Berdikari.co, Tanggamus – Hasil tangkapan
yang terus menurun dalam sebulan terakhir membuat nelayan tradisional di Pekon (Desa)
Tanjung Agung, Kecamatan Kotaagung Barat, Kabupaten Tanggamus semakin resah.
Mereka merasa ruang tangkapnya semakin sempit akibat kapal motor purse seine
(pukat cincin) yang beroperasi terlalu dekat dengan pantai.
Kekhawatiran ini akhirnya berujung pada
mediasi yang digelar di Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanggamus
pada Kamis (20/2/2025).
Mediasi ini dihadiri oleh Kapolsek Kota Agung
Iptu Rudi Khisbiantoro, Satpolairud Polres Tanggamus, Kepala Dinas Perikanan
Tanggamus Darma Setiawan, Kepala Unit Pelaksana Teknis (KUPT) Pelabuhan Kota
Agung, perwakilan Pos TNI AL Kota Agung, serta Kepala Pekon Tanjung Agung.
Pertemuan ini bertujuan mencari solusi agar
nelayan tradisional dan kapal motor purse seine bisa bekerja berdampingan tanpa
saling merugikan.
Sejak beberapa bulan terakhir, nelayan
tradisional di Pekon Tanjung Agung mengeluhkan aktivitas kapal motor purse
seine yang menangkap ikan terlalu dekat dengan pesisir. Hal ini berdampak
langsung pada hasil tangkapan nelayan kecil yang semakin menurun.
"Kami nelayan kecil ini menangkap ikan
dengan cara tradisional, sedangkan kapal purse seine menggunakan alat yang
lebih besar. Jika mereka beroperasi terlalu dekat, ikan-ikan habis sebelum
sampai ke jaring kami," ujar Hendri, salah satu nelayan tradisional.
Menurutnya, kondisi ini membuat banyak
nelayan tradisional kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, beberapa
di antara mereka mulai beralih profesi karena tidak mampu lagi mengandalkan
hasil laut.
Setelah melalui diskusi panjang, akhirnya
disepakati aturan zonasi penangkapan ikan yang tertuang dalam berita acara
Nomor: 523/38/II/2025. Dalam kesepakatan tersebut, ditetapkan bahwa:
Kapal motor purse seine (pukat cincin) hanya
diperbolehkan menangkap ikan di luar radius 500 meter dari bibir pantai Pekon
Tanjung Agung.
Nelayan tradisional yang menggunakan jaring
tarik pantai (pokek) dapat menangkap ikan di wilayah di bawah 500 meter dari
bibir pantai.
Pemilik kapal bertanggung jawab untuk
memastikan para nahkoda dan awak kapal mematuhi aturan ini. Kesepakatan ini
dibuat atas kesadaran bersama tanpa paksaan dari pihak mana pun.
Kapolsek Kota Agung, Iptu Rudi Khisbiantoro, menegaskan
bahwa kesepakatan ini harus menjadi solusi jangka panjang agar tidak ada lagi
konflik antar-nelayan.
"Dengan adanya pembagian zonasi ini,
kita ingin semua pihak merasa adil dan aktivitas perikanan bisa berjalan dengan
lebih tertib. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan," ujarnya, Jumat
(21/2/2025).
Kepala Dinas Perikanan Tanggamus, Darma
Setiawan, menegaskan bahwa aturan zonasi ini bukan hanya untuk menghindari
konflik, tetapi juga demi keberlanjutan ekosistem laut.
"Laut bukan hanya tempat mencari nafkah,
tetapi juga harus kita jaga bersama. Dengan adanya aturan ini, diharapkan
populasi ikan tetap terjaga dan semua nelayan bisa mendapatkan hasil yang
adil," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia (HNSI) Tanggamus, Aco Daeng Masiga, berjanji akan terus mengawal
implementasi kesepakatan ini agar tidak ada pelanggaran di lapangan.
"Kami akan tetap berada di tengah
sebagai jembatan komunikasi. Semua pihak harus saling menghormati agar nelayan
di Tanggamus tetap harmonis," ungkapnya.
Dengan adanya kesepakatan ini, diharapkan
nelayan tradisional kembali bisa melaut dengan tenang dan tidak lagi merasa
tersaingi oleh kapal motor purse seine (pukat cincin). Selain itu, aturan
zonasi ini diharapkan mampu menciptakan keseimbangan dalam pemanfaatan sumber
daya laut di perairan Tanggamus. (*)