Berdikari.co, Bandar Lampung - Selain sedang mengusut mafia tanah di
Register 44 Way Kanan, Kejati Lampung juga sedang menelisik adanya kejanggalan
terkait pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta penerbitan Sertifikat
Hak Milik (SHM) di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
Kabupaten Lampung Barat. Padahal, kawasan tersebut merupakan hutan lindung yang
telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Kepala Kejati Lampung, Kuntadi, mengatakan pihaknya akan mendalami
persoalan tersebut karena munculnya kewajiban PBB dan adanya sertifikat di
kawasan konservasi yang dinilai tidak wajar.
“Kalau itu kawasan hutan yang dilindungi dan warisan dunia, lalu tiba-tiba
ada pembayaran PBB dan sertifikat terbit, pasti ada yang tidak beres. Persoalan
ini akan kami dalami, meski saya sebentar lagi pindah tugas ke Jawa Timur,”
kata Kuntadi, pada Rabu (16/4/2025) lalu.
Kuntadi mengatakan, pergantian pimpinan di lingkungan kejaksaan tidak akan
mempengaruhi komitmen terhadap penegakan hukum.
“Di kejaksaan, ganti orang bukan berarti ganti kebijakan. Proses hukum akan
tetap berjalan. Pengganti saya pun merupakan sosok yang berintegritas,” tegas
Kuntadi.
Menurut Kuntadi, kejaksaan sangat serius menangani dugaan aktivitas ilegal
di dalam kawasan hutan.
Sementara itu, Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Barat juga sudah
menerjunkan dua tim khusus untuk menindaklanjuti permasalahan yang terjadi di
kawasan hutan TNBBS terkait adanya dugaan penerbitan sertifikat dan PBB.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Lampung Barat, M. Zainur Rochman, melalui
Kepala Seksi Intelijen, Ferdy Andrian, mengatakan langkah tersebut dilakukan
sebagai respons atas informasi dan laporan terkait penyalahgunaan lahan kawasan
TNBBS.
Ferdy mengungkapkan, pengumpulan data dan informasi terus dilakukan secara
intensif oleh tim yang telah dibentuk, untuk mengungkap kebenaran dari laporan
serta dugaan yang disampaikan kepada pihak Kejari Lampung Barat.
“Kejari Lampung Barat telah menurunkan dua tim yang memiliki fokus berbeda,
yaitu tim pertama untuk penertiban lahan, dan tim kedua untuk menyelidiki
dugaan mafia tanah di kawasan hutan TNBBS,” kata Ferdy, Rabu (16/4/2025).
Ferdy menerangkan, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan sejumlah instansi
terkait seperti Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Besar TNBBS, serta
kantor ATR/BPN guna memastikan batas-batas kawasan hutan dan legalitas lahan.
Ia mengaku, sudah mengantongi data awal terkait jumlah sertifikat yang
sudah diterbitkan. Namun, ia tidak bersedia menyebut jumlah pastinya karena
masih dalam proses pendalaman.
“Kami sudah memiliki data awal mengenai jumlah sertifikat yang telah terbit
di kawasan hutan TNBBS. Pengumpulan dan pendalaman data terus kami lakukan
untuk menentukan apakah terdapat unsur pidana di dalam proses tersebut,”
ujarnya.
“Langkah ini merupakan bagian dari komitmen Kejari Lampung Barat dalam
menegakkan hukum serta menjaga kelestarian lingkungan, khususnya di wilayah
konservasi yang telah ditetapkan secara nasional,” lanjutnya.
Sebelumnya, Kepala Balai Besar TNBBS, Ismanto, mengatakan berdasarkan citra
landsat atau gambar satelit sedikitnya ada 21 ribu hektar hutan TNBBS yang
berada di Suoh dan Sekincau telah terdapat aktivitas warga.
"Dari citra landsat yang kami dapat itu sekitar 21 ribu hektar di
daerah Suoh dan Sekincau yang sudah dirambah. Kami pernah mendata itu untuk
gubuknya berdasarkan citra landsat ada sekitar 1.962 gubuk," kata Ismanto,
Senin (14/4/2025).
Ia juga menjelaskan jika pihaknya tetap melakukan pengawasan dengan
melibatkan TNI dan Polri. Selain itu, pihaknya juga melakukan kegiatan
pemulihan ekosistem.
"Kami melakukan penjagaan dan melibatkan teman-teman TNI dan Polri.
Selain itu kita juga melakukan kegiatan pemulihan ekosistem untuk bisa menjaga
fungsi hidrologis dari kawasan tersebut," katanya.
Sementara itu Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal mengatakan, TNBBS
dan TNWK merupakan daerah konservasi yang diakui oleh dunia, sehingga
keberadaannya harus dijaga dan dilestarikan.
"Kita harus bisa menjaga dua lokasi itu menjadi warisan dunia dan kita
tentu komitmen akan kita lestarikan. Kita juga akan melakukan tindakan hukum
tapi kita juga harus paham sisi kemanusiaan dan humanis dalam melakukan
tindakan," jelasnya.
Mirzani mengatakan, jika masyarakat yang merambah hutan TNBBS banyak yang
berasal dari luar Lampung seperti Jawa, Banten hingga Bengkulu.
"Jadi banyak, tidak hanya Lampung, ada Jawa, Semendo, Banten, Bengkulu. Mereka datang merambah, karena kalau warga Lampung yang sudah hidup lama di Lampung hidup dengan gajah dan harimau mereka saling menghormati," ungkap Mirzani. (*)