Berdikari.co, Bandar Lampung - Kasus mafia tanah di Provinsi Lampung menempati peringkat 4 Nasional pada tahun 2023 lalu. Ini membuktikan jika sengketa tanah harus mendapatkan perhatian khusus dari BPN maupun aparat penegak hukum.
Para mafia tanah ini biasanya mengincar lahan-lahan yang sudah lama tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya, baik itu milik perorangan, instansi pemerintah maupun perusahaan. Namun, ada juga mafia tanah yang mencaplok lahan milik perorangan yang sudah ditempati dengan menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) baru.
Saat Menteri ATR/Kepala BPN dijabat Hadi Tjahjanto sempat mengungkapkan bahwa Provinsi Lampung menduduki peringkat 4 atas kasus mafia tanah.
"Satu itu adalah Riau, kedua Jatim (Jawa Timur), tiga Medan, empat Lampung," kata Hadi Tjahjanto saat itu, Rabu (12/7/2023) lalu.
Hadi pun mengungkapkan, modus mafia tanah terutama bekerja sama dengan oknum aparat lembaga pemerintah, termasuk oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Sekarang modusnya itu, mafianya ada, ada oknumnya. Itu yang kita identifikasi dari anggota BPN sendiri. Kemudian oknum dari camat, kepala desa, kemudian PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Terorganisir. Ini semua sudah kita identifikasi," kata Hadi.
Sebelumnya, Polda Lampung juga pernah menetapkan 5 orang sebagai tersangka kasus mafia tanah di Desa Malang Sari, kecamatan Tanjung Sari, Lampung selatan (Lamsel), pada Jumat (30/9/2022).
Direktur Reserse kriminal umum Polda Lampung saat itu, Reynold Elisa P Hutagalung mengatakan, dari 5 orang yang ditetapkan diantaranya terdapat pensiunan purnawirawan atau Polri dan pejabat BPN.
Para tersangka tersebut ialah SJO (80) pensiunan purnawirawan Polri, FBM (44) juru ukur dari BPN, SHN (58) Camat Sekampung Udik, Lampung Timur, RA (49) notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan SYT (68) Kepala Desa Gunung Agung, Sekampung Udik, Lampung Timur.
Reynold juga menyampaikan, kasus tersebut bermula pada Juni 2020 dimana SJO berperan berpura-pura menjadi pemilik tanah dan akan menjualnya lagi kepada AN.
"RA selaku PPAT daerah kerja Lampung Selatan dengan menggunakan surat yang diduga palsu yang dibuat oleh tersangka SYT selaku Kades di Desa Gunung Agung, Lampung Timur. Sehingga, dapat diterbitkannya sertifikat hak milik oleh AN," kata Reynold.
Reynold juga memaparkan, tersangka SYT yang merupakan kepala desa Sekampung Udik, berperan atas perbuatannya pada bulan Juni 2020 yang telah mengeluarkan surat palsu di Desa Malangsari, Kecamatan Tanjung Sari, Lampung Selatan yang diterbitkan sejak tahun 2013.
Sedangkan SHN Camat Sekampung Udik, turut mengeluarkan dan menandatangani serta mencap stempel Sekampung Udik.
"Surat yang dibuat oleh SYT adalah surat palsu yang dijual oleh SDO adalah benar dan seolah-olah telah ada sejak tahun 2013," jelasnya.
Sementara itu, RA selaku PPAT daerah kerja Lampung Selatan yang telah mengeluarkan akta jual beli (AJB) kepada tersangka SDO, sehingga bisa diterbitkan.
Dalam kasus itu, penyidik juga menyita 6 sertifikat hak milik berikut harta dan turunannya. Kelima tersangka tersebut kini dijerat dengan Pasal 263, pasal 266, dan pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dengan ancaman maksimal 7 tahun penjara.
