Berdikari.co, Lampung Timur – Air bersih merupakan kebutuhan dasar yang vital bagi semua makhluk hidup. Tanpanya, manusia, hewan, dan tumbuhan tidak dapat bertahan hidup dengan baik. Air diperlukan untuk minum, memasak, mandi, hingga menjaga kebersihan. Ketersediaan air bersih juga menunjang sektor pertanian, industri, dan kehidupan sosial masyarakat.
Namun, bagi warga Desa Itik Rendai, Kecamatan Melinting, Kabupaten Lampung Timur, mendapatkan air bersih bukan perkara mudah. Dari total 874 kepala keluarga (KK) di desa tersebut, hanya satu KK yang mampu memiliki sumur bor pribadi.
Kadli (54), salah satu warga, tampak sibuk menimba air dari penampungan sederhana di dapur rumahnya. Dengan ember kecil yang diikat tali, ia perlahan menarik air untuk mengisi bak kamar mandi. Suara percikan air menjadi irama harian yang akrab di telinga warga desa ini.
Penampungan air di rumah Kadli berukuran 1,5 x 1,5 meter dengan kedalaman hampir dua meter. Air yang disimpan di sana dibeli dari perusahaan swasta Pioneer, menggunakan sistem meteran layaknya listrik.
“Kalau ngisi sampai penuh, habis sekitar Rp50.000. Itu bisa cukup hampir sebulan,” ujar Kadli, Jumat (9/5/2025).
Bagi Kadli, yang sehari-hari bertani dan bekerja serabutan, pengeluaran tersebut menjadi beban berat. Namun, kebutuhan air bersih tidak bisa ditawar.
Sebagian warga juga memanfaatkan air hujan saat musim memungkinkan. Namun, air tersebut hanya digunakan untuk keperluan non-konsumsi seperti mencuci kendaraan atau peralatan.
"Kalau musim hujan, kami tampung air untuk cuci-cuci," kata Kadli.
Kepala Desa Itik Rendai, Sumarno, mengungkapkan bahwa 873 KK lainnya bergantung pada 11 unit sumur umum bantuan dari perusahaan Pioneer.
“Saat ini warga menikmati air dari sumur umum dengan sistem berbayar. Hanya satu KK yang punya sumur pribadi,” jelas Sumarno saat ditemui di kantor desa.
Belakangan, Desa Itik Rendai juga mendapat tambahan empat unit sumur baru dari Kodim 0429 melalui program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD). Sumur tersebut dibangun di lokasi-lokasi umum seperti masjid untuk mendukung kebutuhan air warga, khususnya saat beribadah dan kegiatan sosial.
Proses pengeboran sumur di desa ini tidaklah mudah. Adi (40), jasa pengeboran dari Desa Sidorejo, Kecamatan Sekampung Udik, mengaku sudah lima hari mengebor di salah satu mushola namun belum menemukan air.
“Baru dua meter sudah ketemu batu. Kalau mau dapat air, rata-rata harus ngebor sampai 60 meter," ungkap Adi.
Kondisi tanah berbatu membuat biaya pengeboran membengkak. Untuk satu sumur, warga atau donatur perlu mengeluarkan minimal Rp20 juta, mencakup biaya peralatan, tenaga kerja, dan risiko kerusakan alat.
Di tanah yang keras ini, tetes-tetes air bersih menjadi sumber harapan. Harapan akan kehidupan yang lebih baik, sejuk, dan layak. (*)