Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Jumat, 09 Mei 2025

DPRD: Distribusi Obat Harus Tepat Sasaran

Oleh ADMIN

Berita
Anggota Komisi V DPRD Provinsi Lampung, Andika Wibawa. Foto: Berdikari.co

Berdikari.co, Bandar Lampung - DPRD Provinsi Lampung meminta pengadaan obat yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Lampung jangan sembarangan.

Anggota Komisi V DPRD Provinsi Lampung, Andika Wibawa, mengatakan sudah ada sejumlah aturan yang ketat mengatur proses ini mulai dari keharusan perusahaan penyedia memiliki izin resmi dan terdaftar dalam e-Katalog LKPP.

"Itu sudah ada aturan yang mengaturnya, jadi tidak bisa sembarangan. Perusahaannya juga harus ada izin ada e-katalog," kata Andika, pada Kamis (8/5/2025).

Ia mengingatkan, distribusi obat harus dipastikan tepat sasaran, apakah akan didistribusikan kepada kabupaten/kota atau puskesmas.

"Obat yang dibeli harus jelas diperuntukkan untuk siapa, apakah untuk kabupaten/kota, puskesmas, atau langsung ke Dinas Kesehatan. Jangan sampai salah sasaran," ungkapnya.

Selain itu, ia meminta Dinas Kesehatan harus jeli dalam memilih obat, mengingat banyak faktor yang harus diperhatikan seperti kualitas, kandungan zat aktif (miligram), dan masa kadaluarsa.

"Dinkes juga harus jeli dalam memilih obatnya, karena banyak faktor yang bisa mempengaruhi kualitasnya. Pengadaan obat harus dapat benar-benar bermanfaat untuk masyarakat," ujarnya.

Ia mengungkapkan, obat yang masa kadaluarsanya masih lama biasanya memiliki harga lebih tinggi. Hal ini sebanding dengan manfaat dan keamanan penggunaannya bagi masyarakat.

Ia menegaskan, pentingnya ketelitian dalam proses pengadaan agar obat yang dibeli benar-benar bermanfaat dan aman untuk masyarakat.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti pengadaan barang dan jasa (PBJ) sebagai salah satu sektor paling rentan terhadap praktik korupsi berdasarkan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Tahun 2024.

Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, menyebut bahwa sektor PBJ mendominasi praktik suap dan gratifikasi di kementerian/lembaga serta pemerintah daerah (K/L/PD).

“Risiko penyalahgunaan dalam pengelolaan PBJ mencapai 97% di kementerian/lembaga dan 99% di pemerintah daerah. Temuan ini berdasarkan jawaban dari 53% responden internal yang mengakui adanya penyalahgunaan di sektor ini,” ungkap Pahala, pada Rabu (22/1/2025).

Pahala juga memaparkan berbagai temuan SPI dalam pengelolaan PBJ, di antaranya 49% pemilihan pemenang vendor yang sudah diatur semakin banyak; 56% kualitas barang tidak sesuai dengan harga PBJ; dan 38% hasil pengadaan tidak memberikan manfaat.

Kemuidian, 71% tindakan nepotisme meningkat semakin drastis dan ditemui 46% gratifikasi dari pemberian vendor ke penyelenggara negara dalam proses PBJ.

“Walaupun KPK telah mendorong digitalisasi PBJ di K/L/PD, praktik korupsi dalam pengelolaan PBJ masih meluas dan semakin rentan di berbagai area. Oleh karena itu, perbaikan menyeluruh pada sektor ini perlu dilakukan untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas,” tegas Pahala.

Hasil SPI 2024 juga mengungkapkan adanya praktik hubungan kekerabatan dan kolusi dalam proses pengadaan barang dan jasa.

Sebanyak 9% responden di seluruh KLPD mengungkapkan bahwa pemenang pengadaan seringkali memiliki hubungan dekat dengan penyelenggara negara. Praktik ini, menurut Pahala, merusak prinsip keadilan, efisiensi, dan profesionalisme.

“Korupsi di sektor PBJ secara langsung mendegradasi kualitas pelaksanaan keuangan negara. Pemerintah, sebagai pengguna anggaran, harus memastikan pengelolaan anggaran dilakukan secara optimal untuk mendukung pembangunan nasional. Digitalisasi sistem pengadaan PBJ yang sudah berjalan diharapkan dapat mewujudkan reformasi birokrasi dan memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat,” kata Pahala.

Menurut Pahala, area PBJ harus menjadi fokus utama perbaikan, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap integritas keuangan negara dan efektivitas pembangunan nasional. (*)

Editor Sigit Pamungkas