Berdikari.co, Bandar Lampung - Pengamat Pendidikan Universitas Lampung, M Thoha B Sampurna Jaya, mengungkapkan faktor utama penyebab tingginya angka putus sekolah di Provinsi Lampung adalah kondisi ekonomi masyarakat yang semakin terpuruk.
"Sebagian besar orang tua menghentikan pendidikan anak-anaknya karena kondisi ekonomi yang sulit. Banyak yang terkena PHK, usaha kecil mereka pun semakin sepi pembeli," kata Thoha, Rabu (19/3/2025).
Ia mengatakan, kondisi perekonomian yang melemah dapat terlihat dari suasana pasar yang lesu. Hal ini berimbas pada sejumlah keluarga yang memutuskan untuk menunda menyekolahkan anak-anaknya.
"Memang pemerintah pusat akan menyiapkan sekolah rakyat bagi kelompok miskin. Bisa saja anak-anak yang putus sekolah ini menunggu program tersebut terealisasi," ungkapnya.
Menurut Thoha, angka siswa putus sekolah yang tinggi dapat berkontribusi terhadap meningkatnya angka kriminalitas dan tawuran.
"Kalau mereka tidak sekolah, pasti akan ada peningkatan kriminalitas. Ini harus segera diantisipasi," tegasnya.
Ia mengungkapkan, salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah mendirikan sekolah bilingual khusus bagi anak-anak yang putus sekolah, agar mereka tetap mendapatkan akses pendidikan. "Kita harapkan program ini bisa berjalan di 15 kabupaten/kota se-Lampung," ujarnya.
Selain itu, ia juga mendorong pemerintah melalui Dinas Sosial untuk memberikan pelatihan keterampilan bagi anak-anak yang putus sekolah melalui Balai Latihan Kerja (BLK).
"Melalui BLK, mereka bisa dididik untuk menghasilkan suatu produk. Di sinilah peran pemerintah untuk membantu mengatasi kesulitan masyarakat," imbuhnya.
Selain itu, lanjut Thoha, dinas pendidikan bersama pihak-pihak terkait perlu melakukan gerakan bersama untuk mengubah pola pikir masyarakat mengenai pentingnya pendidikan.
“Perlu ada semacam gerakan dari pemerintah maupun organisasi masyarakat untuk terus mensosialisasikan dan konsolidasi dalam memberikan penyadaran mengenai pentingnya pendidikan,” kata dia.
Upaya penyadaran, terutama bagi para orang tua sangat penting. Hal itu untuk memberikan motivasi dan kepercayaan diri pada anak untuk melanjutkan pendidikan.
“Pendidikan itu salah satu faktor yang dominan dalam mengubah ekonomi keluarga. Jadi kalau mereka putus sekolah maka akan sulit bagi dia untuk memperbaiki ekonominya dikemudian hari,” ungkapnya.
Thoha menilai, adanya program wajib belajar sembilan tahun dan alokasi dana yang besar untuk pendidikan, seharusnya bisa membuka jalan bagi masyarakat untuk merasakan pendidikan yang layak.
Namun, memang selain faktor ekonomi ada juga faktor lain yang menjadi penyebab tingginya angka putus sekolah seperti pernikahan dini, terlibat kasus kriminal atau hubungan di luar nikah. Faktor-faktor itu harus selesai melalui gerakan bersama. (*)
Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Kamis 20 Maret 2025, dengan judul "Pengamat: Kondisi Ekonomi Masyarakat Semakin Terpuruk"