Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Kamis, 24 April 2025

Walhi: Kejati Harus Ungkap Penyalahgunaan Wewenang Mantan Bupati

Oleh ADMIN

Berita
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Irfan Tri Musri. Foto: Berdikari.co

Berdikari.co, Bandar Lampung - Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Irfan Tri Musri, menyebut penguasaan lahan register dalam skala besar oleh pejabat publik, baik melalui surat resmi atau tidak, patut dicurigai sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.

"Berbicara mengenai penguasaan lahan, baik melalui surat pemerintah atau tidak, ketika dikuasai oleh bupati secara tidak wajar dengan luas mencapai puluhan hingga ratusan hektar, ini jelas penyalahgunaan wewenang," tegas Irfan, Rabu (23/4/2025).

Ia mengatakan, jika izin yang diterbitkan berada dalam kawasan hutan, maka secara hukum administrasi, izin tersebut tidak sah. Sebab, menurut Irfan, bupati tidak memiliki kewenangan mengelola kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

"Apapun bentuk keputusannya, jika itu izin untuk kawasan hutan, tentu itu melanggar hukum. Pengelolaan hutan adalah wewenang pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," jelasnya.

Irfan juga menyinggung adanya dugaan keterlibatan oknum di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Way Kanan dalam penerbitan sertifikat penguasaan hutan. Ia mendesak Kejati Lampung turut menyelidiki hal tersebut.

"Karena hanya ada satu institusi yang berwenang menerbitkan sertifikat, yaitu BPN. Maka Kejati harus mengungkap apakah ada penyimpangan dalam proses tersebut," ujarnya.

Menurut Irfan, fenomena penguasaan hutan di Kabupaten Way Kanan harus segera diinventarisasi, termasuk kemungkinan adanya keterlibatan korporasi. Ia menegaskan, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan menyeluruh.

"Fenomena di Way Kanan ini harus diinventarisasi secara serius oleh Kejati Lampung, termasuk potensi penguasaan kawasan hutan oleh korporasi. Maka penegakan hukum menjadi sangat penting agar ada kejelasan dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam kita," tandasnya.

Sementara itu, Manajer Advokasi dan Kajian Mitra Bentala, Mashabi, menyebut hutan register merupakan bagian dari hutan negara yang status kepemilikannya didasarkan pada nomor registrasi administrasi.

Ia mengatakan, hutan register ini dulunya merupakan bekas lahan perkebunan milik kolonial Belanda yang kemudian diambil alih dan ditata ulang oleh pemerintah Indonesia.

Menurut Mashabi, secara prinsip lahan dengan status hutan register tidak boleh dikelola secara sembarangan oleh masyarakat umum.

"Hutan register adalah hutan negara. Pengelolaannya berada di bawah kewenangan pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Tidak semua orang bisa langsung diberikan izin kelola," kata Mashabi, pada Rabu (23/4/2025).

Meski demikian, ia mengatakan ada beberapa pengecualian seperti melalui program-program resmi pemerintah seperti Perhutanan Sosial. Program ini membuka kesempatan bagi masyarakat sekitar hutan untuk mendapatkan hak kelola terbatas, tetapi harus melalui proses panjang sesuai ketentuan pemerintah pusat.

Mashabi mengingatkan, bahwa pemberian izin kelola secara sepihak di kawasan register sangat berpotensi menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat.

"Ketika satu pihak diizinkan mengelola, sementara masyarakat umum tidak, tentu akan menimbulkan rasa ketidakadilan. Ini bisa memicu pertanyaan dan bahkan gesekan antar warga," ujarnya.

Selain aspek sosial, Mashabi juga menyoroti kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan. Jika pengelolaan hutan register tidak memperhatikan prinsip konservasi, maka fungsi ekologis hutan bisa terganggu.

"Jenis tanaman yang ditanam harus diperhatikan. Jangan sampai yang ditanam malah merusak struktur hutan. Harus ada tegakan pohon dan spesies yang mendukung pelestarian," ungkapnya.

Dalam praktiknya, Mashabi mengungkapkan kasus penyimpangan dalam pengelolaan hutan register bukanlah hal baru. Ia menilai, sering kali lahan register justru dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan politik atau ekonomi, seperti pejabat atau orang berpengaruh. Bahkan, tidak jarang oleh pihak luar yang bukan bagian dari masyarakat lokal.

“Sebagai contoh nyata, saat ini Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung tengah menangani kasus dugaan mafia tanah yang melibatkan pemberian izin pengelolaan lahan register secara ilegal di Kabupaten Way Kanan,” tegasnya.

"Dalam kasus ini, dugaan kuat ada praktik pemberian izin pengelolaan lahan register yang tidak sesuai prosedur, yang berujung pada monopoli lahan oleh pihak-pihak tertentu. Ini harus menjadi perhatian serius semua pihak, khususnya aparat penegak hukum," lanjut Mashabi.

Ia pun mendesak kepada pemerintah lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola hutan register, serta mengutamakan prinsip keadilan bagi masyarakat sekitar.

"Penataan pengelolaan harus jelas, adil, dan berpihak pada upaya pelestarian lingkungan, bukan justru menjadi ladang kekuasaan segelintir orang," pungkasnya. (*)

Editor Sigit Pamungkas