Selain itu, oknum Jaksa berinisial AM turut ditetapkan sebagai tersangka pada kasus mafia tanah di Desa Malangsari, Kecamatan Tanjungsari, Lampung Selatan, yang menyerobot 10 hektare lahan warga.
Oknum jaksa tersebut diketahui berdinas di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Selatan (Sumsel) dengan jabatan Kasi E di bagian Intel.
Kasus mafia tanah terbaru terjadi di atas lahan PTPN 7. Usai dilakukan eksekusi lahan PTPN 7 di Desa Sidosari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan, pihak kepolisian mengusut adanya dugaan mafia tanah yang bermain di lahan PTPN 7.
Kapolres Lampung Selatan, AKBP Yusriandi Yusrin, mengatakan setidaknya ada seratusan warga diduga membeli sporadik di atas lahan PTPN 7 kepada oknum, lalu mereka berani membangun rumah permanen diatas lahan tersebut.
Ditengarai warga tersebut membeli sporadik dari oknum lalu beramai-ramai membangun rumah di atas lahan PTPN 7 seluas 75 hektar. Kepolisian sedang melakukan upaya untuk mengungkap kasus tersebut.
"Ini sudah ada laporan kepolisian yang sedang kami tangani. Terkait ini proses masih berjalan sudah naik ke penyidikan. Akan kami percepat proses penyidikan untuk bisa proses penetapan kemungkinan ada tersangka dalam kasus ini," tegas Kapolres, Selasa (14/1/2025).
Yusriandi menerangkan, warga yang menempati lahan PTPN 7 seluas 75 hektar berasal dari berbagai daerah di Provinsi Lampung. Diantaranya, Lampung Timur, Lampung Utara dan Lampung Selatan.
Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung bersama dengan petani di Lampung Timur (Lamtim), melayangkan surat kepada ke Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto buntut atas adanya dugaan mafia tanah di Lamtim.
"Hari ini LBH Bandar Lampung bersama 390 KK Petani Sripendowo dan 7 desa lainnya mengirimkan surat pengaduan ke Menteri ATR BPN untuk mengusut tuntas dugaan adanya mafia tanah di Lamtim," ujar Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi, Jumat (1/12/2023).
"Pengaduan tersebut sebagai upaya masyarakat penggarap untuk pencarian keadilan atas lahan yang telah mereka garap sejak puluhan tahun lalu," lanjutnya.
Menurutnya, para petani yang menggarap lahan seluas 401 hektar di Desa Wana, Kecamatan Melinting, Lamtim, terdiri dari 8 desa.
Lahan yang telah mereka garap tersebut kemudian pada tahun 2021 terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama orang lain tanpa sepengetahuan para penggarap.
"Padahal masyarakat telah menggarap lahan tersebut sejak 1968. Artinya ini sudah turun temurun sampai dengan saat ini," jelasnya.
Selanjutnya, masyarakat penggarap lahan tersebut tidak pernah mengalihkan lahan tersebut kepada orang lain baik sewa menyewa maupun melakukan jual beli.
"Masyarakat penggarap lahan juga tidak pernah melihat atau bahkan tahu adanya pengukuran yang dilakukan oleh BPN Lampung Timur. Masyarakat penggarap mengetahui lahan tersebut telah terbit sertifikat pada tahun 2021 ketika ada seseorang yang tidak dikenal datang membawa bukti SHM dan meminta penggarap untuk membayar SHM tersbut," ungkap Sumaindra.
Lahan yang mereka garap masuk kedalam kawasan hutan register 38 Gunung Balak. Sehingga, masyarakat tidak berupaya atau tidak pernah melakukan pengurusan secara administratif pertanahan dengan melakukan pendaftaran lahan ke Kantor BPN Lampung Timur.
"Jadi lebih dari 390 KK menjadi korban dugaan mafia tanah tersebut," ucap dia. (*)
Artikel ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Rabu 22 Januari 2025, dengan judul "Lampung Peringkat 4 Kasus Mafia Tanah"