Berdikari.co, Bandar
Lampung - Polemik harga singkong di Lampung kembali mencuat. Petani mengeluhkan
anjloknya harga jual, sementara harga tepung tapioka justru stabil atau
cenderung naik.
Pengamat Ekonomi
sekaligus Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung
(Unila), Usep Syaifudin, menilai bahwa struktur pasar industri singkong di
Indonesia masuk dalam kategori oligopsoni, di mana hanya beberapa pabrik besar
yang mengendalikan harga.
"Pasar oligopsoni
ditandai dengan dominasi beberapa pembeli utama, sementara petani harus
bersaing menjual produk mereka. Akibatnya, harga lebih banyak ditentukan oleh
pabrik, bukan mekanisme pasar yang adil," kata Usep, Rabu (29/1/25).
Salah satu faktor utama
yang membuat petani semakin terhimpit adalah produktivitas singkong yang
rendah. Rata-rata hasil panen petani Lampung hanya 25-30 ton per hektar, jauh di
bawah Thailand yang mampu mencapai 50 ton lebih per hektar.
Dengan biaya produksi
yang tinggi, ketika harga singkong turun, petani tidak bisa menutupi
modalnya.
"Harga singkong di
Thailand rendah bukan karena petani dirugikan, tapi karena mereka lebih
produktif. Sementara di Indonesia, dengan harga yang sama, petani kita justru
rugi," jelas Usep.
Saat ini, pemerintah
telah menetapkan harga dasar singkong di Lampung sebesar Rp1.400 per kilogram.
Namun, kebijakan ini sulit dijalankan jika pabrik memilih untuk tidak membeli
dari petani dengan alasan biaya produksi yang meningkat.
"Kalau pabrik tidak
mau membeli, petani tetap dirugikan. Mereka terpaksa menjual dengan harga lebih
rendah daripada membiarkan singkong membusuk," ujar Usep.
Ia juga menyoroti
kejanggalan dalam rantai distribusi. Harga tepung tapioka yang dihasilkan dari
singkong terus mengalami kenaikan, sedangkan harga bahan bakunya justru turun.
"Ini ada sesuatu
yang harus diperiksa. Jika harga tepung tapioka tidak pernah turun, kenapa
harga singkong selalu ditekan?" tegasnya.
Menurut Usep, ada
beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengatasi permasalahan ini, antara
lain peningkatan produktivitas petani.
Pemerintah bisa
bekerjasama dengan perguruan tinggi dengan harus fokus pada pembinaan petani,
pemilihan bibit unggul, dan teknik pemupukan yang lebih efektif.
Kemudian kebijakan impor
bahan baku singkong perlu dikaji ulang agar tidak merugikan petani lokal. Dan
pemerintah harus lebih aktif dalam mengawasi mekanisme harga di industri
singkong dan tapioka.
"Pabrik juga
produksinya di Lampung, seharusnya win win solution tidak hanya memikirkan
untuk untung sendiri karena ini menyantkut hajat hidup orang banyak, "
jelasnya.
Kemudian pemerintah harus
duduk bersama dengan pelaku industri untuk mencari solusi yang adil bagi semua
pihak.
"Jika pemerintah
serius, masalah ini tidak sulit diselesaikan. Yang penting ada kesepakatan
bersama agar petani tidak terus dirugikan," tutup Usep. (*)