Berdikari.co, Bandar Lampung - Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) Lampung, Irfan Tri Musri, menyebut penguasaan lahan register dalam
skala besar oleh pejabat publik, baik melalui surat resmi atau tidak, patut
dicurigai sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.
"Berbicara mengenai penguasaan lahan, baik melalui surat pemerintah
atau tidak, ketika dikuasai oleh bupati secara tidak wajar dengan luas mencapai
puluhan hingga ratusan hektar, ini jelas penyalahgunaan wewenang," tegas
Irfan, Rabu (23/4/2025).
Ia mengatakan, jika izin yang diterbitkan berada dalam kawasan hutan, maka
secara hukum administrasi, izin tersebut tidak sah. Sebab, menurut Irfan,
bupati tidak memiliki kewenangan mengelola kawasan hutan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"Apapun bentuk keputusannya, jika itu izin untuk kawasan hutan, tentu
itu melanggar hukum. Pengelolaan hutan adalah wewenang pemerintah pusat melalui
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," jelasnya.
Irfan juga menyinggung adanya dugaan keterlibatan oknum di Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Way Kanan dalam penerbitan sertifikat penguasaan hutan. Ia
mendesak Kejati Lampung turut menyelidiki hal tersebut.
"Karena hanya ada satu institusi yang berwenang menerbitkan
sertifikat, yaitu BPN. Maka Kejati harus mengungkap apakah ada penyimpangan
dalam proses tersebut," ujarnya.
Menurut Irfan, fenomena penguasaan hutan di Kabupaten Way Kanan harus
segera diinventarisasi, termasuk kemungkinan adanya keterlibatan korporasi. Ia
menegaskan, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan menyeluruh.
"Fenomena di Way Kanan ini harus diinventarisasi secara serius oleh
Kejati Lampung, termasuk potensi penguasaan kawasan hutan oleh korporasi. Maka
penegakan hukum menjadi sangat penting agar ada kejelasan dan keadilan dalam
pengelolaan sumber daya alam kita," tandasnya.
Sementara itu, Manajer Advokasi dan Kajian Mitra Bentala, Mashabi, menyebut
hutan register merupakan bagian dari hutan negara yang status kepemilikannya
didasarkan pada nomor registrasi administrasi.
Ia mengatakan, hutan register ini dulunya merupakan bekas lahan perkebunan milik
kolonial Belanda yang kemudian diambil alih dan ditata ulang oleh pemerintah
Indonesia.
Menurut Mashabi, secara prinsip lahan dengan status hutan register tidak
boleh dikelola secara sembarangan oleh masyarakat umum.
"Hutan register adalah hutan negara. Pengelolaannya berada di bawah
kewenangan pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Tidak semua orang bisa
langsung diberikan izin kelola," kata Mashabi, pada Rabu (23/4/2025).
Meski demikian, ia mengatakan ada beberapa pengecualian seperti melalui program-program
resmi pemerintah seperti Perhutanan Sosial. Program ini membuka kesempatan bagi
masyarakat sekitar hutan untuk mendapatkan hak kelola terbatas, tetapi harus
melalui proses panjang sesuai ketentuan pemerintah pusat.
Mashabi mengingatkan, bahwa pemberian izin kelola secara sepihak di kawasan
register sangat berpotensi menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat.
"Ketika satu pihak diizinkan mengelola, sementara masyarakat umum
tidak, tentu akan menimbulkan rasa ketidakadilan. Ini bisa memicu pertanyaan
dan bahkan gesekan antar warga," ujarnya.
Selain aspek sosial, Mashabi juga menyoroti kekhawatiran terhadap kerusakan
lingkungan. Jika pengelolaan hutan register tidak memperhatikan prinsip
konservasi, maka fungsi ekologis hutan bisa terganggu.
"Jenis tanaman yang ditanam harus diperhatikan. Jangan sampai yang
ditanam malah merusak struktur hutan. Harus ada tegakan pohon dan spesies yang
mendukung pelestarian," ungkapnya.
Dalam praktiknya, Mashabi mengungkapkan kasus penyimpangan dalam pengelolaan
hutan register bukanlah hal baru. Ia menilai, sering kali lahan register justru
dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan politik atau ekonomi, seperti
pejabat atau orang berpengaruh. Bahkan, tidak jarang oleh pihak luar yang bukan
bagian dari masyarakat lokal.
“Sebagai contoh nyata, saat ini Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung tengah
menangani kasus dugaan mafia tanah yang melibatkan pemberian izin pengelolaan
lahan register secara ilegal di Kabupaten Way Kanan,” tegasnya.
"Dalam kasus ini, dugaan kuat ada praktik pemberian izin pengelolaan
lahan register yang tidak sesuai prosedur, yang berujung pada monopoli lahan
oleh pihak-pihak tertentu. Ini harus menjadi perhatian serius semua pihak,
khususnya aparat penegak hukum," lanjut Mashabi.
Ia pun mendesak kepada pemerintah lebih transparan dan akuntabel dalam
mengelola hutan register, serta mengutamakan prinsip keadilan bagi masyarakat
sekitar.
"Penataan pengelolaan harus jelas, adil, dan berpihak pada upaya pelestarian lingkungan, bukan justru menjadi ladang kekuasaan segelintir orang," pungkasnya. (*)