Berdikari.co, Bandar Lampung - Pengamat Kebijakan Publik Universitas
Lampung, Dedy Hermawan, menyarankan kepada Pemprov Lampung untuk mendata dan
menata seluruh aset yang dimilikinya secara menyeluruh.
Menurut Dedy, langkah ini penting untuk menghindari agar aset tidak
terbengkalai dan tidak termanfaatkan secara optimal.
"Sebaiknya Pemerintah Provinsi Lampung mulai mendata, menata dan
memanfaatkan semua asetnya agar tidak terbengkalai," kata Dedy, Rabu
(12/2/2025).
Dedy mengungkapkan, pendataan yang baik juga akan membantu pemerintah
daerah dalam membuat perencanaan pengelolaan aset yang lebih efektif di masa
mendatang.
Dedy juga meminta penertiban aset lahan milik Pemerintah Provinsi (Pemprov)
Lampung di Desa Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung
Selatan, dan Kelurahan Sukarame Baru, Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung, menggunakan
pendekatan yang humanis.
Ia mengatakan, langkah penertiban harus diiringi dengan dialog dan solusi
bersama, agar tidak menimbulkan konflik yang merugikan berbagai pihak.
“Sebaiknya langkah-langkah penertiban aset ini dilakukan dengan pendekatan
yang humanis, hindari cara-cara anarkis yang justru akan menimbulkan persoalan
baru. Tindakan tegas memang perlu, tetapi harus dilakukan secara manusiawi,
mengingat mereka adalah warga negara juga,” ungkap Dedy.
Ia berharap, pemerintah daerah sebaiknya memaksimalkan dialog dengan warga
terdampak untuk mencari solusi yang bisa diterima bersama. Apalagi, rumah
merupakan kebutuhan pokok bagi setiap orang.
“Apalagi ini menjelang bulan Ramadan dan Idul Fitri, pemerintah daerah juga
diingatkan untuk memastikan bahwa warga tetap mendapatkan perlindungan serta
pelayanan agar memiliki tempat tinggal yang layak,” kata Dedy.
“Sangat penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan situasi sosial
masyarakat. Penertiban yang dilakukan mendekati momen penting seperti Ramadan
harus disikapi dengan bijak, agar tidak menimbulkan beban baru bagi warga,”
lanjutnya.
Pengamat Ekonomi dari Central Urban and Regional Studies (CURS) Lampung,
Erwin Oktavianto, mengatakan bahwa persoalan lahan di Sabah Balau dan Sukarame
Baru tidak bisa dilihat dari sudut pandang penertiban semata.
Menurutnya, pemerintah daerah perlu lebih bijak dalam mengambil keputusan
agar tidak menimbulkan dampak sosial yang merugikan warga.
"Optimalisasi aset pemerintah memang penting, tetapi jangan lupa
mempertimbangkan pondasi sosial ekonomi warga. Kebijakan harus dibuat dengan
adil, terutama bagi warga yang telah lama tinggal di lahan tersebut. Dialog dan
mediasi harus dikedepankan sebelum mengambil langkah tegas," ujar
Erwin.
Erwin juga menyoroti adanya kelalaian pemerintah dalam pengawasan aset yang
menyebabkan munculnya surat-surat kepemilikan ganda terlepas itu legal atau
tidak.
Ia menyebut, instansi terkait seringkali kurang optimal dalam melakukan
inventarisasi dan pengamanan dokumen aset milik daerah.
"Masalah seperti ini menunjukkan adanya kelemahan dalam tata kelola
aset pemerintah. Pengawasan yang tidak maksimal membuat lahan tersebut bisa
ditempati warga hingga puluhan tahun," jelasnya.
Sementara Pengamat Ekonomi Universitas Lampung, Asrian Hendi Cahya,
menegaskan konflik aset lahan Sabah Balau dan Sukarame Baru telah terjadi sejak
tiga periode gubernur sebelumnya.
Menurutnya, ada kesan pembiaran dari pemerintah yang membuat masalah ini semakin
rumit dan kompleks.
"Pemerintah harusnya sejak awal mengamankan aset dengan baik.
Inventarisasi harus dilakukan secara berkala dan didukung dengan dokumen resmi
yang kuat. Namun yang terjadi, aset-aset tersebut dibiarkan begitu saja tanpa
pengawasan ketat," kata Asrian.
Asrian juga menyoroti perilaku sebagian masyarakat yang dinilai tidak taat
hukum. "Ada masyarakat yang memanfaatkan situasi untuk mendapatkan
lahan dengan harga murah, meskipun legalitas kepemilikannya belum jelas. Ini
menciptakan potensi sengketa yang terus berulang," tegasnya.
Asrian mengungkapkan, pemerintah daerah sebenarnya telah menawarkan ganti
rugi atau mekanisme jual beli sebagai solusi. Namun, banyak warga menolak
karena merasa telah lama menghuni lahan tersebut, sehingga mereka menganggap
lahan itu sudah menjadi hak mereka.
Menurutnya, pemerintah harus bersikap tegas, tetapi juga memberikan
kesempatan kepada warga untuk bernegosiasi.
“Relokasi yang layak bisa menjadi solusi, dan pemerintah bisa menjembatani
masyarakat dengan lembaga keuangan agar mereka bisa memenuhi
kewajibannya," ujarnya.
Menurutnya, langkah persuasif sangat penting agar warga tidak merasa
terpinggirkan. Banyak warga yang sebenarnya ingin menyelesaikan masalah ini,
tetapi mereka membutuhkan waktu dan bantuan, terutama akses ke fasilitas
pendanaan.
"Tetap diberikan kepada masyarakat kesempatan memprosesnya dengan tawaran yang ‘ramah’ sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masyarakat. di samping memberikan akses kepada lembaga keuangan untuk menjembataninya, " pungkasnya. (*)