Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Senin, 19 Mei 2025

Pengamat: TPPO Marak Karena Faktor Ekonomi, Kemiskinan Hingga Pendidikan

Oleh Redaksi

Berita
Pengamat hukum Universitas Lampung, Budiyono. Foto: Ist.

Berdikari.co, Bandar Lampung - Pengamat hukum Universitas Lampung, Budiyono, menilai terdapat berbagai faktor yang menyebabkan maraknya kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di wilayah Lampung.

"TPPO terjadi karena semakin masifnya perkembangan teknologi informasi yang dimanfaatkan untuk melakukan kejahatan TPPO serta faktor ekonomi, kemiskinan dan juga pendidikan. Ketidaksetaraan gender juga jadi penyebab," kata Budiono, Minggu (18/5/20205).

Menurut Budiyono, ketidaksetaraan gender menjadi salah satu sebab utama, dikarenakan korban lebih banyak dari golongan perempuan.

"Dari data yang ada memang perempuan dan anak adalah yang paling banyak menjadi korban karena adanya diskriminasi jender," katanya.

Oleh karena itu, lanjut dia, pencegahan TPPO dapat dilakukan dengan berbagai hal baik dari masyarakat itu sendiri maupun dari aspek regulasi.

"Tentunya untuk menekan angka TPPO perlu peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan regulasi, dan peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum," tegasnya.

Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung, Rifandy Ritonga, menilai tingginya angka TPPO tidak bisa dipandang sebagai kegagalan penegak hukum semata, melainkan sebagai tanda bahwa sistem perlindungan sosial dan pencegahan dini belum berjalan maksimal.

Ia mengungkapkan, sindikat perdagangan orang semakin canggih memanfaatkan ketidaktahuan dan kerentanan ekonomi masyarakat.

"Banyak yang tidak sadar sedang dijerat jaringan TPPO karena janji kerja, bahkan lewat media sosial. Ini persoalan lintas sektor. Negara harus benar-benar hadir untuk melindungi warganya,” kata Rifandy, pada Minggu (18/5/2025).

Menurutnya, strategi pencegahan harus dimulai dari akar rumput. Pemerintah daerah hingga desa perlu dilibatkan untuk membentuk sistem peringatan dini dengan cara melatih perangkat desa, RT/RW, dan tokoh masyarakat agar peka terhadap modus TPPO.

Ia juga mendorong pembentukan satuan tugas terpadu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang melibatkan aparat penegak hukum, Dinas Sosial, Imigrasi, serta lembaga perlindungan perempuan dan anak.

"Yang tak kalah penting adalah pelibatan kampus dan civitas akademika dalam gerakan melawan perdagangan orang. Perguruan tinggi memiliki peran besar melalui riset, edukasi publik, hingga pemberdayaan masyarakat,” katanya.

“Perguruan tinggi jangan hanya jadi menara gading. Kampus bisa turun langsung melakukan penyuluhan hukum, pendampingan korban, hingga pengembangan sistem deteksi dini berbasis riset. Ini tugas moral kami sebagai akademisi,” lanjutnya.

Rifandy juga mengajak pemerintah daerah menjalin kerja sama konkret dengan universitas, baik dalam bentuk pengabdian masyarakat, kurikulum anti perdagangan orang, maupun audit terhadap kebijakan ketenagakerjaan dan migrasi di daerah-daerah rawan.

Rifanfy mencontohkan negara Filipina yang memiliki Inter Agency Council Against Trafficking yang mengkoordinasikan instansi pemerintah dari pusat hingga tingkat desa (barangay) secara sistematis dan terukur.

Lalu, Belanda yang mengedepankan pendekatan berpusat pada korban (victim-centered), dengan dukungan hukum, psikologis, dan sosial sejak awal penanganan kasus.

"Kita bisa belajar dari sana. Tapi syaratnya komitmen politik harus kuat, anggaran harus disediakan, dan dunia pendidikan harus dilibatkan. Tidak bisa lagi hanya bergantung pada aparat penegak hukum,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan agar sistem rekrutmen tenaga kerja, khususnya ke luar negeri segera dibenahi secara menyeluruh. Agen ilegal harus diberantas hingga ke akar, dan pemerintah wajib menyediakan jalur migrasi kerja yang aman dan transparan.

"Kalau negara terus membiarkan rakyatnya dimangsa sindikat, itu artinya negara gagal menjalankan amanat konstitusi,” pungkas Rifandy. (*)

Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Senin 19 Mei 2025 dengan judul "Pengamat: TPPO Marak Karena Faktor Ekonomi, Kemiskinan Hingga Pendidikan”

Editor Didik Tri Putra Jaya