Berdikari.co, Bandar Lampung - Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung
(UBL), Benny Karya Limantara, menilai penerbitan SHM di kawasan hutan Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagai bentuk pelanggaran berat yang
tidak hanya melanggar hukum agraria, tetapi juga merusak tatanan lingkungan
hidup dan integritas negara dalam pengelolaan hutan lindung.
Menurut Benny, penerbitan SHM di dalam kawasan hutan konservasi termasuk
perbuatan melawan hukum yang dapat dijerat dengan berbagai ketentuan pidana,
mulai dari Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perusakan Hutan hingga
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pasal-pasal dalam KUHP.
“Taman nasional adalah tanah negara, tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Ketika SHM bisa terbit di kawasan seperti TNBBS, artinya ada praktik ilegal
yang terstruktur, dan kemungkinan kuat melibatkan oknum pejabat,” Kata Benny,
pada Selasa (17/6/2025).
Menurut Benny, ada beberapa ketentuan hukum yang bisa digunakan untuk
menjerat pihak-pihak terlibat, diantaranya UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang melarang penguasaan dan klaim atas kawasan hutan secara tidak
sah.
Kemudian, UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Perusakan Hutan dengan
ancaman hukuman penjara selama 15 tahun jika dilakukan terorganisir.
Lalu UU Tipikor, jika penerbitan SHM dilakukan dengan penyalahgunaan
jabatan oleh pejabat BPN, lurah, atau camat. Serta Pasal 263 dan 378 KUHP
tentang pemalsuan dokumen dan penipuan.
Ia menegaskan bahwa TNBBS bukan hanya bagian dari kawasan lindung nasional,
tetapi juga termasuk dalam ekosistem penting dunia yang mendapat perhatian
internasional.
“Kasus ini tidak boleh dianggap sepele. Ini menyangkut kerusakan ekologis
dan juga integritas hukum kita. Ketika hutan lindung diberikan alas hak resmi,
itu berarti kita sedang merusak habitat dan ekosistem yang dilindungi undang-undang,”
paparnya.
Lebih jauh, Benny mendorong penanganan kasus ini dilakukan secara
komprehensif, tidak hanya secara represif melalui penegakan hukum, tetapi juga
preventif dan preemtif agar praktik mafia tanah di kawasan hutan tidak terus
berulang.
Benny menegaskan, praktik semacam ini jika tidak dihentikan akan menjadi
preseden buruk bagi perlindungan hutan lindung di Indonesia.
Ia mengingatkan, dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bumi,
air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk
dikapitalisasi secara ilegal oleh segelintir pihak.
“Ini bukan hanya soal kejahatan administratif, tapi juga soal keadilan
ekologis. Hutan lindung seperti TNBBS adalah subjek yang punya hak untuk tetap
hidup dan lestari.” imbuhnya
Ia mendorong Kejaksaan, Kementerian Kehutanan dan BPN segera membuka data
dan menindak tegas pihak-pihak yang terlibat.
Menurutnya, publik berhak tahu sejauh mana keterlibatan oknum dalam skema
perusakan kawasan konservasi ini.
Sementara Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Irfan
Tri Musri, menilai terbitnya ratusan sertifikat di kawasan TNBBS itu bukan
terjadi secara kebetulan atau kesalahan administrasi semata. Melainkan ada
kemungkinan hasil dari praktik sistematis yang melibatkan jaringan mafia tanah.
“Ini bukan hal yang sederhana. Terbitnya SHM di kawasan taman nasional
sangat mungkin merupakan hasil kerja sama antara mafia tanah dengan sejumlah
oknum yang memanfaatkan kelengahan sistem pengawasan,” ujar Irfan, pada Selasa
(17/6/2025).
Irfan juga menyoroti lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah, terutama
terkait dengan kebijakan satu peta (one map policy) yang hingga kini belum
sepenuhnya terintegrasi.
“Kebijakan satu peta masih belum terkoneksi secara menyeluruh. Namun, seharusnya
hal itu tidak menjadi alasan. Kepala kantor ATR/BPN seharusnya bisa
berkomunikasi dengan Kementerian Kehutanan sebelum menerbitkan sertifikat,”
tegasnya.
Irfan menambahkan, dalam banyak kasus seperti ini, masyarakat kecil kerap
menjadi korban. Mereka membeli lahan atau tinggal di atas tanah yang sudah
bersertifikat, tanpa mengetahui bahwa lokasi tersebut masuk kawasan konservasi.
Akibatnya, ketika terjadi penertiban atau konflik hukum, masyarakat menjadi
pihak paling dirugikan.
“Yang jadi korban masyarakat bawah. Mereka tidak tahu kalau tanah yang
mereka beli atau tempati ternyata berada di kawasan taman nasional. Sertifikat
sudah di tangan, tapi statusnya ilegal,” tegasnya.
Walhi mendesak Kejari Lampung Barat tidak berhenti pada pengungkapan
administrasi saja, tetapi juga mengusut tuntas semua pihak yang terlibat, baik
dari instansi pertanahan, pemerintahan daerah, hingga pihak yang mendapatkan
keuntungan langsung dari praktik ini.
“Kami berharap kejaksaan serius mengungkap jaringan mafia tanah ini. Siapapun yang terlibat harus diproses hukum, termasuk dari internal ATR/BPN maupun pejabat lainnya,” ujar Irfan. (*)