kemitraan yang setara," kata Ahmad, Senin
(13/1/2025).
Ahmad mengungkapkan, satu penyebab rendahnya harga singkong adalah mutu
hasil panen yang belum sesuai dengan standar pabrikan. Banyak petani yang
memanen singkong muda, sekitar usia 5 bulan, yang memiliki kadar pati rendah.
Hal ini membuat pabrikan tidak bersedia membeli dengan harga tinggi.
"Petani biasa panen muda, 5 bulan sudah panen, patinya rendah.
Bagaimana pabrik bisa beli mahal, " kata Ahmad.
Namun, ia juga menyoroti adanya oknum yang membeli singkong berkualitas
baik yang harganya sama dengan singkong berkualitas rendah. Sehingga merugikan
petani yang telah berusaha menghasilkan singkong berkualitas.
Solusi untuk mengatasi polemik harga singkong yang terus terjadi, Ahmad
mengusulkan penerapan skema contract farming atau sistem kontrak antara petani
dan pabrikan yang dapat mengatur standar kualitas dan harga secara adil.
"Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah contract farming.
Melalui sistem ini, pengusaha melakukan kontrak langsung dengan kelompok tani
melalui kesepakatan standar mutu singkong tertentu dan harga yang layak. Dengan
demikian, ada kepastian bagi kedua belah pihak," ungkapnya.
Ahmad pun menguraikan beberapa langkah yang perlu diambil untuk menerapkan
contract farming secara efektif. Pertama, pemerintah perlu membentuk satuan
tugas (Satgas) khusus untuk menyelesaikan konflik harga singkong dengan
pendekatan yang adil.
Kedua, penerapan skema fair antara petani dan pengusaha bisa yang
menjembatani kepentingan kedua belah pihak, dimana pabrikan mendapat singkong
berkualitas tinggi dan petani mendapat harga sesuai dengan usaha dan kualitas
produksi mereka.
Ketiga, kontrak langsung dimana pengusaha dapat menjalin kontrak pembelian
langsung dengan kelompok tani yang telah disepakati dengan standar mutu dan
harga yang jelas.
"Pemerintah harus berperan aktif dalam memfasilitasi dan mengawasi
pelaksanaan contract farming agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran
yang merugikan salah satu pihak," ujarnya.
Ahmad berharap, dengan adanya sistem contract farming, konflik antara
petani dan pengusaha dapat diminimalisir, sehingga harga singkong di Lampung
dapat stabil dan menguntungkan semua pihak yang terlibat. (*)