Berdikari.co, Bandar Lampung - Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung, Rifandi Ritonga, menyebut bahwa mafia tanah memanfaatkan berbagai celah, seperti pemalsuan dokumen hingga kerja sama dengan oknum tidak bertanggung jawab dalam menjalankan aksinya.
“Dalam kasus tanah Kemenag Lampung, keabsahan dokumen kepemilikan tanah yang dimiliki Kemenag dan pihak yang bersengketa harus menjadi perhatian utama,” kata Rifandi, Selasa (21/1/2025).
“Jika ditemukan dokumen palsu atau tindakan melawan hukum, pelaku bisa dijerat pidana sesuai Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat atau Pasal 385 KUHP terkait penyerobotan tanah,” lanjutnya.
Ia menjelaskan, dari sisi administrasi, penyelesaian sengketa tanah harus mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kemenag dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila ditemukan kesalahan atau penyimpangan dalam penerbitan sertifikat.
"Proses penyelesaian juga dapat dilakukan melalui jalur non litigasi, seperti dimediasi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau melalui jalur litigasi dengan membawa perkara ini ke pengadilan. Selain itu, Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Tanah juga memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti kasus-kasus serupa," katanya.
Rifandi mengatakan, maraknya mafia tanah menjadi peringatan akan urgensi reformasi administrasi pertanahan di Indonesia.
“Digitalisasi data dan peningkatan transparansi dalam proses pendaftaran tanah sangat diperlukan untuk mencegah pengulangan kasus serupa,” ucapnya.
Rifandy membeberkan ada beberapa modus operandi yang biasa digunakan mafia tanah dalam melancarkan aksinya.
Menurutnya, modus operandi dalam kasus mafia tanah semuanya adalah konsep permufakatan jahat seperti menggunakan girik palsu, pemalsuan surat-surat, melakukan okupasi tanah (penguasaan tanah), merubah tanda batas, hingga permohonan sertifikat pengganti karena hilang namun aslinya tidak hilang.
Lalu, memanfaatkan lembaga peradilan (mengajukan gugatan) dengan surat palsu misalnya yang putusannya dipakai ke BPN, perseteruan dua belah pihak terhadap objek tanah di pengadilan padahal keduanya bukan pemilik tanah, pengajuan gugatan ke pengadilan terus menerus baik perdata, pidana, TUN, dan bahkan peradilan agama sampai putusannya bisa digunakan atau berbeda.
"Menelisik dari beberapa kasus mafia tanah ini, kita perlu melihat modus operandinya. Dengan harapan jika kita sudah tahu, jangan sampai terjadi pada kita atau keluarga kita yang memiliki aset tanah, dan dimungkinkan modus-modus ini juga akan berkembang cara-caranya," ucapnya.
Ia memberikan sedikit tips atau saran bagi masyarakat agar bisa mencegah dan tidak menjadi korban mafia tanah, seperti pemegang sertifikat harus berhati-hati ketika mempercayakan transaksi kepada orang lain (jangan dikuasakan lebih baik).
"Lalu, jangan enggan untuk berkonsultasi ke lembaga terkait yaitu ATR/BPN setempat namun juga harus berhati-hati, karena dari kasus yang ada berkaitan dengan mafia tanah ini biasanya juga ada oknum-oknum nakal di dalam lembaga pertanahan. Juga dimungkinkan ada oknum aparatur serta PPAT. Yang pasti kita harus jeli dan berhati-hati," jelasnya.
Menurutnya, Pemerintah Provinsi Lampung harus segera berbenah dan melakukan perbaikan terkait catatan buruk tersebut.
"Ini menjadi pemacu bagi Provinsi Lampung untuk melakukan perbaikan. Bagi saya ini catatan untuk banyak perbaikan, bukan hanya ATR/BPN Lampung saja, tapi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota," ujarnya. (*)
Artikel ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Rabu 22 Januari 2025, dengan judul "Pengamat: Perlunya Digitalisasi Data dan Transparansi Proses Pendaftaran Tanah"