Berdikari.co, Bandar Lampung – Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Barat mengungkap temuan mengejutkan berupa 121 Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)—wilayah yang seharusnya menjadi zona konservasi murni dan bebas dari kepemilikan pribadi.
Menanggapi hal itu, Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara, menyebut penerbitan SHM tersebut sebagai pelanggaran berat yang tidak hanya melanggar hukum agraria, tetapi juga berpotensi merusak tata kelola lingkungan dan mencoreng integritas negara dalam perlindungan hutan.
"Taman nasional adalah tanah negara yang tidak boleh dimiliki secara pribadi. Jika SHM bisa terbit di kawasan TNBBS, berarti ada praktik ilegal yang terstruktur, bahkan berpotensi melibatkan oknum pejabat," tegas Benny, Selasa (17/6/2025).
Menurut Benny, praktik tersebut masuk kategori perbuatan melawan hukum yang bisa dijerat dengan berbagai ketentuan pidana, antara lain:
-
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang melarang penguasaan kawasan hutan secara tidak sah.
-
UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana hingga 15 tahun jika dilakukan secara terorganisir.
-
UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), jika terdapat penyalahgunaan jabatan dalam proses penerbitan SHM oleh oknum di BPN, lurah, atau camat.
-
Pasal 263 dan 378 KUHP, terkait pemalsuan dokumen dan penipuan.
Benny menegaskan bahwa TNBBS bukan hanya kawasan lindung nasional, tetapi juga bagian dari ekosistem penting dunia yang mendapat perhatian internasional.
"Ketika kawasan konservasi diberikan alas hak, itu bukan hanya soal administrasi, tapi juga pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan keadilan ekologis," tegasnya.
Ia mengingatkan, praktik mafia tanah semacam ini dapat merusak habitat satwa langka, mencemari ekosistem, dan menciptakan preseden buruk dalam perlindungan kawasan konservasi di Indonesia.
Benny mendorong Kejaksaan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk membuka data secara transparan dan segera menindak pihak-pihak yang terlibat.
"Ini bukan sekadar kejahatan administratif, tetapi bentuk pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk dikapitalisasi oleh segelintir orang," ujarnya.
Lebih lanjut, ia meminta agar penanganan kasus tidak hanya bersifat represif, tetapi juga menyentuh aspek preventif dan preemtif guna mencegah pengulangan kejahatan lingkungan serupa.
"Hutan lindung seperti TNBBS punya hak untuk tetap hidup dan lestari. Jangan sampai hukum tunduk pada kekuasaan atau uang,” tutupnya. (*)